Song of Aria #4 - Rain

6:52 PM fe 0 Comments


         Aira sebenarnya tidak mendengar kata-kata orang bule yang dikenal dengan Mr.Avendale itu, tentang dirinya yang tidak pantas dihibur oleh gadis berpakaian lusuh. Ia menghempaskan jari-jarinya lebih untuk menghentikan dirinya sendiri.
Apa yang kulakukan? Kenapa aku memainkannya? Ia mengayuh sepedanya sambil terus menyalahkan dirinya. Seharusnya aku tidak melakukannya! Seharusnya aku tidak di sana! Seharusnya aku bisa menahannya! Kenapa dia datang?
Aira tahu kalau lagu kedua, dari pertengahan musik hingga akhir dari musik itu, konsentrasinya musnah. Tangannya seperti bukan miliknya. Ia tidak bisa mengendalikan gerakannya. Tangannya menekan nada-nada sumbang yang aneh di telinganya dan ia tahu kalau itu bukan lagunya. Itu bukan musiknya.

Musik aneh yang ia dengar itu bukan dia yang memainkannya. Tapi seseorang yang hidup disudut terdalam hatinya. Sial! Kalau begini terus, ia takkan bisa kemana-mana lagi!

Akhirnya Erland mendapatkan salinan video itu lima belas menit sesudahnya. Video itu dimuat dalam DVD dan telah diedit dengan baik sehingga ia bisa melihat dengan jelas si gadis pemain piano itu.
Setelah pemuda itu pergi dari ruangannya, Erland memutar-mutar kaset itu dengan sebelah tangannya. Sebelum pikirannya benar-benar melayang, seseorang mengetuk pintunya dan masuk begitu saja.
“Gila! Kau tahu kalau semua orang sedang sibuk di bawah?” tanya Andrew. “Kau benar-benar pengusaha sukses. Diskon dadakan yang kau berikan itu membuat pelangganmu jadi tambah banyak!” serunya takjub sambil duduk di sofa.
“Aku pebisnis, dan aku tahu apa yang kuinginkan,” Erland hanya memberi jawaban samar.
“Kau tahu, dik. Seharusnya kau bermarkas di London saja, bukannya di sini.”
“Aku akan ke sana jika memang sudah waktunya,” jawabnya sambil meletakkan DVD itu di meja. “Kenapa kau ingin aku segera ke sana?”
“Kau tahu kalau ayah tidak suka tempat ini.”
“Dan dia ada di sini sekarang,” Erland bersandar santai di kursinya. “Menurutmu kenapa? Dia bisa memanggilku ke London. Tapi kenapa dia di sini?”
“Karena aku tahu kau takkan ke sana,” kata Andrew sambil mendengus. “Kau selalu mengaitkan kota itu dengan masa lalumu. Kau di sini untuk memberontak, aku tahu itu.”
Erland tertawa, “Dan kau? Apa kau memintanya untuk merayakan kelulusanmu di sini?”
“Aku tak ingin kau terus-terusan berseberangan dengannya. Kau tahu kalau ibuku juga ikut andil dalam hal ini.”
“Terima kasih.”
“Tapi rasanya kau masih dingin pada ayah.”
Erland tidak menjawab. Ia meminum wine agar tidak terpancing dengan ledakan kemarahannya sendiri.
“Aku ingin kita jadi satu keluarga yang utuh dan –“
“Simpan saja itu dalam benakmu,” kali ini ia bangkit berdiri dan berderap ke pintu.
Andrew menghalanginya. “Jangan biarkan masa lalumu mengurungmu.”
Erland menatapnya sebentar sebelum senyum angkuh penuh rasa percaya diri tersungging di bibirnya. “Tahu apa kau dengan itu?”
Lalu ia menarik Andrew ke samping, membuka pintu, dan membantingnya keras.
Erland berjalan menyusuri koridor sambil melonggarkan dasinya. Ia terus berjalan keluar restoran dan mengambil mobilnya. Setelah menghidupkan mesin, ia melaju lurus di jalan.
Rahangnya mengatup marah dalam rasa frustasi yang tidak terbendung. Ia tidak suka dengan keluarganya yang sekarang. Amat sangat tidak suka. Walau Andrew menunjukkan rasa sayangnya dengan terang-terangan, ia merasa kalau pria itu terlalu kekanak-kanakan dan selalu menjadi anak baik dimata orang tuanya. Baginya Andrew sangat beruntung.
Janda Sevenstone, Maria, menikah dengan ayahnya, Edward Avendale sekitar sebelas tahun lalu. Dari pernikahan itu ia langsung mendapat seorang kakak lelaki bernama Andrew yang sangat senang bertemu dengannya pertama kali sementara Erland langsung tidak nyaman dengannya. Maria dan anaknya, Andrew, resmi masuk dalam silsilah Avendale dan mengangkat mereka berdua dalam status yang baru, sebagai orang kaya.
Walau begitu, Erland bisa melihat kalau Maria bukanlah wanita yang licik. Ia justru bersikap keibuan dan siap mendengar semua keluhan Erland… itu janjinya. Hanya saja ia tidak pernah datang padanya karena ia merasa cukup dewasa dan terbiasa menghadapi semua ini sendiri. Ia dan Andrew kerap menjadi penengah jika Erland dan ayahnya berselisih paham.
Ibu Erland adalah seorang wanita Indonesia. Ayahnya sangat membencinya dan tidak ingin mendengar nama si pengkhianat itu disebut-sebut di depannya. Keputusan Erland untuk pindah dan menetap sementara di negeri seribu pulau ini karena ia ingin merasakan Negara ibunya dan tentu saja mencarinya untuk bertanya.
Semua bayangan tentang masa lalu kelamnya berputar di kepala dan ia mengenyahkan semua itu dengan mengebut di jalanan sepi yang mengarah menuju ke sebuah pantai sepi di depannya. Ia tersadar dan tidak tahu di mana ia sekarang.
Ia memarkir mobilnya di samping pagar sebuah TK yang ada di sana lalu keluar dan mengamati lingkungan asing ini.
Di depannya tehampar lautan luas yang sepi. Di sampingnya ada TK dengan halaman luas, tiga ruang kelas, satu ruang guru, dan mainan seperti seluncuran dan ayunan. Matanya terpaku pada seseorang yang sedang duduk sambil berayun pelan di ayunan itu.
Ia menyipitkan matanya, melihat baik-baik gadis itu dan akhirnya ia merasa yakin sekarang. Dia adalah si pemain piano!

You Might Also Like

0 comments: