She #40 - Rain
Cakrawala
kembali memerah saat Ren duduk sore itu di tempat favorit Andrea, menghadap
laut.
Ia
tertawa, sejak kapan dirinya berubah jadi sentimentil? Rasa percaya dirinya
terkuras habis sampai ke titik penghabisan. Ia juga tertawa karena tidak tahu
kemana nasib akan membawanya hari ini. Tapi ia siap jika memang harus
menghadapi banyak hal yang akan menjadi potongan mozaik kehidupannya.
Dan
ia punya tujuan yang masih harus dicapai.
Kebebasan.
Kalau
ingin berlari melewati rintangan, kenapa tidak sekalian saja hantam rintangan
itu?
Dengan
pikiran itu, Ren mencoba bertahan.
“Ren?” panggil sebuah
suara yang lama tak ia dengar.
Ren mendongak dan
melihat Andrea berdiri di belakangnya. Ia terkejut. Sekalipun dia berdoa untuk
segera menyelesaikan masalah ini segera, tapi ia juga tidak siap kalau
kejadiannya secepat ini!
“A –” kata-katanya
tertelan angin dan ombak.
Panggilan apa yang
harus dia berikan pada orang ini? Ia bingung sementara mata mereka masih
menyatu.
Pria itu terlihat
santai dengan kaos polos abu-abunya, jeans, dan sepatu. Rambutnya berantakan
ditiup angin dan dia berubah jadi Andrea yang ia kenal di benaknya saat mereka
di sini.
Andrea duduk di
sampingnya, dekat dengannya.
“Akhirnya ketemu juga…”
katanya lega.
Ren diam dan mulai
mencoba mengumpulkan kekuatannya.
“Aku…” ia masih belum
menemukan kata-kata yang cocok, “Maksud saya, kenapa anda di sini?”
Andrea
mengerutkan keningnya. “Jangan seformal itu,” tegurnya tak suka.
Ren
mencoba bersikap realistis, “Tapi kan… Bapak –”
“Sstt!”
ia menekan telunjuknya ke bibir Ren. “Kamu lupa peraturannya?”
Ren
memalingkan kepalanya dan merasa nadinya melonjak. Ia berusaha tetap sadar.
“Itu sudah lewat.”
“Nggak.”
“Sudah.”
“Nggak.”
Ren
menatapnya keras kepala, “Aku nggak mau banyak debat sekarang,” ia kesal. “Kenapa
bisa sampai sini?”
“Kalau aku nggak datang, nanti kamu
kabur lagi.”
“Oh
ya?”
“Ya.
Sekarang saja kamu mau kabur, kan?”
Ren
menatapnya. Memang begitu kenyataannya dan dia kesal, “Jangan baca pikiranku!”
protesnya.
“Ini
terjadi begitu saja. Aku nggak minta.”
“Bohong.”
Andrea
menangkup wajahnya, “Aku bahkan tahu kalau aku nggak bisa bohong padamu,”
bisiknya. “Dan aku nggak tahu kenapa.”
Ren
mencoba menelan ludahnya. Tapi kerongkongannya kering. Suaranya membuatnya
tenaganya terisap. Sentuhannya membuat jantungnya berdetak dan pikirannya
kacau. Ren tidak bisa melepaskan dirinya dari tatapan matanya. Kata-kata yang
ingin ia ucapkan menguap begitu saja.
“Ren,”
panggil Andrea. “Ada yang salah.”
Ren
tahu kalau memang ada yang salah.
Lalu
pikirannya kembali. Dia tahu kalau memang seharusnya ada yang harus diluruskan
di sini agar dia bisa kembali jadi dirinya. Agar dia bisa mendengar jawaban
pria itu.
“Mungkin
apa yang kita pikirkan sama,” kata pria itu sambil melepaskan pegangannya pada
wajah Ren.
Ren
menundukkan pandangannya. “Kamu bisa baca pikiran orang, kan? Baca saja.”
Andrea
menatapnya sesaat. Ia tahu kalau gadis ini sedang berusaha membuang
perasaannya. Itu juga yang dilakukannya selama tugas di luar kota, membuang
perasaannya. Ia merasa tidak pantas menjadikan Ren, mahasiswanya, sebagai
belahan hatinya. Rasanya terlalu bagus untuk jadi nyata. Ia berusaha menghindar
tapi dia salah. Ia sama sekali tidak memperhitungkan perasaan Ren. Ren juga
punya perasaan yang sama dengannya. Sekuat apapun Ren menghindar, itu hanya
akan memperjelas suasana hatinya.
“Ren,
aku nggak tahu apa ini bisa jadi bagus untukmu…”
Ren
hanya diam mendengarkan.
“Yang
jelas aku tahu kalau aku sudah melukai perasaanmu,” aku Andrea. “Aku minta
maaf.”
Ren
masih diam. Andrea menunggu reaksi. Tapi tidak ada. Masih hening.
“Aku
–”
“Aku
juga minta maaf,” potong Ren langsung. Ia tahu kalau sebaiknya dia tidak
membiarkan semuanya mengambang. Dan karena semua masalah ini ada padanya, maka
sebaiknya dia saja yang mulai bicara duluan.
Ia
menatap Andrea dan menatap wajah pria itu dengan tatapan menyesal, “Aku minta
maaf karena menghindarimu. Aku minta maaf karena membuatmu bingung,” akunya
berat. Tapi ia ingin mengangkat beban terbesar di hatinya. “Jujur, aku tahu
kalau ini nggak akan berhasil dan aku terlalu berharap. Tapi aku ingin kamu
tahu kalau aku sudah nyerah. Jadi setelah hari ini berakhir, besok kita harus
seperti biasa lagi, bisa kan?” tanyanya.
Andrea
menatapnya. Ekspresinya tak bisa diteliti.
“Aku
sengaja menghindarimu,” aku Ren. “Kalau nggak, aku pasti lebih tersiksa lagi.
Aku udah buat kesalahan dan aku nggak tahu kenapa bisa begini…” ia menahan
napasnya. Ini bagian terberatnya. Ia membulatkan tekadnya dan akhirnya menatap
mata pria itu dengan sungguh-sungguh lalu berkata, “Aku mencintaimu.”
Andrea
berkedip. Ia jelas terkejut mendengar pengakuan itu.
Ren
juga akhirnya mengatakannya dengan rasa takut yang mengancamnya. Ia sudah
mengatakannya tapi tidak sanggup mendengar jawabannya. Ren takut. Ia gugup.
Tapi
saat satu beban itu terangkat, ia tidak menyadari kalau ada beban lain yang
menghimpit pundaknya. Ia sangat ingin mendengar jawabannya walau tidak mau.
“Aku
nggak harapin ini,” kata Ren kalut. “Aku bahkan nggak mau dengar jawaban kamu.”
Andrea
masih terpana menatapnya dan Ren gemetar.
Tapi
sedetik kemudian ia memejamkan matanya dan segera menatap Ren dalam-dalam.
“Kamu
harus lupa!” Ren mengingatkan walau dengan nada gemetar.
Andrea
menggeleng dan kemudian dengan sungguh-sungguh berkata, “Kamu benar, seharusnya
aku lupa karena kamu mengatakannya. Tapi nggak. Aku sama sekali nggak akan lupa
karena hari ini aku tahu kalau aku benar.”
“Apa?”
tanya Ren tidak mengerti.
“Aku
tahu kalau orang yang akan mencintaimu itu pasti orang gila.”
“Apa?”
kali ini nada Ren naik satu oktaf.
“Aku
nggak nyangka kalau aku tahu siapa orang gila itu,” Andrea tertawa bahagia
karena saking leganya. Ia memeluk Ren dan berkata, “Karena aku jatuh cinta
padamu.”
Ren
tercengang. Ia menatap Andrea dengan tatapan tidak percaya. Ia bahkan merasa
kalau dia salah dengar. Tapi pria itu di sana, di depannya.
“Tapi…
Tapi kita, kita kan?”
“Apa
itu penting?” tanya Andrea. “Aku juga bertanya pada diriku sendiri. Apa itu
penting? Dan saat kamu pergi… Saat aku tahu aku nggak bisa melihatmu, aku tahu
kalau itu nggak penting,” katanya sungguh-sungguh. “Yang aku tahu, aku marah.
Aku marah saat kamu tersenyum, saat kamu tertawa, saat kamu menggoda si
brengsek itu. Yang aku tahu aku nggak suka melihatnya.”
Ren
mencoba berlogika, “Tapi itu kan…”
“Yang
aku tahu aku nggak suka,” potongnya, “Dan aku tahu kalau saat itu pikiran kita
memang benar,” akunya. “Aku cemburu.”
Pengakuan
itu membuat dada Ren sesak.
“Yang
aku tahu aku mau semua itu untukku, bukan untuk orang lain,” tambahnya.
Ren
menatapnya dengan rasa tidak percaya kalau terkaannya benar. Ia juga tidak
menyangka kalau pria itu memikirkannya. Dan ia terkesiap karena dia juga
merasakan perasaan yang sama saat Aya ingin menceritakan masa lalu mereka
berdua di sini. Ia baru menyadarinya sekarang kalau kemarahannya saat itu murni
karena rasa cemburunya.
Ren
menundukkan wajahnya tapi masih merasa gamang untuk memulai sesuatu yang baru
dalam hidupnya walau hatinya berkata memang inilah saatnya. Tapi ia gamang. Ini
untuk pertama kalinya ia jatuh cinta pada seseorang.
Andrea
tahu kalau Ren takut. Ia menarik dirinya lagi dan seperti ingin sembunyi
dibalik tembok pertahanan dirinya itu. Andrea meraih tangan Ren dan
meletakkannya di dadanya sambil menatapnya dalam-dalam. Ren bisa merasakannya.
Detak jantung Andrea sekeras detak jantungnya.
“Ren,”
katanya, “Aku akui kalau aku gila bisa sampai suka sama kamu. Dan jujur aku
nggak tahu kenapa begitu. Tapi yang aku tahu, di sini,” ia mengeratkan
genggamannya, “Tepat di sini aku merasa lengkap kalau kamu yang mengisinya.”
Dan
itu juga yang dirasakan Ren seketika. Ia memejamkan matanya, merasakan rasa
bahagia yang membuncah dihatinya. Rasanya sebagian dirinya kembali, membuatnya
utuh kembali, membuatnya hidup setelah sekian lama mati.
“Ya…”
bisik Ren saat masih memejamkan matanya untuk meresapi perasaan utuh di
hatinya. Dan tanpa ia sadari ia merasakan ada bibir yang menyentuh bibirnya.
Ren
terkesiap sesaat tapi tidak bisa membuka matanya saat pria itu melumat
bibirnya. Ia merasa kalau kerinduannya membuncah dan Andrea ada di sini, nyata,
menjadi penawarnya. Ciuman itu seperti gelombang laut yang menenggelamkannya,
seperti ia berada di dalam air, elemen favoritnya yang membuatnya mengambang
seperti terbang di udara dan Andrea ada di sana, memeluknya.
Lalu
Ren terpana dengan kejadian tadi saat pria itu akhirnya berhenti. Ia mendapati
Andrea tersenyum lembut padanya dan memandangnya dengan penuh cinta yang tak
bisa disembunyikan.
Ren
tersenyum dan akhirnya ia merasa ringan. Beban itu lenyap dan ia tidak perlu
memikirkan apapun lagi.
Ia
selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya jika jatuh cinta. Dan sekarang ia
menemukannya. Dan ia berharap ini untuk yang pertama dan yang terakhir dalam
hidupnya.
0 comments: