Me+Coffee #2 - Rain

8:35 AM fe 0 Comments



Rasanya sangat menyenangkan saat kau pulang ke rumah. Tapi bukan ke rumah yang berisik sepertiku. 

Normalnya seorang anak yang sudah memiliki pekerjaan sendiri akan punya rumah sendiri. Tapi untuk sekarang aku tidak punya itu. Apartemenku sedang direnovasi karena atapnya bocor. Rembesan air itu merusak cat dan dinding. Aku harus banyak melakukan penyelamatan semalam suntuk demi keselamatan buku dan barang-barangku. Kata pemiliknya ini akan selesai dalam dua atau tiga hari. Harus ada perbaikan pipa-pipa air tua dan juga aku harus merogoh saku untuk membeli cat baru.

Aku sudah punya disainer yang akan dengan senang hati memberikan banyak masukan pada ruanganku. Zanya akan menawarkan diri tanpa diminta. Bahkan dia sudah langsung menawarkan diri menjadi konsultasi warna padaku saat mendengar dinding apartemenku rusak karena air.

Nah, kembali ke rumah, aku sudah bilang kan tadi kalau rumahku itu berisik. Aku punya Mom dan Dad yang suka berceloteh sepanjang hari sampai akhirnya mereka tidur... Sekarang saat aku baru membuka pintu sambil mengumumkan kedatanganku, mereka langsung berhambur dan menanyaiku tentang hadiah mana yang cocok untuk Matt, sepupu kecilku yang akan berumur 11 tahun.

“Bagaimana, sayang? Kau kan yang paling dekat dengannya. Menurutmu mana yang cocok?” tanya Mom sambil memamerkan buku katalognya padaku.

“Sudah kubilang kalau dia suka baseball. Belikan saja dia pemukul bola baru. Jangan baju,” timpal Dad.

“Tapi itu terlalu berbahaya. Aku tidak suka melihatnya mengayunkan tongkat itu di dalam rumah saking senangnya,” Mom mengatakan pendapatnya.

“Dia bukan anak kecil.”

“Tidak. Jangan baseball dan jangan pemukul bola,” Mom masih berkeras.

“Lalu apa?” tanya Dad kesal.

“Sejak kapan kalian berdiskusi soal ini?” tanyaku curiga.

“Ooh, tidak lama. Sejak tadi siang kurasa.”

Dad memutar matanya. “Menurutmu mana yang baik, saya?” kali ini Dad meminta pendapatku.

“Well,” aku mengambil katalog yang diperlihatkan Mom padaku. “Jam tangan kurasa...”

“Nah! Bagaimana dengan itu?” Mom bertanya penuh antusias pada Dad.

“Jam tangan?” Dad mengulanginya.

“Tapi jaket baru juga bagus. Bagaimana dengan sepatu joging?” aku mulai antusias sekarang.

“Sepatu joging? Jaket?” kali ini Dad terlihat agak bingung. Pilihanku membuatnya mengurut keningnya dan aku tersenyum.

“Ya sudah, bagaimana kalau Dad beli pemukul baseball, Mom beli jam tangan, dan aku beli jaket?” aku memberikan usul.

“Tidak bisa sayang. Aku ingin kita sepakat dengan satu hadiah yang sama,” Mom menolak usulku.

“Oke,” aku kembali membaca katalog itu. “Bagaimana dengan topi? Dia bisa menggunakannya untuk bermain baseball atau jalan-jalan,” aku memberi usul lain yang kupikir bisa mereka senangi.

“Topi?” kali ini mereka berdua berseru.

“Nah! Aku suka ide ini. Kenapa tidak terpikir dari tadi?” Mom berseru senang dan Dad setuju dengan itu.

Masalah selesai. Kali ini aku ikut saja. Untuk urusan topi mereka memiliki selera yang sama jadi semuanya aman. Aku masuk ke kamar meninggalkan mereka yang masih berbincang tentang topi mana yang cocok untuk Matt.

Saat di kamar aku langsung ganti baju dan berbaring. Rasa lelah langsung menghantuiku hingga tanpa cuci muka aku langsung tertidur. Rasanya aku baru benar-benar tidur saat ponselku berbunyi. Dengan gelagapan aku bangun dan meraih tasku yang ada di atas meja. Aku berjalan sempoyongan karena mendadak bangun. Sambil mengomel dalam hat aku merogoh isi tasku dan melihat nama si penelepon.

Tapi yang ada di sana bukan nama melainkan nomor yang tidak kukenal. Aku memencet tombol hold agar tidak terkesan menolak secara kasar panggilan itu. Aku membawa ponselku ke tempat tidur dan akhirnya rebahan lagi. Getaran di ponselku berhenti tanda si penelepon mematikan ponselnya. Baru juga berhenti ponselku bergetar lagi. Aku melakukannya lagi. Lalu telepon itu berhenti kemudian kembali berbunyi lagi. 
Aku melakukannya lagi dan hal yang sama terjadi lagi.

Akhirnya dengan sebal aku mengangkatnya.

“Halo?” tanyaku sebal.

“Sudah kubilang datang segera!” seorang pria di seberang sana berteriak padaku dengan nada marah dan geram.

Aku yang masih setengah sadar langsung kaget dan gelagapan.

“Kau juga belum kirim pesananku! Aku butuh barang itu malam ini!” ia menghentakku lagi dengan tajam.

“Maaf, pesanan yang mana?” tanyaku berusaha sopan. Aku panik parah! Ya Tuhan! Ada konstumer yang belum menerima orderannya? Kenapa bisa? Buru-buru aku kembali ke meja dan mengambil buku agenda orderan dari tasku.

“Bagaimana sih kalau kerja?” ia masih marah-marah di seberang sana.

“Maaf bisa tolong beri tahu nama anda dan tanggal pemesanannya?” tanyaku sesopan mungkin, berharap amarahnya bisa luntur dengan cepat.

“Nama? Kau tanya namaku?” ia tidak percaya.

Aku merasa tolol. Aku tidak bisa menghapal banyaknya nama langganan kami dengan baik apalagi aku tidak begitu hapal dengan semua suara langganan dan sekarang pria itu benar-benar marah hanya karena aku tidak bisa mengenalinya dari suaranya.

Tuhan...

Aku melirik jam dan sekarang sudah jam sepuluh malam. Toko selalu tutup pukul delapan tiap hari minggu dan sekarang hari minggu, 2 jam menjelang Senin!

“Maaf, saya harus mencek nama anda untuk melihat apakah pesanan yang anda terima sudah sampai atau belum. Bisa beri tahu siapa nama anda?” tanyaku lagi.

“Sonya, jangan pura-pura lupa padaku!” hardiknya dan seketika itu juga gerakan tanganku yang membolak-balik bukuku terhenti.

“Maaf?” aku kaget juga mendengarnya. Apa aku tidak salah dengar tadi? Dia panggil apa? Sonya?

“Kubilang jangan pura-pura lupa padaku! Kau kenapa sih? Kerjaanmu juga tidak beres! Aku sedang ada di toko dan-“

“Maaf. Anda salah sambung,” sambarku kilat.

“Apa?” kali ini ia meminta pengulangan.

“Anda salah sambung. Saya bukan Sonya,” aku menjelaskannya dan menunggu reaksinya. Ada nada diam sejenak di sana dan aku membiarkannya. Menunggu.

“Ini bukan...” kata-katanya mengambang hilang. “Ah! Sial! Maaf, aku salah sambung,” ia minta maaf sebelum dengan kesal menyambung, “kenapa tidak bilang dari tadi?” tanyanya kesal dengan nada menggertak.

“Kau tidak memberiku kesempatan bicara,” aku membela diri.

Ia mengumpat pelan sekarang dan akhirnya. “Maaf mengganggu,” katanya lalu mematikan ponsel.

Aku merebahkan diri begitu sambungan terputus dan merasa jengkel karena waktu tidurku terganggu. Dengan cepat aku meletakkan buku itu kembali ke dalam tas dan kembali tidur. Aku tidak mau ambil pusing dengan masalah tadi.


You Might Also Like

0 comments: