She #40 - Rain

3:13 PM fe 0 Comments



Cakrawala kembali memerah saat Ren duduk sore itu di tempat favorit Andrea, menghadap laut.
Ia tertawa, sejak kapan dirinya berubah jadi sentimentil? Rasa percaya dirinya terkuras habis sampai ke titik penghabisan. Ia juga tertawa karena tidak tahu kemana nasib akan membawanya hari ini. Tapi ia siap jika memang harus menghadapi banyak hal yang akan menjadi potongan mozaik kehidupannya.
Dan ia punya tujuan yang masih harus dicapai.
Kebebasan.
Kalau ingin berlari melewati rintangan, kenapa tidak sekalian saja hantam rintangan itu?

Dengan pikiran itu, Ren mencoba bertahan.
“Ren?” panggil sebuah suara yang lama tak ia dengar.
Ren mendongak dan melihat Andrea berdiri di belakangnya. Ia terkejut. Sekalipun dia berdoa untuk segera menyelesaikan masalah ini segera, tapi ia juga tidak siap kalau kejadiannya secepat ini!
“A –” kata-katanya tertelan angin dan ombak.
Panggilan apa yang harus dia berikan pada orang ini? Ia bingung sementara mata mereka masih menyatu.
Pria itu terlihat santai dengan kaos polos abu-abunya, jeans, dan sepatu. Rambutnya berantakan ditiup angin dan dia berubah jadi Andrea yang ia kenal di benaknya saat mereka di sini.
Andrea duduk di sampingnya, dekat dengannya.
“Akhirnya ketemu juga…” katanya lega.
Ren diam dan mulai mencoba mengumpulkan kekuatannya.
“Aku…” ia masih belum menemukan kata-kata yang cocok, “Maksud saya, kenapa anda di sini?”
Andrea mengerutkan keningnya. “Jangan seformal itu,” tegurnya tak suka.
Ren mencoba bersikap realistis, “Tapi kan… Bapak –”
“Sstt!” ia menekan telunjuknya ke bibir Ren. “Kamu lupa peraturannya?”
Ren memalingkan kepalanya dan merasa nadinya melonjak. Ia berusaha tetap sadar. “Itu sudah lewat.”
“Nggak.”
“Sudah.”
“Nggak.”
Ren menatapnya keras kepala, “Aku nggak mau banyak debat sekarang,” ia kesal. “Kenapa bisa sampai sini?”
         “Kalau aku nggak datang, nanti kamu kabur lagi.”
“Oh ya?”
“Ya. Sekarang saja kamu mau kabur, kan?”
Ren menatapnya. Memang begitu kenyataannya dan dia kesal, “Jangan baca pikiranku!” protesnya.
“Ini terjadi begitu saja. Aku nggak minta.”
“Bohong.”
Andrea menangkup wajahnya, “Aku bahkan tahu kalau aku nggak bisa bohong padamu,” bisiknya. “Dan aku nggak tahu kenapa.”
Ren mencoba menelan ludahnya. Tapi kerongkongannya kering. Suaranya membuatnya tenaganya terisap. Sentuhannya membuat jantungnya berdetak dan pikirannya kacau. Ren tidak bisa melepaskan dirinya dari tatapan matanya. Kata-kata yang ingin ia ucapkan menguap begitu saja.
“Ren,” panggil Andrea. “Ada yang salah.”
Ren tahu kalau memang ada yang salah.
Lalu pikirannya kembali. Dia tahu kalau memang seharusnya ada yang harus diluruskan di sini agar dia bisa kembali jadi dirinya. Agar dia bisa mendengar jawaban pria itu.
“Mungkin apa yang kita pikirkan sama,” kata pria itu sambil melepaskan pegangannya pada wajah Ren.
Ren menundukkan pandangannya. “Kamu bisa baca pikiran orang, kan? Baca saja.”
Andrea menatapnya sesaat. Ia tahu kalau gadis ini sedang berusaha membuang perasaannya. Itu juga yang dilakukannya selama tugas di luar kota, membuang perasaannya. Ia merasa tidak pantas menjadikan Ren, mahasiswanya, sebagai belahan hatinya. Rasanya terlalu bagus untuk jadi nyata. Ia berusaha menghindar tapi dia salah. Ia sama sekali tidak memperhitungkan perasaan Ren. Ren juga punya perasaan yang sama dengannya. Sekuat apapun Ren menghindar, itu hanya akan memperjelas suasana hatinya.
“Ren, aku nggak tahu apa ini bisa jadi bagus untukmu…”
Ren hanya diam mendengarkan.
“Yang jelas aku tahu kalau aku sudah melukai perasaanmu,” aku Andrea. “Aku minta maaf.”
Ren masih diam. Andrea menunggu reaksi. Tapi tidak ada. Masih hening.
“Aku –”
“Aku juga minta maaf,” potong Ren langsung. Ia tahu kalau sebaiknya dia tidak membiarkan semuanya mengambang. Dan karena semua masalah ini ada padanya, maka sebaiknya dia saja yang mulai bicara duluan.
Ia menatap Andrea dan menatap wajah pria itu dengan tatapan menyesal, “Aku minta maaf karena menghindarimu. Aku minta maaf karena membuatmu bingung,” akunya berat. Tapi ia ingin mengangkat beban terbesar di hatinya. “Jujur, aku tahu kalau ini nggak akan berhasil dan aku terlalu berharap. Tapi aku ingin kamu tahu kalau aku sudah nyerah. Jadi setelah hari ini berakhir, besok kita harus seperti biasa lagi, bisa kan?” tanyanya.
Andrea menatapnya. Ekspresinya tak bisa diteliti.
“Aku sengaja menghindarimu,” aku Ren. “Kalau nggak, aku pasti lebih tersiksa lagi. Aku udah buat kesalahan dan aku nggak tahu kenapa bisa begini…” ia menahan napasnya. Ini bagian terberatnya. Ia membulatkan tekadnya dan akhirnya menatap mata pria itu dengan sungguh-sungguh lalu berkata, “Aku mencintaimu.”
Andrea berkedip. Ia jelas terkejut mendengar pengakuan itu.
Ren juga akhirnya mengatakannya dengan rasa takut yang mengancamnya. Ia sudah mengatakannya tapi tidak sanggup mendengar jawabannya. Ren takut. Ia gugup.
Tapi saat satu beban itu terangkat, ia tidak menyadari kalau ada beban lain yang menghimpit pundaknya. Ia sangat ingin mendengar jawabannya walau tidak mau.
“Aku nggak harapin ini,” kata Ren kalut. “Aku bahkan nggak mau dengar jawaban kamu.”
Andrea masih terpana menatapnya dan Ren gemetar. 
Tapi sedetik kemudian ia memejamkan matanya dan segera menatap Ren dalam-dalam.
“Kamu harus lupa!” Ren mengingatkan walau dengan nada gemetar.
Andrea menggeleng dan kemudian dengan sungguh-sungguh berkata, “Kamu benar, seharusnya aku lupa karena kamu mengatakannya. Tapi nggak. Aku sama sekali nggak akan lupa karena hari ini aku tahu kalau aku benar.”
“Apa?” tanya Ren tidak mengerti.
“Aku tahu kalau orang yang akan mencintaimu itu pasti orang gila.”
“Apa?” kali ini nada Ren naik satu oktaf.
“Aku nggak nyangka kalau aku tahu siapa orang gila itu,” Andrea tertawa bahagia karena saking leganya. Ia memeluk Ren dan berkata, “Karena aku jatuh cinta padamu.”
Ren tercengang. Ia menatap Andrea dengan tatapan tidak percaya. Ia bahkan merasa kalau dia salah dengar. Tapi pria itu di sana, di depannya.
“Tapi… Tapi kita, kita kan?”
“Apa itu penting?” tanya Andrea. “Aku juga bertanya pada diriku sendiri. Apa itu penting? Dan saat kamu pergi… Saat aku tahu aku nggak bisa melihatmu, aku tahu kalau itu nggak penting,” katanya sungguh-sungguh. “Yang aku tahu, aku marah. Aku marah saat kamu tersenyum, saat kamu tertawa, saat kamu menggoda si brengsek itu. Yang aku tahu aku nggak suka melihatnya.”
Ren mencoba berlogika, “Tapi itu kan…”
“Yang aku tahu aku nggak suka,” potongnya, “Dan aku tahu kalau saat itu pikiran kita memang benar,” akunya. “Aku cemburu.”
Pengakuan itu membuat dada Ren sesak.
“Yang aku tahu aku mau semua itu untukku, bukan untuk orang lain,” tambahnya.
Ren menatapnya dengan rasa tidak percaya kalau terkaannya benar. Ia juga tidak menyangka kalau pria itu memikirkannya. Dan ia terkesiap karena dia juga merasakan perasaan yang sama saat Aya ingin menceritakan masa lalu mereka berdua di sini. Ia baru menyadarinya sekarang kalau kemarahannya saat itu murni karena rasa cemburunya.
Ren menundukkan wajahnya tapi masih merasa gamang untuk memulai sesuatu yang baru dalam hidupnya walau hatinya berkata memang inilah saatnya. Tapi ia gamang. Ini untuk pertama kalinya ia jatuh cinta pada seseorang.
Andrea tahu kalau Ren takut. Ia menarik dirinya lagi dan seperti ingin sembunyi dibalik tembok pertahanan dirinya itu. Andrea meraih tangan Ren dan meletakkannya di dadanya sambil menatapnya dalam-dalam. Ren bisa merasakannya. Detak jantung Andrea sekeras detak jantungnya.
“Ren,” katanya, “Aku akui kalau aku gila bisa sampai suka sama kamu. Dan jujur aku nggak tahu kenapa begitu. Tapi yang aku tahu, di sini,” ia mengeratkan genggamannya, “Tepat di sini aku merasa lengkap kalau kamu yang mengisinya.”
Dan itu juga yang dirasakan Ren seketika. Ia memejamkan matanya, merasakan rasa bahagia yang membuncah dihatinya. Rasanya sebagian dirinya kembali, membuatnya utuh kembali, membuatnya hidup setelah sekian lama mati.
“Ya…” bisik Ren saat masih memejamkan matanya untuk meresapi perasaan utuh di hatinya. Dan tanpa ia sadari ia merasakan ada bibir yang menyentuh bibirnya.
Ren terkesiap sesaat tapi tidak bisa membuka matanya saat pria itu melumat bibirnya. Ia merasa kalau kerinduannya membuncah dan Andrea ada di sini, nyata, menjadi penawarnya. Ciuman itu seperti gelombang laut yang menenggelamkannya, seperti ia berada di dalam air, elemen favoritnya yang membuatnya mengambang seperti terbang di udara dan Andrea ada di sana, memeluknya.
Lalu Ren terpana dengan kejadian tadi saat pria itu akhirnya berhenti. Ia mendapati Andrea tersenyum lembut padanya dan memandangnya dengan penuh cinta yang tak bisa disembunyikan.
Ren tersenyum dan akhirnya ia merasa ringan. Beban itu lenyap dan ia tidak perlu memikirkan apapun lagi.
Ia selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya jika jatuh cinta. Dan sekarang ia menemukannya. Dan ia berharap ini untuk yang pertama dan yang terakhir dalam hidupnya.

You Might Also Like

0 comments: