Name - Rain
Aku
mengenalnya dua tahun lalu. Dia seorang perempuan yang senang memintal benang
di bangku taman. Dia pendiam. Dia seperti tidak peduli dengan sekitarnya. Dunianya
berputar disekitarnya. Dia seperti memiliki waktu sendiri dan aku adalah orang
luar yang harus minta izin dulu untuk mendekatinya.
Sepertinya
begitu.
Aku
rasa memang begitu.
Karena
penasaran akhirnya aku mendekatinya. Untuk pertama kalinya aku mendapatkan
reaksi tidak biasa. Ia tahu aku sudah didekatnya tapi dia tidak mendongakkan
kepalanya.
“Hai,”
aku mulai menyapanya dengan ragu tapi dia tidak menjawab. Ia terlalu sibuk
dengan rajutannya. “Hai, kau bikin apa?” aku mencoba lebih keras lagi.
“Syal
musim dingin,” jawabnya datar. Suaranya sama sekali tidak menunjukkan minat
apapun untuk menjelaskan pekerjaannya.
Aku
tersenyum. “Boleh duduk di sini?”
Ia
lagi-lagi tidak menjawab. Kuanggap saja itu artinya ‘ya’ dan aku duduk di
sampingnya. Kami diam. Terlalu banyak diam. Dia tidak peduli dengan
keberadaanku. Bahkan dia hanya menjawab pertanyaanku sekedarnya.
“Kau
suka merajut?” tanyaku memulai.
“Ya.”
“Kau
sering duduk di sini.”
“Ya.”
“Kau
suka di sini?”
“Ya.”
“Kenapa?”
Ia
diam. Ia sepertinya tidak berminat menceritakan alasan-alasannya ada di sini. Aku
mulai merasa tidak enak dan ingin pergi saja.
“Ah!
Aku ada janji dengan temanku. Aku pergi dulu ya,” buru-buru aku berdiri sambil
berharap ada respon darinya. Tapi tidak ada.
Esoknya
aku kembali ke sana dan melihatnya duduk sambil membaca. Baru kali ini aku melihatnya
membaca. Aku mendekatinya dan menyapanya.
“Hai,
kau sedang baca apa?” sapaku sambil duduk di sampingnya.
“Buku.”
Aku
mengintip dan melihat tulisan tangan di sana. Ini buku tulis dan seseorang
menuliskannya sendiri dengan tulisan tangannya. “Kau baca karya siapa?”
Agaknya
ia terkejut dan menutup buku itu lalu berdiri. “Aku harus pergi.”
“Tunggu!”
Tapi
seperti yang sudah kuduga, arusnya tak mudah kulawan. Ia pergi begitu saja dan
tidak mengacuhkanku. Sepertinya aku merasa dikendalikan olehnya. Jika dia tidak
ingin maka aku tak bisa mendekat. Tapi apa benar begitu? Saat dia menghilang
aku baru sadar kalau aku bisa bergerak dan mengendalikan duniaku sendiri.
Rasanya
seperti sihir.
Dan
aku makin penasaran.
Kuputuskan
untuk mengikutinya diam-diam. Awalnya aku merasa tindakanku ini benar sampai
akhirnya saat aku berbelok ke kiri itu aku terkejut.
Dia
ada di sana, tersenyum padaku.
Aku
terpaku karena tidak menyangka kalau dia akan berubah secepat itu.
“Kau
mau tahu cerita ini?” tanyanya padaku dengan suara yang lebih lembut.
Aku
diam sejenak. Responku lambat. “Y, ya...” tapi aku mengucapkannya dengan nada
bingung.
“Namanya
Ryo,” ia memulai, “dan dia sangat dendam padaku...”
Aku
makin bingung. Siapa yang dimaksud dengan “aku” dalam ceritanya?
“Dia
bilang kami saling membenci dan dia sangat ingin melenyapkanku.”
Lalu
dia berhenti. “Namamu Frey, kan?” ia tiba-tiba menanyakan namaku.
“Iya...”
lalu aku tersadar, “Dari mana kau tahu?” tanyaku agak cepat.
“Karena
kau sering melihatku dan jujur aku agak terganggu.”
Aku
menelan ludahku. Ah! Dia tahu rupanya. “Jadi bagaimana dengan cerita tadi?”
tanyaku sengaja.
“Tidak
ada...” ia berbalik dan berjalan pergi. Kali ini aku merasakan kekuatan untuk
berjalan di sampingnya.
“Kau
tidak mau menceritakannya padaku. Kurasa cerita itu bagus...”
Dia
tertawa kecil, “Tidak sebagus novel terbitan lain,” akunya.
“Kenapa?”
“Karena
cerita ini tidak akan pernah masuk ke penerbit.”
“Kenapa
tidak dicoba?” tanyaku.
Dia
menunjukkan wajah muram sekarang, “karena tidak akan ada waktu.”
“Kenapa
tidak ada waktu?”
Kali
ini ia berhenti mendadak dan membuatku heran. Apa ada yang salah?
“Kau
terlalu banyak tanya,” katanya.
Aku
terkejut, “maaf. Aku hanya... penasaran,” akuku lemah.
Ia
menatapku sesaat sebelum akhirnya berkata, “tentu saja. Semua orang yang
mendengar itu akan penasaran.”
“Jadi?”
tanyaku hati-hati.
“Jadi
lebih baik tunggu saja waktunya.”
Semenjak
hari itu aku rutin menemuinya dan kupikir aku banyak tahu tentangnya. Dia hanya
seorang siswa tingkat akhir biasa yang akan mengikuti ujian masuk universitas. Dia
lebih banyak menghabiskan waktunya di taman dan menyelesaikan rajutan pesanan
pelanggannya di musim dingin. Dia juga hobi menulis.
Tapi
sekali lagi kupikir aku lebih banyak tahu tentangnya sampai suatu hari aku
tersadar kalau kami tidak pernah menyebutkan nama. Aku tidak tahu namanya tapi
dia tahu namaku.
Hubungan
kami aneh. Kami saling memanggil “aku” dan “kamu” sepanjang percakapan. Aku sama
sekali tidak terpikir untuk bertanya tentang namanya.
Kami
bertemu lagi dan kini dia sedang mendengarkan musik dari headset nya. Ia terlihat
sedang serius dengan pekerjaannya yang biasa.
“Pernah
terpikirkan tidak kalau sebenarnya ada yang salah,” tanyaku padanya.
Ia
menatapku, “apa?”
“Aku
tidak tahu namamu.”
Dia
menghentikan pekerjaannya. “Apa itu penting?” tanyanya dengan nada biasa.
“Penting.”
“Kenapa?”
“Karena
rasanya aneh jika aku tidak tahu namamu sedangkan kau tahu namaku.”
“Kalau
sudah tahu, lalu bagaimana?”
“Kita
akan jadi lebih akrab.”
“Jadi
sekarang kita tidak akrab.”
“Maksudku...”
Dia
langsung mengemasi barang-barangnya. Aku langsung merasa tidak enak. “Apa aku
salah bicara?”
Dia
menggeleng dan berdiri. “Kau benar. Seharusnya aku memberitahumu. Tapi...
bagaimana caranya?”
Aku
bingung. “Maksudmu... kau tidak bisa memberitahuku namamu?”
“Kalau
aku memberitahumu apa semuanya akan berubah?” ia menatapku sedih. “Aku tidak
mau ini berubah.”
Aku
makin bingung. “Kita akan tetap seperti ini,” janjiku buru-buru.
Ia
menghela napasnya dan menatap langit sesaat sebelum matanya kembali menatapku. “Kau
sudah tahu namaku.”
“Tunggu!”
Tapi
dia sudah berjalan pergi. Aku langsung berdiri dan menghalangi jalannya.
“Tunggu!”
kataku. “Apa maksudmu? Aku tidak tahu namamu.”
“Kau
tahu.”
“Kalau
aku tahu aku takkan bertanya!” aku mulai emosi.
Ada
apa dengannya? Kenapa dia semisterius itu?
Lalu
ia berjalan melewatiku dan terus berjalan sampai ke luar taman. Ia berdiri di
trotoar dan aku hanya bisa menatapnya.
“Kalau
kau lupa,” ia memulai, “akan kuingatkan.”
Tepat
pada saat itu ia berjalan ke tengah jalan tanpa mengabaikan sebuah truk yang
melaju kencang. Aku terkejut dan dengan reflek berlari ke sana.
“AWAS!
AMY, AWAAAS!!” teriakku keras.
Tapi
kakiku tidak sampai ke sana. Sebuah penghalang besar menghentikan langkah
kakiku hingga aku terjatuh. Kilasan-kilasan memori yang kukenal kembali
menyerbu otakku dan aku merasa lemas.
Tepat
pada saat itu kesadaranku hilang.
Saat
aku membuka mata aku melihat langit-langit kamarku sendiri. Seseorang berdiri
di sana. Aku tahu itu bukan Amy, tapi Gin. Dia menatapku sambil melipat
tangannya.
“Akhirnya
bangun juga,” katanya lega seolah-olah ia sudah menyelesaikan tugas berat.
Aku
tersentak bangun. “Amy! Mana dia?”
“Dia
baik-baik saja. Bagaimana? Apa kau merasa baik?”
“Di
mana dia?” aku tidak menjawab pertanyaannya.
“Dia
sudah pulang. Kenapa? Ada yang kembali?” tanyanya.
“Kembali?”
aku bingung sesaat. “Ah ya! Aku ingat sekarang.”
“Jadi
kau sudah ingat semuanya?”
“Semuanya!
Aku tahu siapa dia!”
“Bagus,”
dia beranjak dari posisinya. “Kau bisa ke sana sekarang.”
Aku
bangun dan langsung kembali ke taman itu. Di sana aku melihat Amy yang sedang
berdiri menatap pohon. Aku segera menghampirinya.
“Amy,”
panggilku.
Ia
berbalik padaku dan tersenyum, “kau sudah ingat?”
Aku
mengangguk, “ya, aku ingat. Aku juga tahu siapa kau...” aku menatapnya sesaat. “Maaf
kalau aku melupakanmu...”
Ia
mengangguk paham.
“Padahal
kau tahu aku siapa. Tapi kenapa kau tidak bilang?” tanyaku kecewa.
“Karena
aku yang membuatmu begitu. Aku yang membuatmu lupa padaku. Kalau saat itu kita
tidak bertemu... mungkin kau takkan begitu!"
Aku tersenyum. Aku ingat sekarang. Saat itu setelah kami bertemu, dia menyeberang jalan dan hampir tertabrak. Aku menyelamatkannya dan tertabrak. Sebenarnya Amy memang begitu. Aku berusaha menyapanya dan masuk ke dalam dunianya yang asing.
Memang, awalnya dia begitu asing.
"Setidaknya hari ini aku ingat kalau kau tidak asing bagiku."
Aku tersenyum. Aku ingat sekarang. Saat itu setelah kami bertemu, dia menyeberang jalan dan hampir tertabrak. Aku menyelamatkannya dan tertabrak. Sebenarnya Amy memang begitu. Aku berusaha menyapanya dan masuk ke dalam dunianya yang asing.
Memang, awalnya dia begitu asing.
"Setidaknya hari ini aku ingat kalau kau tidak asing bagiku."
0 comments: