Song of Aria #4 - Rain
Aira sebenarnya tidak mendengar kata-kata orang bule yang dikenal dengan Mr.Avendale itu, tentang dirinya yang tidak pantas dihibur oleh gadis berpakaian lusuh. Ia menghempaskan jari-jarinya lebih untuk menghentikan dirinya sendiri.
Apa yang kulakukan?
Kenapa aku memainkannya? Ia mengayuh sepedanya sambil
terus menyalahkan dirinya. Seharusnya aku
tidak melakukannya! Seharusnya aku tidak di sana! Seharusnya aku bisa menahannya! Kenapa
dia datang?
Aira tahu kalau lagu kedua, dari pertengahan musik hingga
akhir dari musik itu, konsentrasinya musnah. Tangannya seperti bukan miliknya.
Ia tidak bisa mengendalikan gerakannya. Tangannya menekan nada-nada sumbang
yang aneh di telinganya dan ia tahu kalau itu bukan lagunya. Itu bukan
musiknya.
Musik aneh yang ia dengar itu bukan dia yang memainkannya.
Tapi seseorang yang hidup disudut terdalam hatinya. Sial! Kalau begini terus,
ia takkan bisa kemana-mana lagi!
Akhirnya Erland mendapatkan salinan video itu lima belas menit
sesudahnya. Video itu dimuat dalam DVD dan telah diedit dengan baik sehingga ia
bisa melihat dengan jelas si gadis pemain piano itu.
Setelah pemuda itu pergi dari ruangannya, Erland
memutar-mutar kaset itu dengan sebelah tangannya. Sebelum pikirannya
benar-benar melayang, seseorang mengetuk pintunya dan masuk begitu saja.
“Gila! Kau tahu kalau semua orang sedang sibuk di bawah?”
tanya Andrew. “Kau benar-benar pengusaha sukses. Diskon dadakan yang kau
berikan itu membuat pelangganmu jadi tambah banyak!” serunya takjub sambil
duduk di sofa.
“Aku pebisnis, dan aku tahu apa yang kuinginkan,” Erland
hanya memberi jawaban samar.
“Kau tahu, dik. Seharusnya kau bermarkas di London saja, bukannya di sini.”
“Aku akan ke sana
jika memang sudah waktunya,” jawabnya sambil meletakkan DVD itu di meja.
“Kenapa kau ingin aku segera ke sana?”
“Kau tahu kalau ayah tidak suka tempat ini.”
“Dan dia ada di sini sekarang,” Erland bersandar santai di
kursinya. “Menurutmu kenapa? Dia bisa memanggilku ke London. Tapi kenapa dia di sini?”
“Karena aku tahu kau takkan ke sana,” kata Andrew sambil
mendengus. “Kau selalu mengaitkan kota
itu dengan masa lalumu. Kau di sini untuk memberontak, aku tahu itu.”
Erland tertawa, “Dan kau? Apa kau memintanya untuk merayakan
kelulusanmu di sini?”
“Aku tak ingin kau terus-terusan berseberangan dengannya.
Kau tahu kalau ibuku juga ikut andil dalam hal ini.”
“Terima kasih.”
“Tapi rasanya kau masih dingin pada ayah.”
Erland tidak menjawab. Ia meminum wine agar tidak terpancing
dengan ledakan kemarahannya sendiri.
“Aku ingin kita jadi satu keluarga yang utuh dan –“
“Simpan saja itu dalam benakmu,” kali ini ia bangkit berdiri
dan berderap ke pintu.
Andrew menghalanginya. “Jangan biarkan masa lalumu
mengurungmu.”
Erland menatapnya sebentar sebelum senyum angkuh penuh rasa
percaya diri tersungging di bibirnya. “Tahu apa kau dengan itu?”
Lalu ia menarik Andrew ke samping, membuka pintu, dan
membantingnya keras.
Erland berjalan menyusuri koridor sambil melonggarkan
dasinya. Ia terus berjalan keluar restoran dan mengambil mobilnya. Setelah
menghidupkan mesin, ia melaju lurus di jalan.
Rahangnya mengatup marah dalam rasa frustasi yang tidak
terbendung. Ia tidak suka dengan keluarganya yang sekarang. Amat sangat tidak
suka. Walau Andrew menunjukkan rasa sayangnya dengan terang-terangan, ia merasa
kalau pria itu terlalu kekanak-kanakan dan selalu menjadi anak baik dimata
orang tuanya. Baginya Andrew sangat beruntung.
Janda Sevenstone, Maria, menikah dengan ayahnya, Edward
Avendale sekitar sebelas tahun lalu. Dari pernikahan itu ia langsung mendapat
seorang kakak lelaki bernama Andrew yang sangat senang bertemu dengannya
pertama kali sementara Erland langsung tidak nyaman dengannya. Maria dan
anaknya, Andrew, resmi masuk dalam silsilah Avendale dan mengangkat mereka
berdua dalam status yang baru, sebagai orang kaya.
Walau begitu, Erland bisa melihat kalau Maria bukanlah
wanita yang licik. Ia justru bersikap keibuan dan siap mendengar semua keluhan Erland…
itu janjinya. Hanya saja ia tidak pernah datang padanya karena ia merasa cukup
dewasa dan terbiasa menghadapi semua ini sendiri. Ia dan Andrew kerap menjadi
penengah jika Erland dan ayahnya berselisih paham.
Ibu Erland adalah seorang wanita Indonesia. Ayahnya sangat
membencinya dan tidak ingin mendengar nama si pengkhianat itu disebut-sebut di
depannya. Keputusan Erland untuk pindah dan menetap sementara di negeri seribu
pulau ini karena ia ingin merasakan Negara ibunya dan tentu saja mencarinya
untuk bertanya.
Semua bayangan tentang masa lalu kelamnya berputar di kepala
dan ia mengenyahkan semua itu dengan mengebut di jalanan sepi yang mengarah
menuju ke sebuah pantai sepi di depannya. Ia tersadar dan tidak tahu di mana ia
sekarang.
Ia memarkir mobilnya di samping pagar sebuah TK yang ada di sana lalu keluar dan
mengamati lingkungan asing ini.
Di depannya tehampar lautan luas yang sepi. Di sampingnya
ada TK dengan halaman luas, tiga ruang kelas, satu ruang guru, dan mainan
seperti seluncuran dan ayunan. Matanya terpaku pada seseorang yang sedang duduk
sambil berayun pelan di ayunan itu.
Ia menyipitkan matanya, melihat baik-baik gadis itu dan
akhirnya ia merasa yakin sekarang. Dia adalah si pemain piano!
0 comments: