Song of Aria #23 - Rain
Aku takkan
menganggap tempat ini sebagai neraka walaupun mereka bilang ini adalah neraka.
Mungkin aku takkan menemukan malaikat, tapi akan menemukan iblis. Bagiku tidak
masalah. Aku nyaman berada di sini sekalipun tempat ini terasing. Sebelum
diriku yang satu lagi menguasaiku dengan mutlak, aku akan menikmati tempat ini.
Mungkin sebentar lagi aku akan terkubur di sini dan melupakan rasa sakit…
karena hati.
Aira berdiri di
depan cerminnya dan memandangi bayangan tubuhnya. Ia tidak lagi terlihat pucat
seperti waktu pertama kali berada di sini. Ia sudah bisa menguasai hati dan
pikirannya dengan baik sekarang. Dulu ia selalu histeris. Ia takut gelap dan
saat malam menjelang, ia pasti harus menghidupkan banyak lampu di kamarnya.
Tapi ia sekarang telah merasa aman… walau ia merasa bermasalah dengan rasa
percaya dirinya.
Sudah hampir sebulan
ia berada di tempat ini. Ia sangat menyenangi tempat ini, ruangannya dan
kegiatannya. Semuanya baik untuk jiwanya. Aira sedang berada di tempat
rehabilitasi yang sangat berbeda dari rumah sakit jiwa.
Ia tahu kalau orang
mengatakannya gila. Tapi ia sadar dengan hal-hal yang diperbuatnya, kecuali
jika ia tidak bisa mengontrol gejolak emosi itu dalam dirinya. Pada saat itulah
ia merasa kesadarannya menghilang. Ia hanya tidak dapat mengontrol emosinya
karena stress dan luka-luka hatinya yang membekas dan belum sembuh juga. Ia
butuh tempat seperti ini.
Tempat rehabilitasi
ini terletak di atas bukit dengan udara dingin dan sejuk. Saat pertama kali ia
melangkah ke sini, ia takkan bisa lepas dari jaketnya. Airnya sedingin es dan
ia harus memaksakan diri untuk memakainya mandi atau mencuci. Hidupnya diatur
dengan jadwal sekarang. Bukan hanya konsultasi teratur yang harus ia ikuti,
tapi juga kegiatan keterampilan seperti menyulam atau berkebun.
Ia sangat menyukai
bunga, terutama bunga matahari. Tapi kali ini ia sedang merawat bunga mawar
dikebun bunga itu. Aira sangat terampil untuk hal yang satu ini, mungkin karena
ia senang merawat tumbuhan di rumahnya dulu.
Rumah? Ia sangat
merindukan rumahnya. Tapi di sisi lain ia tidak ingin pulang ke sana. Terlalu
menyakitkan. Ia belum siap pulang ke sana karena
banyak hal buruk yang terpatri di sana.
Kenangan indah bersama orangtuanya terkubur dengan kenangan pahit yang
dilakukan seseorang dan orang-orang padanya.
Selain Nana, ia
tidak tahu harus percaya pada siapa. Ia merasa dinding yang membatasi dunianya
dengan semua yang ada disekitarnya kembali berdiri lagi. Ia lelah memanjatnya
sekali lagi. Ia juga tidak ingin berlari kepada Erland.
Itu terlalu buruk.
Ia bukanlah sosok
yang sempurna untuk orang seperti Erland. Ia telah menyerah dengan harapan itu.
Berkali-kali ia memperingatkan kalau dirinya berbeda dari orang pada umumnya. Erland
takkan memilihnya. Baginya dia hanya orang asing. Dan ia merasa kalau ia jatuh
cinta pada pandangan pertama.
Aira mengelus
perutnya. Air matanya mengalir karena ia tahu ada satu lagi bagian dari dirinya
yang hilang. Ia ingin mempertahankan janinnya. Bayi dari orang itu. Hasil dari
sebuah perbuatan terkejam yang membuatnya ingin membunuhnya jika ia bisa kabur
dari sini. Hanya saja ia keguguran saat usia kehamilannya tiga minggu.
Saat itu Aira merasa
sangat shock. Bukannya karena ia menginginkan seorang anak. Hanya saja rasa
sayangnya telah tumbuh saat ia perlahan menerima kehadiran bayi itu. Calon
bayinya itu seperti anugerah terindah baginya. Ia akan mengakui kalau itu
adalah anaknya dan bukan anak orang itu. Hanya saja takdir memperlihatkan
sesuatu yang berbeda.
“Anakmu sepertinya
belum siap lahir ke dunia,” kata Dokternya saat itu.
Sambil terisak Aira
berkata, “aku membunuhnya. Andai aku tidak berada di sana. Andai aku tidak terjatuh tadi…,” dan ia
menangis keras.
Aira tidak tahu
nasib akan membawanya kemana.
Yang ia tahu, jika
ia mulai mencintai seseorang, maka orang itu akan pergi dari hidupnya.
Aira terbangun dari tidurnya dan terengah-engah.
“Kenapa? Kenapa?”
gumamnya tidak percaya. Matanya melebar karena mimpinya. Ia mencengkram
selimutnya dan menariknya hingga kedagu. Keringatnya mengalir seperti orang
yang baru berhenti berlari. Aira gemetar. Ia merasa mimpinya terlalu nyata.
Ia melihat Erland
menangis di dalam mimpinya sambil menggenggam erat sebuah buku yang dikenalnya.
Itu adalah bukunya. Ia mencoba membaca hatinya.
Apa yang terjadi? Apa
buku itu telah sampai padanya? Apakah benar?
Aira sangat
penasaran dengan hal itu hingga ia ingin melompat dan berlari dari tempat
tidurnya. Tapi tidak bisa. Kegelapan malam menghadangnya dan ia kembali
meringkuk dalam selimutnya. Hatinya berkecamuk. Ia bisa merasakan sesuatu
dihatinya.
Kesedihan dan
kepedihan itu merayap tanpa ampun dihatinya dan membuat air matanya keluar.
Aku ingin ke sana.
Aku ingin kembali. Aku tidak ingin di sini. Aku ingin melihatnya. Sekali saja,
aku ingin melihatnya lagi. Ini benar-benar membunuhku. Aku tidak ingin di sini.
Aku ingin kembali. Erland telah kembali!
Hatinya berteriak tanpa ampun membuat
keyakinannya untuk keluar dari tempat ini semakin kuat. Hanya saja ia tahu
kalau di luar sana
kegelapan menghadangnya. Menghadangnya dengan kejam!
Aira terisak dan
tanpa sadar ia memanggil nama Erland dalam tangisnya.
“Aku di sini… aku
ada di sini…,”
Di ruangannya yang
gelap dan dingin, Erland merasakan rasa rindu dan sakit yang membuncah dalam
dirinya. Ia merasa bisa merasakan emosi itu… dan panggilan itu, seolah-olah
Aira memanggil namanya dengan hatinya. Hati mereka terpaut tanpa mereka sadari.
Mereka telah menyatu dalam sebuah kekuatan yang luar biasa itu sehingga ia bisa
merasakan panggilan hati Aira.
Keajaiban yang
sangat sempurna karena mereka telah lama terpisah
Erland berteriak tanpa suara
dan menumpahkan semua emosinya. Ia tahu harus kemana selanjutnya.
0 comments: