Sign #4 - Felixia Rain

8:31 AM fe 0 Comments

Rucia sedang menunggu Ann di meja sudut ruangan sambil memainkan pulpennya. Ada dua gelas kopi hangan di depannya sekarang. Begitu ia melihat Ann masuk ia segela melambaikan tangan. Ann melihatnya dan segera menghampirinya dengan wajah kesal.

“Kau sudah menghindari Ron?” tanya Rucia sambil menggeser cangkir padanya. Ia menyelidiki wajah temannya itu.

“Dia menyebalkan! Sangat menyebalkan!”

“Yang mana?”

“Keduanya!” Ann merentangkan tangannya. “Aku hampir saja bertarung dengannya dan Ron mendadak muncul.”

Rucia diam. Ia memang sengaja meninggalkan Ann di sana dan duduk di sini hanya karena tahu kalau Ron pasti akan datang. Ia sudah meramalkannya.

“Jadi? Apa dia bertanya?” tanya Rucia.

“Siapa?”

“Ron. Apa dia bertanya siapa pria itu?”

Ann bersandar di kursinya dan mengangguk lemah.

“Ku pastikan kau berbohong padanya. Cerita apa yang kau buat?” tanya Rucia tenang seolah hal itu biasa saja.

“Kubilang dia sepupuku dari Jepang dan sangat menyebalkan. Aku tidak mau Ron terlibat masalah aneh ini dan dia tidak boleh tahu.”

Rucia mengangguk paham.

“Apa yang harus kulakukan?” tanya Ann meminta pendapat.

“Menurutku ikuti saja permainannya.”

“Bertarung?” Ann tidak percaya dengan pendengarannya. “Kau yakin? Aku bahkan tidak mau melakukannya walau ingin.”

“Nah! Bagaimana itu? Kau harus melakukannya. Kau dan dia terhubung!”

Ann menggeleng, “kau tahu sesuatu? Apa? Apa yang membuatku terhubung dengannya?”

“Tidak.” Rucia bergerak gelisah. “Apa kau tidak penasaran?”

“Oke. Aku penasaran,” jawabnya tanpa pikir panjang.

“Kalau begitu lakukan sesuatu yang membuat rasa penasaranmu hilang.”

Ann mempertimbangkannya dan akhirnya mengangguk. Ia sudah memutuskan untuk melakukannya sekarang, menghilangkan rasa penasarannya pada pria itu.

“Kau tahu di mana dia?” tanya Ann yang ingin masalah ini cepat selesai.

“Tidak. Dia tidak di sini lagi. Dia mungkin pergi entah kemana,” Rucia mencoba meraba keberadaannya tapi tidak menemukannya.

“Oke,” Ann mengangkat cangkirnya dan meminum kopinya. “Dia pasti akan datang lagi.”

***

Didukung dengan rasa penasaran dan juga kepercayaan dirinya yang mendadak naik, Ann memutuskan untuk tidak kuliah pada hari ini. Ia membiarkan Ron sendirian di kelas tanpa dirinya. Rucia juga memutuskan untuk tidak kuliah. Ia malah ingin belanja ke mall dan baru akan pulang sorenya. Karena Ann tidak berminat mengikutinya, ia memutuskan untuk duduk di taman sendirian sambil menerka kapan orang itu muncul.
Tapi tidak. Selama apapun dia sendiri dan selama apapun dia menunggu di sini orang itu tidak muncul juga. Saat ia menyerah dering ponselnya berbunyi. Ron meneleponnya.

“Sayang, kau di mana?” tanyanya dengan nada panik. “Ku kira kau akan masuk kelas tapi tidak. Kau kemana saja?”

“Aku sedang tidak enak badan. Hari ini aku tidak masuk.”

“Apa gara-gara dia?”

Ann mengusap keningnya. “Tidak.”

“Jawab saja!” terdengar nada agak membentak dari seberang sana.

“Tidak ada. Daaah...” ia menutup teleponnya dengan kasar dan menjejalkannya ke dalam tas, berharap tidak akan mengangkat telepon siapapun selepas ini. Namun dalam hati ia masih merasa was-was.

Akhir-akhir ini Ron jadi pengganggu. Sikapnya lebih overprotective dibanding sebelumnya dan ia merasa tidak nyaman. Lima bulan mereka jadian Ann merasa ada rasa tidak nyaman. Tapi ia juga tidak bisa menentukan apakah perasaan ini suka atau tidak. Ia jadi banyak bertanya-tanya apa benar Ron untuknya?

“Bingung? Mana cowok sialan itu?” tanya seseorang yang memutus pikiran Ann begitu saja.

Ann menoleh ke belakang dan melihat pria itu berdiri dengan tangan disilangkan di dada sambil bersandar ke pohon. Matanya tidak menatapnya tapi menatap lurus ke samping sana seperti orang yang membuang muka. Sontak Ann terkejut dan berdiri mengambil jarak. Pria itu tetap tenang di tempat.

“Dia tidak di sini ya?” tanyanya lagi yang membuat Ann merasa tidak tenang. Ada apa dengan orang itu?

“Ngomong-ngomong kau pintar bohong juga. Sudah berapa orang yang kau bohongi tentang hubungan kita?” tanyanya lagi sambil tersenyum sinis padanya.

Ann terkejut. Ia tidak pernah berimprovisasi tentang hubungan bohongan mereka di hadapan pria itu.

“Kau tahu?” tanyanya tidak percaya.

“Aku bisa dengar suaramu walau aku jauh,” katanya serius.

“Bohong!” sontak Ann langsung menuduhnya.

“Kau mau bilang bohong atau tidak terserah. Tapi aku suka ceritamu. Aku? Sepupu nomor tiga? Dari Jepang?” pria itu tertawa. “Aku suka itu!”

Marah, Ann langsung menerjang ke depan tanpa ragu. Ia melompat sambil mengayunkan tangannya dengan gerakan menampar. Tapi Ryo tahu. Ia dengan mudah menghindar sambil melompat ke kiri. Ann terkejut dan segera berpegangan pada pohon tempat Ryo bersandar tadi sambil menahan serangannya. Tanpa buang waktu ia berbalik, mengayunkan kaki kirinya dengan leluasa agar dapat menendang pria itu. Ryo menangkis dengan tangannya dan tampak puas dengan perlawanan Ann padanya.

Mereka mundur dan mengambil jarak. Ann memasang kuda-kuda untuk balik menyerang. Kali ini Ryo juga ikut menerkam. Mereka sama-sama menerkam, memukul, menendang, meninju. Ann berkali-kali mencoba menghantam wajahnya dengan pukulan tapi selalu dapat dielakkan. Ryo mulai menangkap tangan gadis itu, memutarnya, dan akhirnya memilin tangannya ke belakang hingga Ann menjerit sakit. Tulangnya seakan mau patah. Ryo berdiri di belakangnya.

“Aku yakin kau tidak selemah itu,” bisik Ryo.

Ann mencoba lepas tapi pria itu malah makin memelintir tangannya.

“Kalau kau bisa kau bisa membunuhku sekarang,” katanya lagi.

Ann melengkungkan punggungnya ke belakang. “Lepaskan! Sakit! Ryo!” mohonnya. Ia hampir menangis.
“Oke,” Ryo melepaskannya.

Seketika  itu juga Ann langsung mundur, berbalik, dan mengusap-ngusap lengannya yang sakit. Tatapan matanya tidak beralih dari wajah pria itu yang tenang. Ryo berdiri santai dengan sikap biasa seolah tak terjadi apa-apa. Ann mengukur kekuatannya. Pria itu memang lebih kuat darinya.

Lalu ia melihat wajah tidak puas dari pria itu. Perubahan mendadak itu membuat Ann waspada.

“Aku mulai ragu apa kau orangnya?” ia menyelidiki Ann dengan seksama sementara Ann merasa risih dengannya.

“Jadi apa urusan kita sebenarnya?” tanya Ann.

“Kau punya ingatan itu dan aku tidak perlu menjelaskannya,” jawabnya.

“Aku tidak tahu.”

“Kalau begitu akan kubuat kau ingat!” ia kembali menyerang dengan kecepatan tinggi yang membuat Ann tidak siap menerima serangannya.

Ann menyilangkan kedua lengannya untuk melindungi wajahnya sekaligus menjadi tameng serangan Ryo. Ia merasakan sebuah pukulan luar biasa yang membuat tubuhnya terbanting ke belakang sepanjang sepuluh meter dan terseret di rerumputan.

Ann merasa dirinya lumpuh sesaat. Darah mengalir dari kulitnya lengannya yang sobek. Ia terbatuk dan itu juga mengeluarkan darah. Belum hilang rasa tercengangnya pria itu kembali menyerbu. Ann berguling ke samping untuk menghindar secepatnya hingga serangan tangan kosong penuh tenaga itu menghantam rumput. Efeknya ada cekungan dalam yang terbentuk di sana. Jika ia kena mungkin sekarang dia sudah mati.
Ann melompat berdiri, mencoba menghindar kembali dari serangan beruntun gila yang dilancarkan pria tak waras itu. Dengan penuh konsentrasi ia mengelak ke sana ke mari dan akhirnya pada saat serangan lurus dilancarkan Ann mengangkat tangannya dan menangkap kepalan tinjunya. Gadis itu membungkuk dan tangan kirinya yang bebas di hantamkan ke dada pria itu.

Ryo lengah dengan serangan cepat itu. Ia termundur dua meter ke belakang sebelum akhirnya harus menangkis serangan kilat balasan dari Ann dengan menggunakan kedua tangannya .  Ann menendangnya dengan sangat keras sehingga pria itu terlempar ke belakang dan menghantam pohon tempatnya berdiri tadi. Dengan murka ia langsung menerjang lagi. Saat ia melompat sambil mengepalkan tinjunya kearah Ryo, sebuah kelebat bayangan muncul mengganggunya.

Ann terkejut melihat bayangan itu mengaburkan penglihatannya sesaat. Saat pandangan matanya kembali ia melihat wajah Ryo yang menengadah menatapnya kaget sudah sangat dekat dengannya padahal tadi masih lumayan jauh. Kepalan tangannya yang bertenaga itu hampir terayun sempurna sampai akhirnya ia membelokkan serangannya dan memukul angin dengan kuatnya sehingga siulannya terdengar nyaring dan tajam di udara. Serangannya meleset seinci dari telinga pria itu dan menghantam pohon dengan sangarnya. Ia terjatuh dan menindih Ryo dengan tangan yang masih menancap di batang pohon.

Ryo dengan refleks menangkapnya. Wajah gadis itu terbenam di dadanya dan tubuh gadis itu bergetar hebat. Saat ia menengok ke belakang ada aliran darah segar yang mengalir dari sela-sela jari tangan Ann yang mengepal. Tangan itu juga gemetar tapi gadis itu tidak mencabutnya. Serpihan-serpihan dari kayu yang retak berguguran dengan gumpalan debu kecil yang menyelubunginya. Ryo tahu kalau Ann sudah kalap tadi dan serius menyerangnya. Ia bisa merasakan kalau tenaga gadis itu meningkat sesuai keinginannya.

Emosi Ann memang mudah dipancing. Tapi apa yang menghentikan langkahnya?

 Tiba-tiba Ann mencabut kepalan tangannya dari pohon. Ia mulai duduk dengan wajah terperangah sambil memandangi tangannya yang bergetar hebat. Perlahan ia menatap Ryo dengan tatapan yang sama.

“Apa itu... tadi?” tanyanya pelan hampir tidak jelas.

Ryo menatapnya, mencoba mencari tahu maksudnya.

“Natasha?” Ann menggumamkan satu nama yang memang sudah didengarnya dari Ryo sebelumnya. Tapi ia merasa sangat terkejut dengan bayangan yang baru saja ia dapatkan. “Ryo?” ia memanggil nama Ryo tapi Ryo masih mencoba menerka siapa yang dimaksud. Dirinya atau Ryo yang lain?

“Aku melihatmu...” kali ini Ann mencoba bercerita. “Dan aku melihatku...?” ia tidak yakin dengan kalimat yang terakhir.

“Ann, kau ingat?” tanya Ryo hati-hati.

Ann menggeleng. Ia merasa pening. Tanpa menghiraukan darahnya sendiri ia memegangi kepalanya. Perlahan dunia seakan berputar dan menggucang tubuhnya. Pandangan matanya buram dan akhirnya hilang.


You Might Also Like

0 comments: