Me+Coffee #2 - Rain
Rasanya sangat menyenangkan saat kau pulang ke rumah. Tapi
bukan ke rumah yang berisik sepertiku.
Normalnya seorang anak yang sudah
memiliki pekerjaan sendiri akan punya rumah sendiri. Tapi untuk sekarang aku
tidak punya itu. Apartemenku sedang direnovasi karena atapnya bocor. Rembesan
air itu merusak cat dan dinding. Aku harus banyak melakukan penyelamatan semalam
suntuk demi keselamatan buku dan barang-barangku. Kata pemiliknya ini akan
selesai dalam dua atau tiga hari. Harus ada perbaikan pipa-pipa air tua dan
juga aku harus merogoh saku untuk membeli cat baru.
Aku sudah punya disainer yang akan dengan senang hati
memberikan banyak masukan pada ruanganku. Zanya akan menawarkan diri tanpa
diminta. Bahkan dia sudah langsung menawarkan diri menjadi konsultasi warna
padaku saat mendengar dinding apartemenku rusak karena air.
Nah, kembali ke rumah, aku sudah bilang kan tadi kalau
rumahku itu berisik. Aku punya Mom dan Dad yang suka berceloteh sepanjang hari
sampai akhirnya mereka tidur... Sekarang saat aku baru membuka pintu sambil
mengumumkan kedatanganku, mereka langsung berhambur dan menanyaiku tentang
hadiah mana yang cocok untuk Matt, sepupu kecilku yang akan berumur 11 tahun.
“Bagaimana, sayang? Kau kan yang paling dekat dengannya.
Menurutmu mana yang cocok?” tanya Mom sambil memamerkan buku katalognya padaku.
“Sudah kubilang kalau dia suka baseball. Belikan saja dia
pemukul bola baru. Jangan baju,” timpal Dad.
“Tapi itu terlalu berbahaya. Aku tidak suka melihatnya
mengayunkan tongkat itu di dalam rumah saking senangnya,” Mom mengatakan
pendapatnya.
“Dia bukan anak kecil.”
“Tidak. Jangan baseball dan jangan pemukul bola,” Mom masih
berkeras.
“Lalu apa?” tanya Dad kesal.
“Sejak kapan kalian berdiskusi soal ini?” tanyaku curiga.
“Ooh, tidak lama. Sejak tadi siang kurasa.”
Dad memutar matanya. “Menurutmu mana yang baik, saya?” kali
ini Dad meminta pendapatku.
“Well,” aku mengambil katalog yang diperlihatkan Mom padaku.
“Jam tangan kurasa...”
“Nah! Bagaimana dengan itu?” Mom bertanya penuh antusias
pada Dad.
“Jam tangan?” Dad mengulanginya.
“Tapi jaket baru juga bagus. Bagaimana dengan sepatu
joging?” aku mulai antusias sekarang.
“Sepatu joging? Jaket?” kali ini Dad terlihat agak bingung.
Pilihanku membuatnya mengurut keningnya dan aku tersenyum.
“Ya sudah, bagaimana kalau Dad beli pemukul baseball, Mom
beli jam tangan, dan aku beli jaket?” aku memberikan usul.
“Tidak bisa sayang. Aku ingin kita sepakat dengan satu
hadiah yang sama,” Mom menolak usulku.
“Oke,” aku kembali membaca katalog itu. “Bagaimana dengan
topi? Dia bisa menggunakannya untuk bermain baseball atau jalan-jalan,” aku
memberi usul lain yang kupikir bisa mereka senangi.
“Topi?” kali ini mereka berdua berseru.
“Nah! Aku suka ide ini. Kenapa tidak terpikir dari tadi?”
Mom berseru senang dan Dad setuju dengan itu.
Masalah selesai. Kali ini aku ikut saja. Untuk urusan topi
mereka memiliki selera yang sama jadi semuanya aman. Aku masuk ke kamar
meninggalkan mereka yang masih berbincang tentang topi mana yang cocok untuk
Matt.
Saat di kamar aku langsung ganti baju dan berbaring. Rasa
lelah langsung menghantuiku hingga tanpa cuci muka aku langsung tertidur. Rasanya
aku baru benar-benar tidur saat ponselku berbunyi. Dengan gelagapan aku bangun
dan meraih tasku yang ada di atas meja. Aku berjalan sempoyongan karena
mendadak bangun. Sambil mengomel dalam hat aku merogoh isi tasku dan melihat
nama si penelepon.
Tapi yang ada di sana bukan nama melainkan nomor yang tidak
kukenal. Aku memencet tombol hold
agar tidak terkesan menolak secara kasar panggilan itu. Aku membawa ponselku ke
tempat tidur dan akhirnya rebahan lagi. Getaran di ponselku berhenti tanda si
penelepon mematikan ponselnya. Baru juga berhenti ponselku bergetar lagi. Aku
melakukannya lagi. Lalu telepon itu berhenti kemudian kembali berbunyi lagi.
Aku melakukannya lagi dan hal yang sama terjadi lagi.
Akhirnya dengan sebal aku mengangkatnya.
“Halo?” tanyaku sebal.
“Sudah kubilang datang segera!” seorang pria di seberang
sana berteriak padaku dengan nada marah dan geram.
Aku yang masih setengah sadar langsung kaget dan gelagapan.
“Kau juga belum kirim pesananku! Aku butuh barang itu malam
ini!” ia menghentakku lagi dengan tajam.
“Maaf, pesanan yang mana?” tanyaku berusaha sopan. Aku panik
parah! Ya Tuhan! Ada konstumer yang belum menerima orderannya? Kenapa bisa?
Buru-buru aku kembali ke meja dan mengambil buku agenda orderan dari tasku.
“Bagaimana sih kalau kerja?” ia masih marah-marah di
seberang sana.
“Maaf bisa tolong beri tahu nama anda dan tanggal
pemesanannya?” tanyaku sesopan mungkin, berharap amarahnya bisa luntur dengan
cepat.
“Nama? Kau tanya
namaku?” ia tidak percaya.
Aku merasa tolol. Aku tidak bisa menghapal banyaknya nama
langganan kami dengan baik apalagi aku tidak begitu hapal dengan semua suara
langganan dan sekarang pria itu benar-benar marah hanya karena aku tidak bisa
mengenalinya dari suaranya.
Tuhan...
Aku melirik jam dan sekarang sudah jam sepuluh malam. Toko
selalu tutup pukul delapan tiap hari minggu dan sekarang hari minggu, 2 jam
menjelang Senin!
“Maaf, saya harus mencek nama anda untuk melihat apakah
pesanan yang anda terima sudah sampai atau belum. Bisa beri tahu siapa nama
anda?” tanyaku lagi.
“Sonya, jangan pura-pura lupa padaku!” hardiknya dan
seketika itu juga gerakan tanganku yang membolak-balik bukuku terhenti.
“Maaf?” aku kaget juga mendengarnya. Apa aku tidak salah
dengar tadi? Dia panggil apa? Sonya?
“Kubilang jangan pura-pura lupa padaku! Kau kenapa sih?
Kerjaanmu juga tidak beres! Aku sedang ada di toko dan-“
“Maaf. Anda salah sambung,” sambarku kilat.
“Apa?” kali ini ia meminta pengulangan.
“Anda salah sambung. Saya bukan Sonya,” aku menjelaskannya
dan menunggu reaksinya. Ada nada diam sejenak di sana dan aku membiarkannya.
Menunggu.
“Ini bukan...” kata-katanya mengambang hilang. “Ah! Sial!
Maaf, aku salah sambung,” ia minta maaf sebelum dengan kesal menyambung,
“kenapa tidak bilang dari tadi?” tanyanya kesal dengan nada menggertak.
“Kau tidak memberiku kesempatan bicara,” aku membela diri.
Ia mengumpat pelan sekarang dan akhirnya. “Maaf mengganggu,”
katanya lalu mematikan ponsel.
Aku merebahkan diri begitu sambungan terputus dan merasa
jengkel karena waktu tidurku terganggu. Dengan cepat aku meletakkan buku itu
kembali ke dalam tas dan kembali tidur. Aku tidak mau ambil pusing dengan
masalah tadi.
0 comments: