Me+Coffee #3 - Rain

12:25 PM fe 0 Comments



Rasanya seperti baru sebentar tidur saat ponselku berdering lagi. Awalnya aku biarkan saja tapi ujung-ujungnya deringan itu tetap keras kepala membahana berkali-kali walau sempat mati sebentar. Saat aku meraba-raba letak ponselku dan meraihnya, aku memampangkan layarnya ke muka supaya bisa melihat nama si penelepon. Dan betapa kagetnya aku saat tahu kalau itu Zanya.

"Ya, ya. Kenapa? Ada apa?" tanyaku gelagapan.

''Kau masih tidur? Cepat bangun! Kita kan mau pemotretan." Zanya mengomel. "Aku sudah di depan. Cepat buka pintunya!"

Aku melihat jam yang ternyata masih jam enam pagi. Secepat ini?


"Kupikir kita akan pergi siang nanti..."

"Gil! Kau mau aku mati kedinginan?" ia membentak.

Cepat-cepat aku bangun dan langsung berlari menuju pintu. Saat pintu ku buka Zanya sudah berdiri di sana dengan pakaian serba modis dan make up tebal. Bibirnya merah maroon menggoda. Aku menatap langit yang masih gelap dan dingin.

"Jam enam," ia mengetuk-ngetuk jam tangan Channel nya sambil menatapku tajam. Ia terlihat seperti boss arogan sekarang.

Perlu kuingatkan, Zee&Gil adalah tokoku juga. Aku menyipitkan mata dan berkata, "kau tidak bilang jam berapa."

"Aku mau sekarang," ia melawan.

"Perlu kuingatkan. Aku tidak suka orang yang memerintahku dengan seenaknya. Kau pikir kau siapa, hah?" tantangku marah dengan nada merendahkan. "Kau bisa minta bantuanku tapi katakan kapan waktunya. Semua orang itu sibuk. Dan ingat posisi kita sama."

Zanya terperangah sesaat sebelum cepat-cepat ia mengangkat tangannya tanda minta maaf. "Sorry Gil. Kupikir yaah... Kupikir ini waktu yang tepat untuk memotret..." ia akhirnya menyerah tanda salah.

Aku tidak menghiraukannya dan masuk ke dalam rumah. Zanya memang harus selalu diingatkan kalau posisi kami sama. Dia selalu merasa dirinya nomor satu karena selalu berada di depan layar sedangkan aku di balik layar. Bagiku di depan dan dibalik layar itu sama saja. Bedanya yang satu tampil tapi yang satu lagi sembunyi. Jika salah satunya tidak ada maka semuanya akan hancur.

Zanya masuk karena pintu tetap kubiarkan terbuka.

"Aku sengaja datang ke sini untuk menjemputmu... Ayolah jangan marah," bujuknya. "Gil! Hei!"

"Aku ganti baju dulu," gumamku sambil menaiki tangga dan Zanya mengikutinya.

"Kita akan memotret di depan toko," ia memberi keterangan sambil menyelip masuk ke dalam pintu yang hampir menutup.

Aku menatapnya heran. "Kau tidak mau di gedung atau di hotel atau di mana gitu?"

"Aku mau sekalian promosi toko juga. Siapa tahu jadi banyak pelanggan," ia duduk di kursi.

Dengan cepat aku mengganti baju dan memakai sweaterku karena di luar masih dingin. Setelah membereskan barang-barang kami langsung berangkat menuju toko. Jalanan masih sepi dan cuaca sepertinya akan cerah. Saat kami sampai di toko, Zanya langsung menunjuk-nunjuk spot yang dirasa cocok untuk pengambilan gambar. 

“Aku mau tulisan Zee&Gil nya kelihatan. Oh ya, bagaimana kalau kau foto aku di tangga pintu masuk ini lalu...”

Dia terus berceloteh sementara aku mendengarnya sambil uji coba kamera.

“...dan di sana,” tiba-tiba Zanya menunjuk ke seberang jalan, ke toko di depan toko kami. “Aku juga ingin di potret di sana.”

Aku menoleh ke belakang dan melihat ke tempat yang dimaksud. Itu adalah toko yang sebenarnya sudah kosong sejak tiga bulan lalu. Aku kaget juga saat melihat toko yang persis di depan kami itu sudah terpasang plang bertuliskan CoffeeMe. Sebenarnya aku sering memperhatikan toko itu karena berhadapan langsung dengan jendela ruang kerjaku. Sejak hampir tiga minggu lalu ada yang merombaknya dan mencatnya jadi warna cokelat capuccino yang suka kuminum. Sekarang aku baru sadar kalau ada plang yang terpasang di sana.

CoffeeMe. Sepertinya ini akan jadi warung kopi.

“Gil. Ayo mulai!”

Aku mengangguk dan segera menjalankan tugas. Zanya layaknya seorang model langsung melakukan berbagai macam pose sedangkan poseku lebih drastis lagi. Kadang aku jongkok, duduk di trotoar, naik ke atas bangku, rebahan di jalan, berdiri tegak, naik tangga dan sebagainya.

Zanya memerankan seorang model dengan pose elegan sedangkan aku seorang fotografer dengan pose ekstrim.

Dia enam kali harus gonta ganti baju sedangkan aku ratusan kali menekan tombol untuk memotret.
Tibalah pakaian yang terakhir. Dengan pakaian santai yang tomboy dan sederhana –jaket jeans dengan lengan sesiku, kaos tipis hitam, celana selutut, sepatu keats, kacamata hitam mahal, rambut yang tergerai berantakan, dan ransel, Zanya berperan sebagai wanita tomboy yang santai dan cuek dan diantara semua foto aku paling suka pakaian sederhana ini. Tapi dia mengeluh.

“Hey Gil! Ini bukan gayaku,” ia menatap dirinya dicermin dengan wajah tidak suka. “Kau saja ya yang pakai. Biar kupotret.”

Aku kaget! “Tidak, tidak!” tolakku segera.

“Ini pekerjaan,” ia berbalik menghadapku. “Lagi pula kau selalu muncul pada foto terakhir dengan kameramu. Kapan lagi kau punya page khusus di blog?”

“Aduuuh... Jangan aku,”

“Kau suka style ini dan ini dirimu,” ia mendorongku masuk ke fitting room dan memberikan pakaian yang sama dengan yang dipakainya tadi dengan ukuran yang sesuai denganku. “Cepat! Aku tahu kau tidak suka dilihat banyak orang kalau diprotet.”

Mau tidak mau aku menurut juga dan saat aku melihat diriku di cermin aku merasa nyaman dengan penampilanku. Zanya memberikan sentuhan make up minimalis pada wajahku yang membuatku makin menarik dan langsung menyeretku ke toko CoffeeMe yang masih belum buka.

“Pose yang bagus,” ia memberiku aba-aba yang bisa kulakukan dengan baik.

Kali ini terbalik. Aku berpose sebagai gadis tomboy yang modis sedangkan dia berpose sebagai fotografer ekstrim. Rasanya lucu melihat Zanya harus rela duduk di trotoar, naik tangga atau kursi, atau sedikit menonggeng ke belakang hanya demi mendapatkan gambar yang bagus. Aku tertawa karena geli dan dia malah berteriak-teriak memperingatkanku agar diam. Sayangnya saat aku tertawa dia tetap saja memotretku.

Kami harus tiga gali ganti memori karena hal itu. Padahal cuma satu pakaian ini saja yang dipotret tapi Zanya ingin mendapat hasil terbaik. Bukan hanya itu, dia juga harus mengatur pose untuk model payah sepertiku.
Saat aku berjalan mundur ke belakang aku kaget karena menubruk sesuatu. Sesuatu itu terpekik kaget dan aku buru-buru balik badan untuk melihat siapa yang barusan kutabrak.

“Gil! Hati-hati!” Zanya buru-buru menghampiriku. Ia juga kaget mendengar pekikan tadi.

Aku menatap gadis yang sedang menunduk malu di depanku. Dia seorang gadis berpenampilan cupu dengan kaca mata bingkai hitam, wajah lusuh karena kurang tidur, rambut yang sedikit acak-acakan, dan agak pendek dariku. Aku merasa kami bertiga membentuk deretan anak tangga saat berdiri seperti ini, Zanya, aku, dan dia.

“Maaf,” katanya buru-buru dengan wajah masih menunduk.

“Seharusnya aku yang minta maaf karena menabrakmu,” aku memulai.

“Aku... maksudku,” ia terbata-bata.

Zanya mengulurkan tangannya, “aku Zanya,” seperti biasa ia selalu ambil inisiatif duluan untuk membuat gadis di depan kami ini nyaman.

Gadis itu dengan takut-takut ulurkan tangan. “Sonya,” jawabnya.

“Dan dia Gillian. Kau bisa panggil dia Gil,” Zanya menunjukku dan aku mengulurkan tanganku juga. Ia menyambutnya.

Tangannya dingin seperti orang yang gugup di atas panggung.

“Kau tidak apa-apa?” kali ini aku agak kuatir dengan kondisinya yang tidak biasa.

“Sebenarnya saya ke sini untuk bilang...” ia agak ragu mengatakannya, “maaf saya...”

“Oke, pelan-pelan bicaranya,” kata Zanya lembut.

“Boss saya bilang jangan terlalu berisik. Dia baru bisa tidur jam lima ini,” Sonya mencoba menjelaskan.

Aku dan Zanya saling pandang.

“Maaf, maaf. Kami tidak tahu kalau di dalam ada orang. Kami kira tempat ini kosong,” Zanya buru-buru minta maaf.

“Kami akan buka toko jam 9 pagi ini,” Sonya menatap ke tokonya. “Kalau kalian bersedia silahkan datang, akan ada diskon perdana pagi ini.”

“Oh! Kami akan datang. Tentu saja. Kebetulan sekali toko kami di depan,” Zanya menunjuk toko kami diseberang. “Kalau kau berminat bisa datang ke sana dan belanja. Sekarang kami ada penawaran diskon akhir tahun,” Zanya merogoh sakunya dan memberikan kartu namanya. “Kau bisa jadi member dan mendapatkan katalog terbaru tiap bulan. Tentu saja ada diskon member khusus. Kami juga punya website toko dan blog dan...” Zanya terus berceloteh dengan gaya menariknya sedangkan aku mencoba mengintip ke dalam jendela.

Tampak seorang pria sedang berbaring di sofa. Punggung tangannya menutupi wajahnya. Karena di dalam tidak begitu terang jadi aku agak mendekat dengan jendela itu lalu terkejut.

Di balik punggung tangan itu ada sebelah mata yang sedang berbalik menatapku tajam.
Bulu kudukku merinding. Buru-buru aku mundur dan mendekati Zanya. “Hei Sonya, kalau ada waktu main-mainlah ke toko kami, ok?”

Sonya mengangguk.

“Ayo Zanya. Kita harus kembali,” aku agak memaksanya sekarang.

“Oh, oke...” Zanya agak bingung tapi mau juga.

Sedangkan aku, dalam pikiranku yang lamban, mulai teringat sesuatu. Sonya. Rasanya aku pernah dengar nama itu tapi kapan?


You Might Also Like

0 comments: