The Moon and The Sun #10 - Rain

10:03 PM fe 0 Comments

10
Aroma tas Prada ada dimana-mana saat Gates mengajakku masuk ke sebuah toko eksklusif yang ada di pusat perbelanjaan Chicago. Sebenarnya aku risih karena Gates mengajakku ke tempat yang sangat umum seperti ini… itu karena dia bukan orang biasa. Aku kebanyakan kuatir dengan papparazi yang berkeliaran di mana-mana. Yah, aku memang sudah terkenal secara nama tapi aku tak ingin wajahku ikut terkenal juga.

Tapi di satu sisi aku senang karena Gates mengajakku keluar masuk butik dan toko seperti ini. Bukankah ini serasa seperti kencan? Aku tersenyum dalam hati saat ia berjalan di sampingku secara nyata.

Tapi tetap saja aku tidak mengerti kenapa dia mengajakku keluar masuk toko seperti ini.

“Jadi? Kenapa kau mengajakku ke sini?” tanyaku saat kami baru keluar dari toko ke empat yang kami datangi.

“Well, aku hanya minta pendapatmu saja tentang benda-benda itu.” Katanya kalem.

Memang dari tadi Gates memilih beberapa barang dari toko-toko itu dan meminta pendapatku tentang mode dan gayanya.

“Kau yakin menanyakannya pada orang yang tepat?” tanyaku sambil menyipitkan mata. “Aku ini penggemar fashion Asia, bukan Eropa. Dan aku penggemar sepatu, bukan busana.”


Gates tampaknya pasrah dengan itu. Ia bersandar di dinding batu deretan pertokoan itu dan menatapku muram.

“Tapi kau designer juga, kan?”

Aku mengangguk dan berkata, “Gates, aku ini memang designer tapi bukan berarti aku suka dengan semua desain. Aku suka hal-hal yang simple, menarik, dan unik. Tapi aku ini pembaca pasar Asia… bukan berarti juga aku tidak tahu perkembangan pasar Eropa.”

“Kalau begitu kau bisa membantuku memilihkan hadiah untuknya, kan?”

Untuknya? Satu kata itu membuatku terhenyak sekaligus waspada. “Siapa?” tanyaku hati-hati.

Aku menegakkan punggungku sekarang sambil mencoba menerka ‘orang itu’ dengan perasaan tidak nyaman. “Seorang wanita?” tanyaku lagi.

“Hm?”

Aku menarik napas dan menjelaskannya dengan cepat. “Seorang wanita, fashionable, sosialita, cantik, berbakat?”

Ia tersenyum penuh arti lagi dan berkata, “tepat. Tapi tidak untuk kata sosialita.”

Rasa kecewa langsung menghantam dadaku dengan cepat. Rasanya aku ingin kabur dari sini dan tidak ingin melihatnya lagi!

Seharusnya dari awal aku sudah curiga dengan hal ini. Ia kebanyakan menanyakan baju-baju, dress, dan sepatu berwarna pink yang hanya dipakai seorang wanita, bukan pria kecuali waria. Dan setahuku Gates bukan waria. Sebenarnya aku hanya berpikir kalau barang-barang pilihannya tadi itu untuk ibunya atau saudara perempuannya. Tapi kurasa tidak. Gates tidak pernah seserius itu memikirkan benda apa yang cocok untuk menyenangkan hati perempuan kecuali jika orang itu bisa membuatnya tergila-gila.

Aku hampir terbakar api cemburu dan rasa kecewa yang membuatku tidak tahan di dekatnya. Ini sama dengan kejadian tiga tahun lalu saat ia berusaha mencari cincin demi kekasihnya dan ia terlihat sama seriusnya seperti sekarang.

Aku iri.

Kenapa orang itu bukan aku?

“Jadi kau mengajakku keluar masuk toko karena ingin memberinya hadiah?” tanyaku. Gates mengangguk dan aku segera mendongakkan kepala. “Dasar!” kataku kesal.

“Apa?”

Aku meliriknya dengan tatapan tidak suka dan ia terlihat bingung.

“Selene?” ia memanggil namaku dan itu membuatku harus menekan egoku sendiri.

Aku buru-buru mencari alasan. “Kau membuatku bingung. Kalau kau memang ingin cari hadiah, kenapa tidak katakan saja dari tadi?” alasanku cepat. Aku sendiri tidak tahu dari mana kata-kata itu bisa muncul dan mengalir begitu saja.

Jujur, ini sangat aneh. Aku tidak biasa berkilah seperti ini sebelumnya, hanya saja sekarang aku bisa melakukannya dengan baik.

Gates menatapku sesaat dan akhirnya tertawa dengan wajah pahamnya, “maaf. Aku terlalu buru-buru…” akunya.

Aku lega karena dia tidak sadar kalau aku sedang kecewa berat di depannya. Dan hebatnya kenapa aku menawarkan diri mau membantunya? Memilihkan hadiah untuk seorang wanita yang spesial baginya itu bukankah sangat menyakitkan?

Bodoh, bodoh, bodoh! Rasanya aku sangat tergoda menghantamkan kepalaku ke dinding batu yang dingin itu.

“Oke, kita mulai lagi dari awal. Tenang saja, hari ini aku akan mentraktirmu makan siang… kalau perlu makan malam juga.” Katanya dengan semangat baru.

“Kupikir hanya makan siang saja. Soalnya aku ada janji.” Kataku langsung.

“Janji? Dengan siapa?”

Aku seolah dihantam dengan pertanyaan itu. “Mmm… Yah, Rev.” Jawabku tanpa pikir panjang lagi lalu segera menyesal.

Bodoh! kenapa aku mengatakan nama itu? Kami baru berkenalan kemarin dan aku melibatkannya dalam kebohonganku sendiri agar bisa segera lepas dari Gates. Kali ini aku benar-benar sangat ingin menghantamkan kepala ke dinding dan berharap kalau pria itu tidak bersin saat kupanggil namanya tanpa pikir panjang.

Satu resiko lagi.

“Kalian sudah seakrab itu rupanya.” Gates menyengir padaku.

“Jangan pikir macam-macam. Aku memang punya urusan dengannya. Dia komposer kan?”

“Kupikir terlalu cepat kau berhadapan dengannya.” Ia terlihat berpikir sekarang.

“Aaa… Sudahlah.” Aku harus menghentikan topik ini. “Aku hanya ingin minta beberapa data darinya. Ayo, aku lapar. Kita juga belum cari hadiahnya, kan?” aku berjalan meninggalkannya.

Gates setengah berlari mengejarku lalu berjalan di sampingku. Aku mencoba menenangkan diri agar ia tidak sadar kalau aku sedang melawan rasa cemburuku sendiri.

Sambil melingkarkan lengannya dibahuku seakan-akan aku ini teman prianya, ia berkata, “aku akan menceritakannya.” Katanya.

“Siapa?”

“Orang yang kusukai.”

Dan aku rasanya ingin mati.



Gates bercerita dengan penuh semangat tentang siapa wanita itu dan bagaimana dirinya. Ia menceritakan cirri-cirinya, pertemuan singkat mereka yang membuatnya jatuh hati. Hal-hal lucu dan humor-humor yang mereka lontarkan selama mereka bersama dan rencana Gates untuk mengundangnya makan malam romantis di hari ulang tahun wanita itu dan itu membuat dadaku sesak serta ingin menangis keras.

 Aku tidak ingin mendengar seperti apa keseluruhan ceritanya hanya saja bagaimana cara kau melakukannya sementara orang yang bercerita itu ada di sampingmu? Sesekali aku meliriknya dengan wajah kesal. Disaat yang lain aku mencoba mencari cara untuk bisa mengalihkan pikiran. Disaat yang lain lagi aku berusaha mengalihkan mata pada deretan baju-baju yang dipajang di butik.

Dan semua itu tidak menghentikannya bercerita walau aku menanggapinya dengan anggukan singkat atau gumaman seperti ‘ya’ dan ‘hmmm’ atau ‘oh begitu’ hingga akhirnya ia tiba-tiba berhenti berjalan.

Aku tersadar setelah beberapa langkah berjalan duluan. Sambil berbalik menatapnya aku bertanya, “kenapa?”

Ia menatapku sesaat lalu mendesah. “Harusnya aku yang bertanya. Kau kenapa?”

Aku mengerutkan kening tanpa rasa bersalah. “Aku? Aku tidak kenapa-napa.”

Ia mendekatiku sekarang. “Wajahmu itu kenapa?”

Aku menyentuh wajahku. “Ada sesuatu?” tanyaku.

Ia jelas-jelas terlihat serius sekarang dan aku langsung merasa kalau aku bersalah. “Oke. Jangan katakan apapun.” Kataku begitu saja.

“Kau tidak suka aku menceritakannya, iya kan?” terkanya langsung.

Aku mengerjap sekali dan merasa kalau tebakan itu terlalu akurat. Sambil berusaha menenangkan diri aku mencoba mengendalikan ekspresiku sendiri. “Well, Gates,” aku berusaha memberi jawaban yang tepat, “aku sedang berpikir… itu saja.”

“Aku pikir tidak.”

“Iya.”

“Tidak.”

“Kau pikir begitu?”

Ia mengangguk pasti. “Matamu tidak bisa berbohong dan aku tahu itu. Kau sama sekali tidak senang saat aku menceritakannya.”

Aku menelan ludahku dan berharap situasinya tidak jadi lebih parah lagi. Tapi aku tahu kalau disatu sisi aku sangat terusik dengan cerita itu. Ia menggambarkan wanita itu sebagai sosok yang sangat lembut, penyayang, humoris, dan baik hati. Ia juga bilang kalau wanita itu sangat cantik dengan rambut cokelat indah, wajah cantik sempurna, tulang pipi yang tinggi, dan sangat fashionable. Kamera sangat menyukainya… dan aku langsung membandingkan diriku dengannya. Sebenarnya selama ia menceritakannya tadi aku sudah mulai membanding-bandingkan hal itu. Bagiku wanita itu terlalu sempurna dan dia benar-benar tipe kesukaan Gates.

Aku harus mati-matian tidak mengamuk di depannya karena cemburu dan sekarang aku harus mati-matian menahan diri untuk tidak berteriak padanya. Aku mencoba mengulas senyum dan terlihat tenang.  

“Gates,” aku mencoba bersikap profesional. “Kau tahu apa yang kau lakukan?”

Ia mengerutkan dahinya. “Apa yang kulakukan?” tanyanya tidak tahu.

“Kau sedang meminta saran seorang profesional dan kau sedang bersama seorang profesional.” Kataku. “Aku sedang berpikir keras saat membayangkan seperti apa wanita itu.”

“Kupikir aku sedang meminta bantuan teman.” Ia tampak tidak setuju dengan penjelasn itu.

Aku tertawa, mencoba mencairkan suasana agar ini tidak bertambah buruk. “Well, kenyataannya aku memang dibayar untuk hal itu. Tapi berhubung kau teman baikku, dengan senang hati aku menggratiskannya.” Ia masih terlihat tidak yakin denganku. Aku masih tersenyum yakin padanya. “Tenanglah.”

“Bagaimana bisa? Aku tahu siapa kau dan aku bisa melihatnya kalau kau sama sekali tidak berminat dengan ceritaku.” Ia menatapku baik-baik. “Kau seperti… marah.”

Aku terkejut dengan kata itu. Sambil tertawa aku menggelengkan kepala. “Kau mungkin bisa bernyanyi, Gates. Tapi kau tidak tahu kalau selera wanita tidak semudah kau bernyanyi. Paham? Kami lebih menyukai sesuatu yang rumit dari pada yang mudah. Oh, tentu saja itu bukan aku. Tapi rata-rata wanita memang suka begitu.”

“Yang rumit? Yang mudah?” Gates ingin mendalami kata-kata itu.

Aku mengangguk lagi. “Seorang wanita butuh sekitar setengah jam sampai satu jam hanya untuk mendandani wajahnya. Bukankah itu rumit?” tanyaku mengujinya.

“Tapi kau hanya butuh sepuluh menit… malah bisa kurang dari itu.”

Aku mengerutkan alisku. “Kau menghitungnya ya?” tanyaku tidak percaya.

Ia mengendikkan bahu, “tidak sengaja sebenarnya…”

“Well, aku lebih menyukai hal praktis dari pada hal rumit.” Kataku dengan nada tidak peduli. “Nah, apa kau mau memilihnya sekarang? Aku rasa aku tahu hadiah apa yang tepat untuknya.”

“Secepat itu?”

“Kau lupa aku ini siapa?”

Ia tertawa. “Oh! Baiklah.”

Sebenarnya aku sudah menemukan sebuah gaun yang sangat indah di butik yang pertama kali kami masuki. Hanya saja aku tidak ingin menunjukkan kalau itu adalah gaun yang tepat untuk orang itu. Gates sendiri sebenarnya tertarik dengan gaun itu dan sempat meminta pendapatku, hanya saja aku tidak setuju dia membelinya.

Kali ini demi menghemat waktu saat bersamanya, aku mengajaknya kembali ke butik itu. Aku sedang tidak ingin ambil pusing dengan masalah ini. Segera setelah memasukinya aku segera pergi menunjuk sebuah gaun indah bewarna baby pink yang cantik. Gaun terusan itu terlihat sangat sederhana dengan satu lengan. Lipatan-lipatannya tidak begitu banyak hanya saja terlihat sangat mempesona. Gaun itu lemas dan jatuh mengikuti bentuk tubuh pemakainya yang digambarkan Gates langsing dan sempurna. Aku berpikir kalau dia pasti memilki tubuh tipe hour glass yang sangat fenomenal itu. Kesederhanaan gaun itu memancarkan sifat feminin yang kuat dan kecantikan alami yang tidak dibuat-buat.

“Ini?” Gates terkejut. “Bukankah kau bilang kalau ini tidak cocok?” ia mengingatkanku.

Aku diam sejenak sambil menatapnya. “Mmm… Jujur saja ya. Sebelum kau bercerita tentang itu, kupikir gaun ini untukmu.”

Ia mencerna kata-kataku sebelum akhirnya tertawa. “Bodoh! Mana mungkin aku memakainya. Aku masih punya saudara perempuan dan aku bisa memberikan ini padanya.”

Aku menggaruk kepalaku tanda bingung. “Kau harus memberitahuku sebelumnya.” Aku mengangkat tanganku dan meminta pelayan toko untuk mengambil gaun itu. “Nah, bagaimana?”

Ia mengangkat bahunya. “Kalau mau jujur sebenarnya aku memang ingin membelinya, tapi bukan untukku.” Tekannya.

 Aku tertawa.

Akhirnya kami keluar sebelum jam makan siang berdentang. Aku bersyukur karena bisa pergi setelah ini. Tapi ia justru menahanku.

“Aku sudah janji, kan?”
Aku menggeleng. “Tidak usah untuk traktirannya. Bukannya kau juga punya jadwal hari ini?” aku membantunya mengingatkan.

Ia diam berpikir dan akhirnya tersadar. “Ah! Sial!” umpatnya kesal. “Aku harus kembali ke Studio dan bertemu mereka.” Ia jelas-jelas tidak suka diingatkan tentang itu sambil melihat jamnya ia mengumpat lagi.

Aku tidak tahu kenapa dia jadi sekesal itu. Sambil menepuk bahunya aku memintanya untuk tenang. “Memangnya jam berapa harus ke sana?” tanyaku.

Lima menit lagi.” Katanya pasrah.

“Kalau begitu kau harus lari.” Saranku.

Ia tersenyum kecil. “Bukan aku yang lari, tapi mobilku. Ayo, aku akan mengantarmu pulang.”

Aku menggeleng menolaknya. “Kau harus pergi sekarang! Jangan telat.”

“Aku tidak mungkin meninggalkanmu.”

Aku tertawa. “Kenapa tidak?”

“Aku yang mengajakmu ke sini.” Katanya. “Lagi pula aku masih berhutang mentraktirmu makan siang.”

“Bukan berarti aku tidak punya pilihan untuk tinggal, kan?” aku mengujinya dan dengan enggan ia mengakuinya.

“Ayolah… Aku sudah memaksamu keluar masuk toko dan –”

“Dan aku ingin tinggal,” sambungku cepat. “Lagi pula ini rumahku. Mumpung aku di sini, aku ingin jalan-jalan sendiri dan kau harus kembali apapun yang terjadi.” Aku mendorong punggungnya. “Cepat! Mereka tidak suka menunggu.”

Ia menatapku ragu sesaat sebelum akhirnya mendesah. “Telepon aku jika terjadi sesuatu.” Ia meminta janjiku.

“Oke.” Aku meyakinkannya.

Lalu ia segera pergi setelah tersenyum singkat padaku.


You Might Also Like

0 comments: