Song of Aria #23 - Rain

7:51 PM fe 0 Comments



Aku takkan menganggap tempat ini sebagai neraka walaupun mereka bilang ini adalah neraka. Mungkin aku takkan menemukan malaikat, tapi akan menemukan iblis. Bagiku tidak masalah. Aku nyaman berada di sini sekalipun tempat ini terasing. Sebelum diriku yang satu lagi menguasaiku dengan mutlak, aku akan menikmati tempat ini. Mungkin sebentar lagi aku akan terkubur di sini dan melupakan rasa sakit… karena hati.

   Aira berdiri di depan cerminnya dan memandangi bayangan tubuhnya. Ia tidak lagi terlihat pucat seperti waktu pertama kali berada di sini. Ia sudah bisa menguasai hati dan pikirannya dengan baik sekarang. Dulu ia selalu histeris. Ia takut gelap dan saat malam menjelang, ia pasti harus menghidupkan banyak lampu di kamarnya. Tapi ia sekarang telah merasa aman… walau ia merasa bermasalah dengan rasa percaya dirinya.

   Sudah hampir sebulan ia berada di tempat ini. Ia sangat menyenangi tempat ini, ruangannya dan kegiatannya. Semuanya baik untuk jiwanya. Aira sedang berada di tempat rehabilitasi yang sangat berbeda dari rumah sakit jiwa.
   Ia tahu kalau orang mengatakannya gila. Tapi ia sadar dengan hal-hal yang diperbuatnya, kecuali jika ia tidak bisa mengontrol gejolak emosi itu dalam dirinya. Pada saat itulah ia merasa kesadarannya menghilang. Ia hanya tidak dapat mengontrol emosinya karena stress dan luka-luka hatinya yang membekas dan belum sembuh juga. Ia butuh tempat seperti ini.
   Tempat rehabilitasi ini terletak di atas bukit dengan udara dingin dan sejuk. Saat pertama kali ia melangkah ke sini, ia takkan bisa lepas dari jaketnya. Airnya sedingin es dan ia harus memaksakan diri untuk memakainya mandi atau mencuci. Hidupnya diatur dengan jadwal sekarang. Bukan hanya konsultasi teratur yang harus ia ikuti, tapi juga kegiatan keterampilan seperti menyulam atau berkebun.
   Ia sangat menyukai bunga, terutama bunga matahari. Tapi kali ini ia sedang merawat bunga mawar dikebun bunga itu. Aira sangat terampil untuk hal yang satu ini, mungkin karena ia senang merawat tumbuhan di rumahnya dulu.
   Rumah? Ia sangat merindukan rumahnya. Tapi di sisi lain ia tidak ingin pulang ke sana. Terlalu menyakitkan. Ia belum siap pulang ke sana karena banyak hal buruk yang terpatri di sana. Kenangan indah bersama orangtuanya terkubur dengan kenangan pahit yang dilakukan seseorang dan orang-orang padanya.
   Selain Nana, ia tidak tahu harus percaya pada siapa. Ia merasa dinding yang membatasi dunianya dengan semua yang ada disekitarnya kembali berdiri lagi. Ia lelah memanjatnya sekali lagi. Ia juga tidak ingin berlari kepada Erland.
   Itu terlalu buruk.
   Ia bukanlah sosok yang sempurna untuk orang seperti Erland. Ia telah menyerah dengan harapan itu. Berkali-kali ia memperingatkan kalau dirinya berbeda dari orang pada umumnya. Erland takkan memilihnya. Baginya dia hanya orang asing. Dan ia merasa kalau ia jatuh cinta pada pandangan pertama.  
   Aira mengelus perutnya. Air matanya mengalir karena ia tahu ada satu lagi bagian dari dirinya yang hilang. Ia ingin mempertahankan janinnya. Bayi dari orang itu. Hasil dari sebuah perbuatan terkejam yang membuatnya ingin membunuhnya jika ia bisa kabur dari sini. Hanya saja ia keguguran saat usia kehamilannya tiga minggu.
   Saat itu Aira merasa sangat shock. Bukannya karena ia menginginkan seorang anak. Hanya saja rasa sayangnya telah tumbuh saat ia perlahan menerima kehadiran bayi itu. Calon bayinya itu seperti anugerah terindah baginya. Ia akan mengakui kalau itu adalah anaknya dan bukan anak orang itu. Hanya saja takdir memperlihatkan sesuatu yang berbeda.
   “Anakmu sepertinya belum siap lahir ke dunia,” kata Dokternya saat itu.
   Sambil terisak Aira berkata, “aku membunuhnya. Andai aku tidak berada di sana. Andai aku tidak terjatuh tadi…,” dan ia menangis keras.
   Aira tidak tahu nasib akan membawanya kemana.
   Yang ia tahu, jika ia mulai mencintai seseorang, maka orang itu akan pergi dari hidupnya.

  
Aira terbangun dari tidurnya dan terengah-engah.
   “Kenapa? Kenapa?” gumamnya tidak percaya. Matanya melebar karena mimpinya. Ia mencengkram selimutnya dan menariknya hingga kedagu. Keringatnya mengalir seperti orang yang baru berhenti berlari. Aira gemetar. Ia merasa mimpinya terlalu nyata.
   Ia melihat Erland menangis di dalam mimpinya sambil menggenggam erat sebuah buku yang dikenalnya. Itu adalah bukunya. Ia mencoba membaca hatinya.
 Apa yang terjadi? Apa buku itu telah sampai padanya? Apakah benar?
   Aira sangat penasaran dengan hal itu hingga ia ingin melompat dan berlari dari tempat tidurnya. Tapi tidak bisa. Kegelapan malam menghadangnya dan ia kembali meringkuk dalam selimutnya. Hatinya berkecamuk. Ia bisa merasakan sesuatu dihatinya.
   Kesedihan dan kepedihan itu merayap tanpa ampun dihatinya dan membuat air matanya keluar.
   Aku ingin ke sana. Aku ingin kembali. Aku tidak ingin di sini. Aku ingin melihatnya. Sekali saja, aku ingin melihatnya lagi. Ini benar-benar membunuhku. Aku tidak ingin di sini. Aku ingin kembali. Erland telah kembali!
   Hatinya berteriak tanpa ampun membuat keyakinannya untuk keluar dari tempat ini semakin kuat. Hanya saja ia tahu kalau di luar sana kegelapan menghadangnya. Menghadangnya dengan kejam!
   Aira terisak dan tanpa sadar ia memanggil nama Erland dalam tangisnya.
   “Aku di sini… aku ada di sini…,”
   Di ruangannya yang gelap dan dingin, Erland merasakan rasa rindu dan sakit yang membuncah dalam dirinya. Ia merasa bisa merasakan emosi itu… dan panggilan itu, seolah-olah Aira memanggil namanya dengan hatinya. Hati mereka terpaut tanpa mereka sadari. Mereka telah menyatu dalam sebuah kekuatan yang luar biasa itu sehingga ia bisa merasakan panggilan hati Aira.
  Keajaiban yang sangat sempurna karena mereka telah lama terpisah
            Erland berteriak tanpa suara dan menumpahkan semua emosinya. Ia tahu harus kemana  selanjutnya.

You Might Also Like

0 comments: