Me+Coffee #3 - Rain
Rasanya seperti baru sebentar tidur saat ponselku
berdering lagi. Awalnya aku biarkan saja tapi ujung-ujungnya deringan itu tetap
keras kepala membahana berkali-kali walau sempat mati sebentar. Saat aku
meraba-raba letak ponselku dan meraihnya, aku memampangkan layarnya ke muka
supaya bisa melihat nama si penelepon. Dan betapa kagetnya aku saat tahu kalau itu
Zanya.
"Ya, ya. Kenapa? Ada apa?" tanyaku
gelagapan.
''Kau masih tidur? Cepat bangun! Kita kan mau
pemotretan." Zanya mengomel. "Aku sudah di depan. Cepat buka
pintunya!"
Aku melihat jam yang ternyata masih jam enam
pagi. Secepat ini?
"Kupikir kita akan pergi siang
nanti..."
"Gil! Kau mau aku mati kedinginan?" ia
membentak.
Cepat-cepat aku bangun dan langsung berlari
menuju pintu. Saat pintu ku buka Zanya sudah berdiri di sana dengan pakaian
serba modis dan make up tebal. Bibirnya merah maroon menggoda. Aku menatap
langit yang masih gelap dan dingin.
"Jam enam," ia mengetuk-ngetuk jam
tangan Channel nya sambil menatapku tajam. Ia terlihat seperti boss arogan
sekarang.
Perlu kuingatkan, Zee&Gil adalah tokoku juga.
Aku menyipitkan mata dan berkata, "kau tidak bilang jam berapa."
"Aku mau sekarang," ia melawan.
"Perlu kuingatkan. Aku tidak suka orang yang
memerintahku dengan seenaknya. Kau pikir kau siapa, hah?" tantangku marah
dengan nada merendahkan. "Kau bisa minta bantuanku tapi katakan kapan waktunya.
Semua orang itu sibuk. Dan ingat posisi kita sama."
Zanya terperangah sesaat sebelum cepat-cepat ia
mengangkat tangannya tanda minta maaf. "Sorry Gil. Kupikir yaah... Kupikir
ini waktu yang tepat untuk memotret..." ia akhirnya menyerah tanda salah.
Aku tidak menghiraukannya dan masuk ke dalam
rumah. Zanya memang harus selalu diingatkan kalau posisi kami sama. Dia selalu
merasa dirinya nomor satu karena selalu berada di depan layar sedangkan aku di
balik layar. Bagiku di depan dan dibalik layar itu sama saja. Bedanya yang satu
tampil tapi yang satu lagi sembunyi. Jika salah satunya tidak ada maka semuanya
akan hancur.
Zanya masuk karena pintu tetap kubiarkan terbuka.
"Aku sengaja datang ke sini untuk
menjemputmu... Ayolah jangan marah," bujuknya. "Gil! Hei!"
"Aku ganti baju dulu," gumamku sambil
menaiki tangga dan Zanya mengikutinya.
"Kita akan memotret di depan toko," ia
memberi keterangan sambil menyelip masuk ke dalam pintu yang hampir menutup.
Aku menatapnya heran. "Kau tidak mau di gedung
atau di hotel atau di mana gitu?"
"Aku mau sekalian promosi toko juga. Siapa
tahu jadi banyak pelanggan," ia duduk di kursi.
Dengan cepat aku mengganti baju dan memakai
sweaterku karena di luar masih dingin. Setelah membereskan barang-barang kami
langsung berangkat menuju toko. Jalanan masih sepi dan cuaca sepertinya akan
cerah. Saat kami sampai di toko, Zanya langsung menunjuk-nunjuk spot yang
dirasa cocok untuk pengambilan gambar.
“Aku mau tulisan Zee&Gil nya kelihatan. Oh
ya, bagaimana kalau kau foto aku di tangga pintu masuk ini lalu...”
Dia terus berceloteh sementara aku mendengarnya
sambil uji coba kamera.
“...dan di sana,” tiba-tiba Zanya menunjuk ke
seberang jalan, ke toko di depan toko kami. “Aku juga ingin di potret di sana.”
Aku menoleh ke belakang dan melihat ke tempat
yang dimaksud. Itu adalah toko yang sebenarnya sudah kosong sejak tiga bulan
lalu. Aku kaget juga saat melihat toko yang persis di depan kami itu sudah
terpasang plang bertuliskan CoffeeMe. Sebenarnya aku sering memperhatikan toko
itu karena berhadapan langsung dengan jendela ruang kerjaku. Sejak hampir tiga
minggu lalu ada yang merombaknya dan mencatnya jadi warna cokelat capuccino
yang suka kuminum. Sekarang aku baru sadar kalau ada plang yang terpasang di
sana.
CoffeeMe. Sepertinya ini akan jadi warung kopi.
“Gil. Ayo mulai!”
Aku mengangguk dan segera menjalankan tugas.
Zanya layaknya seorang model langsung melakukan berbagai macam pose sedangkan
poseku lebih drastis lagi. Kadang aku jongkok, duduk di trotoar, naik ke atas bangku,
rebahan di jalan, berdiri tegak, naik tangga dan sebagainya.
Zanya memerankan seorang model dengan pose elegan
sedangkan aku seorang fotografer dengan pose ekstrim.
Dia enam kali harus gonta ganti baju sedangkan
aku ratusan kali menekan tombol untuk memotret.
Tibalah pakaian yang terakhir. Dengan pakaian santai
yang tomboy dan sederhana –jaket jeans dengan lengan sesiku, kaos tipis hitam,
celana selutut, sepatu keats, kacamata hitam mahal, rambut yang tergerai
berantakan, dan ransel, Zanya berperan sebagai wanita tomboy yang santai dan
cuek dan diantara semua foto aku paling suka pakaian sederhana ini. Tapi dia
mengeluh.
“Hey Gil! Ini bukan gayaku,” ia menatap dirinya
dicermin dengan wajah tidak suka. “Kau saja ya yang pakai. Biar kupotret.”
Aku kaget! “Tidak, tidak!” tolakku segera.
“Ini pekerjaan,” ia berbalik menghadapku. “Lagi
pula kau selalu muncul pada foto terakhir dengan kameramu. Kapan lagi kau punya
page khusus di blog?”
“Aduuuh... Jangan aku,”
“Kau suka style ini dan ini dirimu,” ia mendorongku
masuk ke fitting room dan memberikan pakaian yang sama dengan yang dipakainya
tadi dengan ukuran yang sesuai denganku. “Cepat! Aku tahu kau tidak suka
dilihat banyak orang kalau diprotet.”
Mau tidak mau aku menurut juga dan saat aku
melihat diriku di cermin aku merasa nyaman dengan penampilanku. Zanya
memberikan sentuhan make up minimalis pada wajahku yang membuatku makin menarik
dan langsung menyeretku ke toko CoffeeMe yang masih belum buka.
“Pose yang bagus,” ia memberiku aba-aba yang bisa
kulakukan dengan baik.
Kali ini terbalik. Aku berpose sebagai gadis
tomboy yang modis sedangkan dia berpose sebagai fotografer ekstrim. Rasanya
lucu melihat Zanya harus rela duduk di trotoar, naik tangga atau kursi, atau
sedikit menonggeng ke belakang hanya demi mendapatkan gambar yang bagus. Aku
tertawa karena geli dan dia malah berteriak-teriak memperingatkanku agar diam.
Sayangnya saat aku tertawa dia tetap saja memotretku.
Kami harus tiga gali ganti memori karena hal itu.
Padahal cuma satu pakaian ini saja yang dipotret tapi Zanya ingin mendapat
hasil terbaik. Bukan hanya itu, dia juga harus mengatur pose untuk model payah
sepertiku.
Saat aku berjalan mundur ke belakang aku kaget
karena menubruk sesuatu. Sesuatu itu terpekik kaget dan aku buru-buru balik
badan untuk melihat siapa yang barusan kutabrak.
“Gil! Hati-hati!” Zanya buru-buru menghampiriku.
Ia juga kaget mendengar pekikan tadi.
Aku menatap gadis yang sedang menunduk malu di
depanku. Dia seorang gadis berpenampilan cupu dengan kaca mata bingkai hitam,
wajah lusuh karena kurang tidur, rambut yang sedikit acak-acakan, dan agak
pendek dariku. Aku merasa kami bertiga membentuk deretan anak tangga saat
berdiri seperti ini, Zanya, aku, dan dia.
“Maaf,” katanya buru-buru dengan wajah masih
menunduk.
“Seharusnya aku yang minta maaf karena
menabrakmu,” aku memulai.
“Aku... maksudku,” ia terbata-bata.
Zanya mengulurkan tangannya, “aku Zanya,” seperti
biasa ia selalu ambil inisiatif duluan untuk membuat gadis di depan kami ini
nyaman.
Gadis itu dengan takut-takut ulurkan tangan.
“Sonya,” jawabnya.
“Dan dia Gillian. Kau bisa panggil dia Gil,”
Zanya menunjukku dan aku mengulurkan tanganku juga. Ia menyambutnya.
Tangannya dingin seperti orang yang gugup di atas
panggung.
“Kau tidak apa-apa?” kali ini aku agak kuatir
dengan kondisinya yang tidak biasa.
“Sebenarnya saya ke sini untuk bilang...” ia agak
ragu mengatakannya, “maaf saya...”
“Oke, pelan-pelan bicaranya,” kata Zanya lembut.
“Boss saya bilang jangan terlalu berisik. Dia
baru bisa tidur jam lima ini,” Sonya mencoba menjelaskan.
Aku dan Zanya saling pandang.
“Maaf, maaf. Kami tidak tahu kalau di dalam ada
orang. Kami kira tempat ini kosong,” Zanya buru-buru minta maaf.
“Kami akan buka toko jam 9 pagi ini,” Sonya
menatap ke tokonya. “Kalau kalian bersedia silahkan datang, akan ada diskon
perdana pagi ini.”
“Oh! Kami akan datang. Tentu saja. Kebetulan
sekali toko kami di depan,” Zanya menunjuk toko kami diseberang. “Kalau kau
berminat bisa datang ke sana dan belanja. Sekarang kami ada penawaran diskon
akhir tahun,” Zanya merogoh sakunya dan memberikan kartu namanya. “Kau bisa
jadi member dan mendapatkan katalog terbaru tiap bulan. Tentu saja ada diskon
member khusus. Kami juga punya website toko dan blog dan...” Zanya terus
berceloteh dengan gaya menariknya sedangkan aku mencoba mengintip ke dalam
jendela.
Tampak seorang pria sedang berbaring di sofa.
Punggung tangannya menutupi wajahnya. Karena di dalam tidak begitu terang jadi
aku agak mendekat dengan jendela itu lalu terkejut.
Di balik punggung tangan itu ada sebelah mata
yang sedang berbalik menatapku tajam.
Bulu kudukku merinding. Buru-buru aku mundur dan
mendekati Zanya. “Hei Sonya, kalau ada waktu main-mainlah ke toko kami, ok?”
Sonya mengangguk.
“Ayo Zanya. Kita harus kembali,” aku agak
memaksanya sekarang.
“Oh, oke...” Zanya agak bingung tapi mau juga.
Sedangkan aku, dalam pikiranku yang lamban, mulai
teringat sesuatu. Sonya. Rasanya aku pernah dengar nama itu tapi kapan?
0 comments: