Sign #3 - Felixia Rain

9:23 AM fe 0 Comments

Ann menghiraukan Ron yang mengejarnya sesaat setelah Rucia pergi meninggalkannya.

"Sayang! Kau tidak apa-apa?" tanyanya kuatir yang membuat Ann merasa makin kesal saja.

"Kau peduli padaku juga rupanya," cela Ann tanpa basa-basi. 

Ron menahan napasnya dan mencoba mengatur emosinya. Ia tahu percuma saja melawan wanita yang bisa menjadi monster seperti Ann. Bahkan Ann pernah hampir mematahkan tangannya saat mereka bertengkar. 

"Bukan begitu. Aku minta maaf kalau tadi keterlaluan dan-"

"Ya ya..." Ann memotong. "Sekarang pergi! Aku tahu kau sangat senang kalau kalung itu hilang. Dan sebelum aku berubah jadi -"

"Oke, oke," Ron mengangkat tangannya dan mundur. "Apa kau tidak mau kutemani?" ia masih menawar.

Ann menatapnya kesal. "Tidak," jawabnya tegas lalu berjalan meninggalkan Ron sendirian. 

Sebenarnya Ron adalah cowok yang baik. Dia sangat bisa diandalkan dan selalu bersikap romantis. Tapi Ann sama sekali heran kenapa orang sebaik itu sangat tidak menyukai apa yang dipakainya. Baginya Ron terlalu modis. Sangat seksi dan modis lebih tepatnya. Dengan rambut pirang dan mata birunya dia bisa memikat wanita. Ann hanyalah orang yang beruntung bisa mendapatkan si Kapten Softball. Ia sendiri heran kenapa bisa?

Saat ia sampai di luar gedung kampusnya, Rucia kembali menghadangnya. 

"Kupikir aku ikut," putusnya sambil melingkarkan lengannya di bahu Ann.

"Apa?" Ann tidak percaya. "Jangan. Kau kuliah saja."

"Ck, ck, ck... Aku ini pelindungmu, Ann. Mana mungkin aku membiarkanmu sendirian sedangkan ada orang yang mau membunuhmu?" tanyanya tidak percaya.

"Aku takkan membunuh! Lagi pula aku punya kekuatan itu..."

"Rahasiamu adalah rahasiaku juga walau aku sebal saat Ron tahu," ia menggerutu. "Tenang, aku takkan membiarkan emosimu lolos semudah itu dan membuat jiwa warrior-mu bangkit begitu saja di muka umum," Rucia menuntun jalan mereka berputar ke belakang gedung yang sepi. "Aku ingin lihat siapa lawanmu itu," kali ini ia mengatakannya dengan nada penasaran.

"Rucia..." Ann memperingatkannya.

"Aku ingatkan, aku ini peramal. Aku bisa melindungimu dengan kemungkinan yang akan terjadi."

"Kau bahkan tidak tahu apa yang dia inginkan dariku."

"Kalau masalah itu, kau saja yang cari tahu." Lalu Rucia melepaskan rangkulannya dan berhenti. Ann berhenti kemudian setelah beberapa langkah berjalan duluan.

"Kenapa?"

Rucia diam sesaat dan tergelak. "Hei! Katakan sejak kapan kau punya jiwa warrior ganasmu itu!" perintahnya. 

Ann menghela napasnya, "Sudah kubilang kan kalau-"

"Kapan?" ia berteriak seolah-olah meminta pengulangan.

"Saat aku sebelas tahun." Jawab Ann.

Rucia melirik arlojinya dan tertawa. "Oke. Sekarang juga jam sebelas. Nah, kutunggu kau di kantin. Sampai jumpa!"

Ann terperangah tidak percaya saat melihat temannya itu berlari. Ia berteriak memanggilnya tapi Rucia tidak mau kembali. Ann kesal. Bukannya tadi dia bilang akan ikut bersamanya dan menemaninya. Maksimal ia akan menolongnya agar jiwa warrior aneh dalam dirinya tidak muncul. Kenapa sekarang dia tiba-tiba pergi?

Ann merasa harinya kacau dan dia butuh istirahat. Saat ia membalikkan badan untuk meneruskan langkahnya, tiba-tiba matanya tertuju pada seseorang yang baru dikenalnya tadi.

Seorang pria yang mengaku bernama Ryo sedang bersandar di batang sebuah pohon dengan mata terpejam. Ia terlihat damai dalam tidurnya. Mungkin ia tidur. Mungkin juga tidak. Tapi pria itu terlihat sangat tenang... dan berbeda. 

Rasa takutnya kembali tapi tidak segencar tadi. Adrenalinnya berpacu. Pikirannya menyuruhnya untuk lari tapi hatinya tidak mau. Ada keinginan untuk mendekatinya. Hanya untuk melihat walau sebentar. Dalam hati ia masih bertanya, kenapa pria itu terlihat sangat berbeda?

Ann merasa otak dan tubuhnya tidak selaras. Kakinya melangkah mendekati pria itu dengan ringannya hingga ia sendiri tidak bisa mendengar suaranya. Rerumputan meredam suara langkahnya. Angin bertiup pelan dan sejuk hingga saat ia sampai di dekat pria itu ia bisa merasakan kedamaian di hatinya.

Aneh. Apa ada aura damai dari seseorang yang ingin membunuhnya?

Ann terdiam. Ia terpaku pada sosok di depannya. Dia memang pria yang sama tapi terlihat sangat lembut saat diam dan tidur seperti ini. Kulitnya putih, bersih. Wajahnya tegas namun memiliki kesan manis yang samar. Ia sebenarnya sangat tampan dan lembut. Bibirnya tipis dan segar seperti bukan tipe perokok. Dan ia terlihat separuh Asia. Mungkin blasteran Asia-Amerika atau Asia-Inggris. Ann jadi ingat kalau dirinya sendiri juga blasteran Rusia-Amerika dan sedikit darah keturunan Jepang dari neneknya.

Tiba-tiba sebuah senyum tidak dapat dicegahnya. Rasanya melihat orang itu tidur dan diam seperti ini adalah sebuah kebahagiaan yang tidak dapat ia jelaskan kenapa. Ia duduk di samping pria itu, mencoba melihatnya lebih dekat hingga pandangannya tertuju pada sesuatu yang dikenalnya.

Kalung miliknya yang hilang itu kini melingkar di leher pria itu. 

Ann terkejut. Ia memang tahu kalau kalung itu pasti diambilnya tapi ia tidak tahu kalau pria itu akan memakainya. Mungkin jaga-jaga atau sebuah tantangan agar ia mengambilnya dengan cara bertarung. 

Tepat pada saat Ann merasa tercengang itulah tangan pria itu mencengkram tangannya. Ann terkejut dan berusaha berdiri tapi malah tidak bisa karena pria itu mendekatkan wajahnya pada gadis itu.

"Kau lihat apa?" tanyanya dingin.

Kesan yang muncul beberapa detik lalu saat melihat pria itu langsung musnah. Sekarang pria itu berubah lagi jadi orang yang keji dan bermata tajam. Ia seakan siap merobeknya kapanpun.

Ann merasa sangat takut.

"Kalau kau menginginkannya, kau harus tahu apa akibatnya," ia menghentakkan tangan gadis itu hingga Ann meringis sakit.

Pria itu serius. 

Dia memang benar-benar menginginkan kematiannya. Dia benar-benar ingin bertarung!

"Aku tahu kau punya jiwa petarung itu. Jadi kenapa kau tidak mengeluarkannya? Kau bisa melawanku kan? Kau tidak lemah kan?"

Kali ini Ann merasa terpancing. Ia akhirnya bertekad untuk melawan pria itu walau tidak mau. Akhirnya dia berdiri, berhadapan dengan pria itu dan bertanya, "Memangnya kau mau apa?"

"Nyawamu," jawabnya tanpa basa-basi.

"Untuk apa?"

"Ada urusan yang belum selesai. Terserah kau ingat atau tidak tapi aku ingin ini selesai sekarang!" dan pria itu melompat ke depan, mencoba menerkamnya.

Ann merasa tubuhnya ringan seketika dan ia langsung melompat ke belakang untuk menghindar. Dua kali ia melakukannya hingga mereka punya jarak kembali. Ann memasang kuda-kudanya. Ia tidak mau diremehkan begitu saja karena banyak bertanya.

"Sayang! Kau kenapa? Jangan lakukan itu!!" Ron berteriak dari jauh sambil berlari dan itu membuat konsentrasi Ann musnah.

Ryo tidak melawan. Ia berdiri di tempat dengan tangan di saku walau merasa terganggu. "Cih! Dasar pengganggu." Ia berbalik dan pergi.

Ann mengubah posisinya menjadi lebih santai saat Ron makin mendekat.

"Apa yang kau lakukan, sayang? Siapa orang itu?" tanyanya panik pada Ann yang masih memperhatikan punggung pria itu.

"Hanya pengganggu," jawabnya pelan. Atau musuh? Lebih baik menyimpannya sendiri agar Ron tidak ikut campur urusannya.

Ron menatap pria itu juga dan merasa sangat marah. "Dia mengganggumu?" tanyanya sambil melemparkan tatapan tajam pada Ann.

"Lupakan-"

"Tidak akan kumaafkan!" Ron bersiap pergi. Ann langsung memegang tangannya dan menariknya.

"Lupakan! Dia sudah kuatasi."

"Biar aku yang mengatasinya!"

"Ron!" Ann agak keras sekarang. "Sudah. Tenang saja. Dia hanya bicara denganku dan-"

"-dan membuatmu memasang pose seperti itu?" Ron menatapnya tidak percaya. "Kau yakin aku tidak bisa menanganinya? Aku ini pacarmu!" Ron merasa sangat tersinggung karena Ann tidak mempercayainya. Sebagai laki-laki harga dirinya juga tidak mau direndahkan oleh perempuan yang memang punya kemampuan bertarung hebat seperti gadis itu.

Ann menyadari kesalahannya. Tapi masalah ini tidak cocok untuk Ron. Ia tidak mau Ron kena masalah.

"Kau memang pacarku dan aku menghargaimu. Tapi bisakah aku berurusan dengan keluargaku secara pribadi?" tanya Ann yang berusaha merangkai kebohongan sebisanya.

Ron kaget. Sepertinya ia percaya. "Apa? Keluarga?"

"Mm... Yaah... Dia sepupuku yang nomor tiga, Ryo." Dari mana pula ia punya sepupu nomor tiga? Ann juga tidak bisa menemukan nama lain dalam kepalanya sehingga ia terpaksa memakai nama asli pria itu.

"Kau punya sepupu nomor tiga? Bukannya sepupumu cuma dua?" Ron curiga sekaligus tidak percaya.

"Well, memang selama ini yang sering kau lihat cuma dua. Tapi dia baru datang 2 hari lalu dari Jepang. Aku punya sepupu nomor tiga."

Yes! Tidak sia-sia ia suka menulis dan membuat karangan di rumah. Ia sebenarnya juga heran kenapa bisa mengibuli Ron semudah itu.

"Jadi namanya Ryo dan baru datang dari Jepang?" ulang Ron mencoba meyakinkan dirinya.

Ann mengangguk.

"Dan kau bilang dia pengganggu?"

"Dia itu... Agak menjengkelkan," Ann lalu tertawa sumbang, "dari dulu dia suka menggodaku. Itu saja."

"Menggoda?"

"Dia suka bercanda sampai membuatku jengkel."

"Dan membuatmu ingin bertarung?"

Ann lelah karena terus dicecar dengan pertanyaan. "Sudahlah... Kami baik-baik saja."

"Lalu bagaimana dengan kalungnya?"

Pertanyaan itu membuat Ann teringat akan tujuannya. "Sudah kutemukan," ia terpaksa menjawab seperti itu karena tidak ingin dia mengikutinya sepanjang hari. Ia juga tahu kalau Ron akan banyak bertanya jika tidak segera dihentikan dengan topik lain atau pertengkaran. Ia lelah bertengkar.

"Oh ya? Dan bagaimana dengan kalungku? Kau tidak memakainya."

Ron masih menyebalkan. Tapi ia tahu kalau kalung pemberian Ron juga berharga walau itu tidak seberharga kalung neneknya dan ia tidak tahu mengapa merasa begitu.

"Ketinggalan di kamar," Ann mulai berjalan meninggalkannya dan Ron terpaksa mengikuti. "Semalam aku sengaja melepasnya saat mandi dan hari ini aku tidak sempat memakainya." Ia sengaja memberikan jawaban sebelum Ron bertanya kenapa.

"Ya, tidak apa-apa. Tapi jangan lakukan itu lagi, ok?"

Ann tidak menjawab dan ia berjalan ke kantin sedangkan Ron kembali ke kelas.

(to be continued......)


You Might Also Like

0 comments: