She #29 - Rain
“Buruk ya kalau aku mau kenal kamu?”
tanya Aya pada Ren.
Ren menengadah melihat wanita mungil itu
menunduk menatapnya.
“Nggak,” jawab Ren setelah tahu siapa
lawan bicaranya.
“Kamu nggak suka aku dekat-dekat kamu?”
tanyanya lagi.
Ren menutup laptopnya dan memasukkannya
ke dalam ranselnya. “Nggak,” jawabnya. Ia menyandang ranselnya dan berdiri
sekarang. “Aku cuma nggak mau kalau waktuku terbuang karena kamu cerita hal
yang nggak penting.”
“Hal yang nggak penting?” ia agak
terpekik sekarang, tidak percaya dengan serangan Ren.
Ren memasukkan tangan kesakunya dan
berpikir sejenak, “Well, aku nggak
tahu kenapa kamu tiba-tiba cerita masa lalu kamu. Bagiku itu nggak penting.
Memangnya aku tertarik? Nggak kan? Aku nggak minta kamu cerita.”
Ia mengangguk, “Oh begitu. Jadi kamu
nggak penasaran sama dia?”
“Sama hubungan kalian, maksudnya?” Ren
bertanya. “Terus apa manfaatnya kalau aku tahu?”
Ia diam, tidak bisa menjawab.
“Nah. Gimana?” pancing Ren lagi.
Kali ini gadis itu menggigit bibirnya,
frustasi dan marah. “Aku cuma mau bilang…”
“Apa?” potong Ren. “Kamu masih suka dia?
Mencintainya? Begitu?” tanya Ren cepat.
Ia jelas-jelas tidak suka karena semua kata-katanya
dilontarkan Ren. Dan Ren tahu kalau memang itu yang akan dikatakannya.
“Nah,” Ren berdiri santai, “Itu hak mu.
Kamu mau suka atau benci dia, itu hak mu. Tapi buat apa kamu bilang itu padaku?”
tanya Ren.
Aya melotot padanya.
“Lagi pula ya kalau dia nggak suka sama
kamu, itu artinya kamu bukan siapa-siapa!” Ren mengatakannya terlalu keras
sekarang sehingga ia bisa melihat kalau gadis itu terluka.
Aya melempar tatapannya ke arah lain
sementara Ren masih menatapnya marah.
“Kamu nggak usah nekanin apapun. Pergi,
cari dia, bilang kalau kamu masih suka sama dia. Nggak ada gunanya kamu bilang
itu ke aku. Aku bukan dia,” lalu Ren berbalik pergi dengan marah.
Andrea sedang duduk sendirian di dalam Pit Stop saat ada seseorang yang dengan
marah membuka pintu itu dan masuk dengan langkah berderap. Ia langsung
menghadap pria itu dan menatapnya marah dengan tangan di pinggang. Andrea
berdiri menghadap Ren.
“Kenapa?” tanyanya.
“Cepat selesaikan urusanmu dengannya,” kata
Ren langsung. “Aku muak dikejar sama orang gila yang tergila-gila padamu!”
Andrea mencoba mencari arah pembicaraan
ini sampai akhirnya dia tahu siapa yang dimaksud.
“Aya?” tanya Andrea hati-hati.
Ren mengangguk, “Ya. Siapa lagi?”
Dan pria itu menghela napasnya, “Aku
sudah bilang kan kalau semuanya sudah berakhir?”
“Agaknya itu nggak tegas,” Ren mondar
mandir sekarang, jelas kalau dia sedang gelisah. “Dia nggak nyerah. Sama sekali
nggak mau nyerah. Dia bilang kalau dia suka sama kamu dan dia pikir semuanya
akan beres kalau aku tahu itu!” Ren tertawa sinis, “Hebat!”
“Jadi kamu punya ide?”
“Nggak,” jawab Ren jujur. “Itu
masalahmu. Masalah kalian. Bukan masalahku.”
“Tapi kamu kepikiran, kan?” Andrea senang
sekali mengatakannya.
“Dan aku nggak tahu kenapa aku
terlibat.”
“Perlu kuberitahu teorinya?” Andrea
makin senang menggoda gadis itu yang sekarang mulai merasa kalau pikiran
warasnya kembali.
Ren tahu kalau seharusnya dia tidak ke
sini tapi akhir-kahir ini dia jadi orang aneh! Sangat aneh!
Ia sudah tahu jawabannya. Gadis itu,
Aya, cemburu padanya. Ia dianggap sebagai penghalang. Seharusnya Ren tertawa
saja dan barkata kalau ia tidak peduli karena memang dia tidak punya hubungan
apapun dengan bos nya ini.
“Sudahlah!” Ren kembali berderap keluar
ruangan.
Andrea tahu kalau dia tidak mungkin
membiarkan Aya terlalu terpaku pada masalah mereka dan masa lalunya. Jadi ia
memutuskan untuk menunggu di laut. Benar saja, Aya ada di sana duduk sendirian
dan terdiam.
“Oh, jadi kamu suka ke sini ya?”
Mendengar suara itu gadis mungil itu
terkejut. Orang yang diharapkannya akan ada bersamanya ternyata ada di sini.
“Andrea…” panggilnya senang dan ia
langsung berdiri. Ia mengangkat tangannya, ingin memeluk, tapi pria itu mundur
selangkah dan ia terhenti.
“Andrea, aku senang kamu mau ke sini
lagi,” ia masih mengabaikan raut wajah datar pria itu. “Aku benar-benar nunggu
kamu. Aku tahu kalau kamu mau balik.”
Pria itu diam saja, tidak tertarik
dengan senyum menawan yang pernah menawannya dulu. “Hari ini Ren datang
padaku,” Andrea langsung bicara, tidak tertarik dengan basa-basi. “Dia bilang
dia kenal kamu.”
“Oh? Iya…” Aya kaget. “Kami sudah jadi
teman atau semacamnya…” katanya pelan.
“Tapi aku tahu kalau kamu memang selalu
begitu. Memangnya kamu mau apa?”
Aya tidak mengerti, “Andrea, kamu
ngomong apa?”
“Aku tahu kamu mengultimatumnya.”
“Apa? Kamu pikir aku begitu?” tanyanya
dengan nada polos. “Nggak! Aku nggak begitu.”
Andrea tersenyum, senyum mengejek yang
membuat Aya resah. “Dia itu jujur dan dia nggak bisa bohong. Justru aku tahu
kalau itu memang terjadi. Memangnya kamu bilang apa?”
“Aku nggak bilang apa-apa!” Aya berkeras
sekarang. “Aku mau jadi teman dia, itu saja. Aku nggak ngancam dia.”
“Kamu memang nggak ngancam dia. Tapi ada
hal lain yang kamu katakan. Ya kan?”
Aya menarik napasnya, “Andrea, aku sama
sekali nggak seburuk itu. Aku di sini buat kamu. Aku nunggu kamu! Aku mau kamu
tahu itu!”
Andrea menatapnya, sama sekali tidak
terkejut.
“Aku nggak minta kamu nunggu aku. Dan
kenapa harus melibatkan Ren segala?”
“Dia itu –” kata-katanya terputus. “Aku
tahu kalau kalian berdua terlalu dekat. Aku nggak suka dia dekat-dekat kamu!
Dia bukan siapa-siapa!”
“Kamu juga bukan siapa-siapa!”
Kalimat balasan itu sangat menghantam
Aya dan ia nyaris menangis.
“Apa kamu bilang?” bisiknya dengan suara
tidak percaya. “Apa kamu bilang?” ia mendekat dan mencengkram lengan Andrea.
Itu adalah kata-kata terkejam yang menekannya dengan sadis.
Andrea diam dan menatapnya saja tanpa
ekspresi atau rasa kasihan sama sekali.
“Tatap aku! Ini aku! Aya! Aku menunggumu
dan aku masih berharap kalau –”
Andrea melepaskan tangan gadis itu, “Aku
nggak minta kamu nunggu aku. Hubungan kita sudah nggak ada. Sudah berakhir.”
“Nggak mau!” pekiknya sambil menutup
telinganya.
“Dan apapun yang kamu lakukan, itu semua
terserah kamu. Kamu bukan siapa-siapa bagiku.”
0 comments: