She #39 - Rain
Satu
pesan baru masuk ke ponsel Ren siang ini. Dari Rossa:
Ren, aku akan buka toko sendiri dalam
sebulan ini. Nanti kalau sudah resmi buka, jangan lupa datang ya dengan Andrea!
Rossa
mendapatkan kebebasannya. Dia bahkan sudah bisa mewujudkan mimpi-mimpinya. Ren
tersenyum membaca pesan itu dan membalasnya kalau dia pasti akan datang ke sana
dan menambahkan dalam hati kalau dia tidak bisa janji datang dengan Andrea.
Mungkin
mereka akan bertemu di sana sebagai orang yang berbeda. Mungkin saran Sherly
benar kalau mereka harus bertemu dan bicara. Semuanya harus jelas. Selama ini
dia menghindar karena dia tahu jawabannya.
Ia
patah hati.
Andrea
bukan untuknya dan untuk apa bicara? Pria itu juga tidak menaruh perhatian
padanya. Selama ini ia salah. Andrea hanya bersikap sebagai pelindungnya. Tidak
lebih, tidak kurang! Dan ia sangat yakin itu. Tapi justru keyakinan itu yang
membuat hatinya patah.
Ren
tertawa.
Dia
sadar sekarang, cinta bukan untuknya. Kisah romantisnya hanya nol besar. Di
dunia ini ada orang-orang yang terlahir tanpa pasangan sekalipun pepatah tua
mengatakan kalau semua orang punya pasangan. Bahkan siang saja berpasangan
dengan malam. Kalau tidak, bagaimana makhluk di bumi bisa hidup?
Tapi
memang benar, di dunia ini nyatanya ada segelintir orang yang tidak punya
pasangan. Untuk apa berdebat? Itu hukum alam. Bahkan hanya Tuhan yang tahu
mengapa.
Dan
Ren selalu menganggap dirinya adalah salah satu dari segelintir orang-orang
itu. Ia sadar kalau dia terlalu berharap untuk merasakan sedikit romantisme
dalam hidupnya.
Kenyataannya
ia memang bisa merasakan sedikit rasanya tapi rasa manis itu segera berubah
pahit.
Ren
menembus kerumunan orang-orang yang beredar di lantai dansa dengan sangat tidak
senonoh pukul sebelas malam. Ia meringis saat masih menemukan pemandangan yang
sama dan hal yang sama di Pit Stop
milik Ferry itu. Tapi ia segera mengabaikannya. Tujuannya hanya satu, ia harus
ke bar dan memesan kopi untuk begadang.
Ia
datang lagi ke sini bukan sebagai peneliti yang menyamar sebagai bartender,
tapi sebagai seorang tamu yang sesungguhnya. Karena penampilan Ren tidak
seperti orang kebanyakan dan masih menggunakan jaket tebal, jeans, dan
ranselnya, ia tidak menjadi perhatian serius.
Mint
yang sedang menyajikan minuman untuk pelanggannya langsung terkejut saat
melihat Ren mendekat padanya.
“Ren!”
pekiknya senang.
Ren
tersenyum. Dandanan ala lelakinya hampir saja mengecoh mata Mint karena rambut
Ren berantakan dan rambutnya yang panjang itu berada di balik kerah jaketnya.
“Apa
kabar?” sapa Ren.
“Ya
ampun! Kukira siapa!”
“Kopi,”
kata Ren padanya.
“Oke,”
Mint segera mengambil secangkir kopi dan meletakkannya di depan Ren. “Kamu ke
sini sama siapa? Andrea?”
Ren
menyeruput kopinya. “Sendiri,” jawabnya setelah merasakan nikmatnya kopi itu.
Tempat ini memang punya kopi yang enak.
“Sendiri?”
Mint tidak percaya.
“Nggak
apa-apa, kan? Toh, aku kangen kalian,” kata Ren sambil tersenyum.
“Jangan
bilang kalau kamu kangen jadi pelayan,” Mint curiga.
Ren
tergelak. Ia menggelengkan kepalanya, “Nggak. Aku masih mau tidur malam, nggak
mau begadang.”
Mint
juga tertawa. “Jadi kamu tinggal dengan Ginny lagi?”
Ren
mengangkat bahunya tanda tidak tahu. “Entahlah. Mungkin ada penginapan
disekitar sini –”
“Kusarankan,
jangan!”
“Setuju.
Aku nggak mau ambil resiko dicuri atau disantroni para penggoda.”
Mint
mengangguk setuju, “Kalau gitu kamu harus tinggal dengan Ginny.”
“Mana
dia?”
“Dia
sedang melayani pelanggan.”
“Rossa?”
“Dia
sudah nggak kerja. Belakangan dia nggak kelihatan di sini,” jawab Mint.
Ren
bisa melihat kalau Mint merasa sangat merindukan sesuatu.
“Bebas,
maksudnya?” tanya Ren hati-hati.
“Dia
memang sudah saatnya bebas.”
Ren
mengangguk paham. Siapapun juga ingin bebas dari semua ini… termasuk Ren sendiri
yang ingin bebas dari rasa sakitnya.
“Oh
ya? Kamu harus ketemu Rossa. Katanya dia mau buka toko kue,” kata Mint
tiba-tiba.
Ren
tersenyum lebar, “Akhirnya…”
“Yah…
Akhirnya. Katanya aku bisa kerja di sana kalau kontrakku di sini selesai,” tapi
ia mengatakannya dengan wajah murung.
Kontrak
kerja itu mencekik mereka.
“Jadi,
kalau kamu keluar, kamu mau jadi apa?” tanya Ren.
“Aku
mau jadi guru TK,” dan dia tertawa miris, “Mustahil ya?”
“Baru
kepikiran sekarang?”
Ia
mengangguk, “Saat aku lihat anak-anak di sini, mereka sebaiknya mendapat
pendidikan yang baik. Minimal mereka bisa keterampilan atau apa. Aku suka
seni.”
Bahkan
kekanganpun membatasi bakat seseorang untuk berkembang. Ren miris
mengatakannya.
“Nggak
mustahil, kok. Katakan saja dan biarkan mereka tertawa karena kalau mimpimu
terwujud, itu semua hanya untuk kamu, bukan mereka.”
Ren
bertemu Ginny saat shift nya selesai. Ginny memeluknya senang sekali.
“Apa?
Sendiri?” tanya Ginny tidak percaya.
Ren
mengangguk saat menceritakan perjalanannya.
“Ini
nggak baik! Akan kupanggang dia!” Ginny dendam pada Andrea yang membiarkan Ren
ke sini sendirian.
“Ini
inisiatifku sendiri. Dia nggak tahu,” Ren membelanya.
“Huff…
ya sudah. Kau mau ketemu Ferry atau mau langsung pulang denganku?” tanya Ginny
lagi.
“Aku
ikut kamu.”
Saat
mereka sampai di rumah, Ginny banyak menceritakan tentang Rossa dan mimpinya.
Akhirnya satu persatu mimpi mereka mulai terwujud. Tapi Ginny yang awalnya
tidak begitu optimis dengan mimpinya, sekarang menjadi sangat optimis.
“Tiga
contoh,” kata Ginny sambil memberikan sekotak minuman buah pada Ren. “Ada tiga
contoh yang membuatku yakin kalau aku bisa seperti mereka. Ngomong-ngomong
Andrea benar-benar nggak tahu kamu ke sini?”
“Ya.”
“Kenapa?
Terlalu merindukan kami?” godanya.
Ren
tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Aku hanya datang ke tempat yang mudah
dia cari.”
Ginny
tidak mengerti. “Maksudnya?”
“Aku
pikir, dia bisa mencariku jika aku datang ke tempat tak terduga.”
Ginny
mencerna kata-katanya. “Apa yang terjadi?”
Ren
meminum minumannya, mengabaikan rasa gelisah di hatinya. “Banyak,” jawabnya
pelan. “Aku cuma butuh berpikir jernih sebelum bicara. Boleh kan aku tinggal di
sini dulu?”
Ginny
tersenyum, “Tentu saja.”
0 comments: