Name - Rain

5:46 PM fe 0 Comments


Aku mengenalnya dua tahun lalu. Dia seorang perempuan yang senang memintal benang di bangku taman. Dia pendiam. Dia seperti tidak peduli dengan sekitarnya. Dunianya berputar disekitarnya. Dia seperti memiliki waktu sendiri dan aku adalah orang luar yang harus minta izin dulu untuk mendekatinya.
Sepertinya begitu.
Aku rasa memang begitu.
Karena penasaran akhirnya aku mendekatinya. Untuk pertama kalinya aku mendapatkan reaksi tidak biasa. Ia tahu aku sudah didekatnya tapi dia tidak mendongakkan kepalanya.
“Hai,” aku mulai menyapanya dengan ragu tapi dia tidak menjawab. Ia terlalu sibuk dengan rajutannya. “Hai, kau bikin apa?” aku mencoba lebih keras lagi.

“Syal musim dingin,” jawabnya datar. Suaranya sama sekali tidak menunjukkan minat apapun untuk menjelaskan pekerjaannya.
Aku tersenyum. “Boleh duduk di sini?”
Ia lagi-lagi tidak menjawab. Kuanggap saja itu artinya ‘ya’ dan aku duduk di sampingnya. Kami diam. Terlalu banyak diam. Dia tidak peduli dengan keberadaanku. Bahkan dia hanya menjawab pertanyaanku sekedarnya.
“Kau suka merajut?” tanyaku memulai.
“Ya.”
“Kau sering duduk di sini.”
“Ya.”
“Kau suka di sini?”
“Ya.”
“Kenapa?”
Ia diam. Ia sepertinya tidak berminat menceritakan alasan-alasannya ada di sini. Aku mulai merasa tidak enak dan ingin pergi saja.
“Ah! Aku ada janji dengan temanku. Aku pergi dulu ya,” buru-buru aku berdiri sambil berharap ada respon darinya. Tapi tidak ada.
Esoknya aku kembali ke sana dan melihatnya duduk sambil membaca. Baru kali ini aku melihatnya membaca. Aku mendekatinya dan menyapanya.
“Hai, kau sedang baca apa?” sapaku sambil duduk di sampingnya.
“Buku.”
Aku mengintip dan melihat tulisan tangan di sana. Ini buku tulis dan seseorang menuliskannya sendiri dengan tulisan tangannya. “Kau baca karya siapa?”
Agaknya ia terkejut dan menutup buku itu lalu berdiri. “Aku harus pergi.”
“Tunggu!”
Tapi seperti yang sudah kuduga, arusnya tak mudah kulawan. Ia pergi begitu saja dan tidak mengacuhkanku. Sepertinya aku merasa dikendalikan olehnya. Jika dia tidak ingin maka aku tak bisa mendekat. Tapi apa benar begitu? Saat dia menghilang aku baru sadar kalau aku bisa bergerak dan mengendalikan duniaku sendiri.
Rasanya seperti sihir.
Dan aku makin penasaran.
Kuputuskan untuk mengikutinya diam-diam. Awalnya aku merasa tindakanku ini benar sampai akhirnya saat aku berbelok ke kiri itu aku terkejut.
Dia ada di sana, tersenyum padaku.
Aku terpaku karena tidak menyangka kalau dia akan berubah secepat itu.
“Kau mau tahu cerita ini?” tanyanya padaku dengan suara yang lebih lembut.
Aku diam sejenak. Responku lambat. “Y, ya...” tapi aku mengucapkannya dengan nada bingung.
“Namanya Ryo,” ia memulai, “dan dia sangat dendam padaku...”
Aku makin bingung. Siapa yang dimaksud dengan “aku” dalam ceritanya?
“Dia bilang kami saling membenci dan dia sangat ingin melenyapkanku.”
Lalu dia berhenti. “Namamu Frey, kan?” ia tiba-tiba menanyakan namaku.
“Iya...” lalu aku tersadar, “Dari mana kau tahu?” tanyaku agak cepat.
“Karena kau sering melihatku dan jujur aku agak terganggu.”
Aku menelan ludahku. Ah! Dia tahu rupanya. “Jadi bagaimana dengan cerita tadi?” tanyaku sengaja.
“Tidak ada...” ia berbalik dan berjalan pergi. Kali ini aku merasakan kekuatan untuk berjalan di sampingnya.
“Kau tidak mau menceritakannya padaku. Kurasa cerita itu bagus...”
Dia tertawa kecil, “Tidak sebagus novel terbitan lain,” akunya.
“Kenapa?”
“Karena cerita ini tidak akan pernah masuk ke penerbit.”
“Kenapa tidak dicoba?” tanyaku.
Dia menunjukkan wajah muram sekarang, “karena tidak akan ada waktu.”
“Kenapa tidak ada waktu?”
Kali ini ia berhenti mendadak dan membuatku heran. Apa ada yang salah?
“Kau terlalu banyak tanya,” katanya.
Aku terkejut, “maaf. Aku hanya... penasaran,” akuku lemah.
Ia menatapku sesaat sebelum akhirnya berkata, “tentu saja. Semua orang yang mendengar itu akan penasaran.”
“Jadi?” tanyaku hati-hati.
“Jadi lebih baik tunggu saja waktunya.”

Semenjak hari itu aku rutin menemuinya dan kupikir aku banyak tahu tentangnya. Dia hanya seorang siswa tingkat akhir biasa yang akan mengikuti ujian masuk universitas. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di taman dan menyelesaikan rajutan pesanan pelanggannya di musim dingin. Dia juga hobi menulis.
Tapi sekali lagi kupikir aku lebih banyak tahu tentangnya sampai suatu hari aku tersadar kalau kami tidak pernah menyebutkan nama. Aku tidak tahu namanya tapi dia tahu namaku.
Hubungan kami aneh. Kami saling memanggil “aku” dan “kamu” sepanjang percakapan. Aku sama sekali tidak terpikir untuk bertanya tentang namanya.
Kami bertemu lagi dan kini dia sedang mendengarkan musik dari headset nya. Ia terlihat sedang serius dengan pekerjaannya yang biasa.
“Pernah terpikirkan tidak kalau sebenarnya ada yang salah,” tanyaku padanya.
Ia menatapku, “apa?”
“Aku tidak tahu namamu.”
Dia menghentikan pekerjaannya. “Apa itu penting?” tanyanya dengan nada biasa.
“Penting.”
“Kenapa?”
“Karena rasanya aneh jika aku tidak tahu namamu sedangkan kau tahu namaku.”
“Kalau sudah tahu, lalu bagaimana?”
“Kita akan jadi lebih akrab.”
“Jadi sekarang kita tidak akrab.”
“Maksudku...”
Dia langsung mengemasi barang-barangnya. Aku langsung merasa tidak enak. “Apa aku salah bicara?”
Dia menggeleng dan berdiri. “Kau benar. Seharusnya aku memberitahumu. Tapi... bagaimana caranya?”
Aku bingung. “Maksudmu... kau tidak bisa memberitahuku namamu?”
“Kalau aku memberitahumu apa semuanya akan berubah?” ia menatapku sedih. “Aku tidak mau ini berubah.”
Aku makin bingung. “Kita akan tetap seperti ini,” janjiku buru-buru.
Ia menghela napasnya dan menatap langit sesaat sebelum matanya kembali menatapku. “Kau sudah tahu namaku.”
“Tunggu!”
Tapi dia sudah berjalan pergi. Aku langsung berdiri dan menghalangi jalannya.
“Tunggu!” kataku. “Apa maksudmu? Aku tidak tahu namamu.”
“Kau tahu.”
“Kalau aku tahu aku takkan bertanya!” aku mulai emosi.
Ada apa dengannya? Kenapa dia semisterius itu?
Lalu ia berjalan melewatiku dan terus berjalan sampai ke luar taman. Ia berdiri di trotoar dan aku hanya bisa menatapnya.
“Kalau kau lupa,” ia memulai, “akan kuingatkan.”
Tepat pada saat itu ia berjalan ke tengah jalan tanpa mengabaikan sebuah truk yang melaju kencang. Aku terkejut dan dengan reflek berlari ke sana.
“AWAS! AMY, AWAAAS!!” teriakku keras.
Tapi kakiku tidak sampai ke sana. Sebuah penghalang besar menghentikan langkah kakiku hingga aku terjatuh. Kilasan-kilasan memori yang kukenal kembali menyerbu otakku dan aku merasa lemas.
Tepat pada saat itu kesadaranku hilang.

Saat aku membuka mata aku melihat langit-langit kamarku sendiri. Seseorang berdiri di sana. Aku tahu itu bukan Amy, tapi Gin. Dia menatapku sambil melipat tangannya.
“Akhirnya bangun juga,” katanya lega seolah-olah ia sudah menyelesaikan tugas berat.
Aku tersentak bangun. “Amy! Mana dia?”
“Dia baik-baik saja. Bagaimana? Apa kau merasa baik?”
“Di mana dia?” aku tidak menjawab pertanyaannya.
“Dia sudah pulang. Kenapa? Ada yang kembali?” tanyanya.
“Kembali?” aku bingung sesaat. “Ah ya! Aku ingat sekarang.”
“Jadi kau sudah ingat semuanya?”
“Semuanya! Aku tahu siapa dia!”
“Bagus,” dia beranjak dari posisinya. “Kau bisa ke sana sekarang.”
Aku bangun dan langsung kembali ke taman itu. Di sana aku melihat Amy yang sedang berdiri menatap pohon. Aku segera menghampirinya.
“Amy,” panggilku.
Ia berbalik padaku dan tersenyum, “kau sudah ingat?”
Aku mengangguk, “ya, aku ingat. Aku juga tahu siapa kau...” aku menatapnya sesaat. “Maaf kalau aku melupakanmu...”
Ia mengangguk paham.
“Padahal kau tahu aku siapa. Tapi kenapa kau tidak bilang?” tanyaku kecewa.
“Karena aku yang membuatmu begitu. Aku yang membuatmu lupa padaku. Kalau saat itu kita tidak bertemu... mungkin kau takkan begitu!"

Aku tersenyum. Aku ingat sekarang. Saat itu setelah kami bertemu, dia menyeberang jalan dan hampir tertabrak. Aku menyelamatkannya dan tertabrak. Sebenarnya Amy memang begitu. Aku berusaha menyapanya dan masuk ke dalam dunianya yang asing. 

Memang, awalnya dia begitu asing. 

"Setidaknya hari ini aku ingat kalau kau tidak asing bagiku."

You Might Also Like

0 comments: