Song of Aria #13 - Rain
Terlambat.
Aira telah pergi dan tidak ada siapapun di rumah itu. Rumah
kayu bertingkat dua dengan atap segitiga meruncing itu jadi mirip rumah hantu
sekarang. Tapi bagaimana caranya Aira bisa pergi secepat itu? Ia menelusuri
rumah itu. Rumah itu terkunci dan ia tidak bisa masuk. Satu hal yang ada
dipikiran Nana sekarang adalah Aira tidak pergi ke tempat itu. Ia takut kalau
Aira hanya pura-pura saja padahal sebenarnya ia bisa saja melakukan hal yang
tidak-tidak. Bunuh diri misalnya… Ngeri dengan pikirannya sendiri, Nana mencoba
memanjat pohon yang menjulang di samping rumah itu. Salah satu dahannya
menjulur ke jendela kamar Aira.
Ia memindahkan senternya ke mulut sekarang dan seperti
seorang pencuri, ia mulai memanjat. Tepat saat langkah ke dua, ponselnya
berdering. Nana melompat turun dan dengan kesal merogoh sakunya.
“Ya?” sapanya dengan suara tidak ramah.
“Nana? Ini kamu?” ia mendengar suara seorang wanita yang
dikenalnya.
“Kamu?” ia nyaris berteriak. “Jawab aku, apa Aira di sana? Apa Aira bersamamu?”
serangnya langsung.
“Tenang, tenang. Dia aman. Sekarang dia sedang dalam
perjalanan ke sini. Apa dia meneleponmu?” tanyanya.
“Dia meneleponku. Tapi aku nggak melihat mobil atau apapun
yang membawanya pergi.”
“Dia meneleponmu setelah setengah perjalanan.”
Rasa lega langsung bergelung di hati Nana. Ia bisa bernapas
sekarang. “Bagus.”
“Nah, sekarang semuanya sudah aman. Beri dia waktu untuk sendiri.
Aku yakin dia akan sembuh,” kata wanita itu padanya.
“Syukurlah. Aku tahu seharusnya dia dari dulu ada di sana. Tapi kenapa dia
berubah pikiran secepat itu?”
Kali ini wanita itu yang mendesah, “Dia bilang kalau dia
ingin hidup normal.”
Nana diam tak percaya. Itukah perasaan temannya selama ini?
“Ia iri padamu,” sambung wanita itu lagi. “Dan ia butuh
pegangan karena ia tahu kalau… Yah, begitulah.”
“Jangan memotong cerita!” Nana tidak suka mendengar itu.
“Ia merasa kalau kau akan pergi dari hidupnya.”
“Apa aku akan mati?” teriaknya.
Wanita itu tertawa. “Bodoh! Bukan itu. Dia pikir kamu akan
menikah atau sebagainya. Nah, dia pasti akan sendirian kan? Jadi sebelum itu
semua terjadi, lebih baik dia yang pergi.”
“Ya ampun!”
“Dia menyayangimu, Nana. Dia nggak ingin merusak
kebahagiaanmu,” wanita itu bicara serius sekarang. “Kamu adalah orang yang
sangat berarti baginya tapi dia juga tahu kalau kamu nggak akan selalu
mengawasinya. Dia sangat baik.”
“Dia bodoh!” kata Nana dengan rasa sayang. “Aku pasti akan
sangat merindukannya.”
“Datanglah nanti saat dia stabil. Dia pasti menunggumu.”
“Ya.”
“Selamat malam.”
“Selamat malam.”
Nana tersenyum dan menarik napas lega. Baru saja ia merasakan
kelegaan itu, ponselnya kembali berdering. Ia mengangkatnya.
“Ya?”
“Where are you?”
Senyum itu langsung pudar.
Langit malam menggantung di atas Erland sekelam hatinya. TK
yang ada di sampingnya juga memancarkan aura horor yang tidak diperhatikan Erland.
Tentu saja yang ia tahu hanya daerah sebatas TK ini saja. Ia tidak berani
melajukan mobilnya lebih jauh lagi ke dalam sana. Sekalipun jalan ini beraspal dan ada
akhirnya di ujung sana,
ia tidak mau mengambil resiko itu.
Setelah sepuluh menit penuh menunggu, akhirnya orang itu
datang juga. Dan karena dalam teleponnya ia berteriak ‘cepat’ pada gadis itu,
Nana akhirnya datang sambil berlari.
“Kau… memilih… tempat… yang salah!” teriaknya dalam bahasa
Inggris sambil berlari pada pria itu dan berhenti di depannya. Ia merasa sangat
sesak karena harus berlari secepat itu demi keselamatan jiwanya.
Untunglah lampu mobilnya dibiarkan menyala terang, jadi Nana
tidak merasa takut saat harus ke TK itu.
“Apa ini tempat yang salah?” tanya Erland tak mengerti.
“Kau datang ke rumah hantu, bodoh!” ia membentak pria itu.
“Ayo, antar aku pulang.”
“Rumah hantu?” Erland tidak menggubris permintaan itu.
“Bukankah itu TK?”
Ia menarik napas sekarang. Jelas sekali kalau ia tidak tahu
apa-apa tentang bangunan gelap di samping mereka. Nana bahkan tak mau melirik
ke sana. “Kau
bilang itu TK. Aku bilang itu rumah hantu. Tempat ini sudah ditinggalkan empat
tahun lalu dan dibiarkan begitu saja.”
“Kenapa?”
“Pembunuhan.”
“Apa?”
“Ayolah. Antar aku pulang sekarang!” ia masuk ke mobil Erland.
Pria itu tidak punya pilihan lain selain mengikutinya masuk
ke mobil dan melaju cepat di jalan gelap.
“Kau sama sekali tidak sadar ya dengan sekelilingmu?”
tanyanya tidak percaya. “Nah, ikuti jalan ini,” ia menunjuk pada jalanan yang
berbelok itu. “Tempat ini bukan seperti yang dibayangkan orang-orang. Pantainya
masih bersih, kau lihatkan?”
Erland tahu kalau Nana sedang mengalihkan perhatiannya
sekarang.
“Di mana Aira tinggal?”
Mendapat pertanyaan seperti itu Nana dengan gugup menjawab,
“Ha? Ah, ya. Disekitar sini juga.”
“Antarkan aku ke sana.”
“Tidak.” Nana langsung menolak.
“Kenapa?”
“Kau sudah berjanji untuk tidak mengganggunya.”
Erland menatapnya sekilas, tidak suka kalau ia diingatkan. “Well, aku harus bertanya padanya tentang
lagu itu.”
“Kau bisa bertanya padaku.”
“Tidak. Kau bahkan tidak tahu apa-apa tentang itu,” latanya.
“Kau pikir begitu? Tapi memang benar kalau hanya sebatas itu
yang kutahu,” akunya kesal. “Dan rasanya kau takkan bisa membuatnya
menceritakan itu semua padanya. Dia takkan memberitahumu.”
“Benarkah? Kenapa tidak kita buktikan saja?”
Nana tersenyum. “Aku yakin kau akan kalah. Nah, berhenti,” tanpa
sadar mereka sudah sampai di sebuah rumah yang ada di dekat jalan utama. “Ini
rumahku. Kau bisa mengikuti jalan ini dan kembali ke jalan utama. Sampai
jumpa.”
Erland menangkap tangannya dan menahannya.
“Apa yang terjadi?” tanya Erland serius.
“Tidak ada,” Nana masih bersikeras mempertahankan
pendapatnya. “Kau harus tepati janjimu. Kau takkan mencarinya, kau takkan
mengganggunya atau menuntutnya.”
Ia menaikkan dagunya sedikit dan bertanya dengan nada
menantang, “Bagaima kalau aku mencarinya sendiri?”
Nana menatapnya tidak percaya, “Kau? Tidak!” ia merasa ngeri
sekarang.
“Kau takkan bisa menghalangiku.”
“Song of Aria adalah rahasianya
dan kau takkan mendapatkannya,” tegas Nana yakin.
“Sial! Ada
apa dengan kalian?”
“Seharusnya, ada apa denganmu?” tanya Nana dengan kening
berkerut. “Aku sudah memberitahumu semuanya dan aku melarang keras kau
mencarinya.”
Erland menatapnya marah. “Katakan di mana dia?”
“Cari saja sendiri!” ia menghentak tangannya dan keluar
sambil membanting pintu.
Erland tidak keluar dari mobilnya. Ia menjalankan mobilnya
dan pulang.
0 comments: