She #39 - Rain

3:04 PM fe 0 Comments



Satu pesan baru masuk ke ponsel Ren siang ini. Dari Rossa:

Ren, aku akan buka toko sendiri dalam sebulan ini. Nanti kalau sudah resmi buka, jangan lupa datang ya dengan Andrea!

Rossa mendapatkan kebebasannya. Dia bahkan sudah bisa mewujudkan mimpi-mimpinya. Ren tersenyum membaca pesan itu dan membalasnya kalau dia pasti akan datang ke sana dan menambahkan dalam hati kalau dia tidak bisa janji datang dengan Andrea.
Mungkin mereka akan bertemu di sana sebagai orang yang berbeda. Mungkin saran Sherly benar kalau mereka harus bertemu dan bicara. Semuanya harus jelas. Selama ini dia menghindar karena dia tahu jawabannya.
Ia patah hati.

Andrea bukan untuknya dan untuk apa bicara? Pria itu juga tidak menaruh perhatian padanya. Selama ini ia salah. Andrea hanya bersikap sebagai pelindungnya. Tidak lebih, tidak kurang! Dan ia sangat yakin itu. Tapi justru keyakinan itu yang membuat hatinya patah.
Ren tertawa.
Dia sadar sekarang, cinta bukan untuknya. Kisah romantisnya hanya nol besar. Di dunia ini ada orang-orang yang terlahir tanpa pasangan sekalipun pepatah tua mengatakan kalau semua orang punya pasangan. Bahkan siang saja berpasangan dengan malam. Kalau tidak, bagaimana makhluk di bumi bisa hidup?
Tapi memang benar, di dunia ini nyatanya ada segelintir orang yang tidak punya pasangan. Untuk apa berdebat? Itu hukum alam. Bahkan hanya Tuhan yang tahu mengapa.
Dan Ren selalu menganggap dirinya adalah salah satu dari segelintir orang-orang itu. Ia sadar kalau dia terlalu berharap untuk merasakan sedikit romantisme dalam hidupnya.
Kenyataannya ia memang bisa merasakan sedikit rasanya tapi rasa manis itu segera berubah pahit.


Ren menembus kerumunan orang-orang yang beredar di lantai dansa dengan sangat tidak senonoh pukul sebelas malam. Ia meringis saat masih menemukan pemandangan yang sama dan hal yang sama di Pit Stop milik Ferry itu. Tapi ia segera mengabaikannya. Tujuannya hanya satu, ia harus ke bar dan memesan kopi untuk begadang.
Ia datang lagi ke sini bukan sebagai peneliti yang menyamar sebagai bartender, tapi sebagai seorang tamu yang sesungguhnya. Karena penampilan Ren tidak seperti orang kebanyakan dan masih menggunakan jaket tebal, jeans, dan ranselnya, ia tidak menjadi perhatian serius.
Mint yang sedang menyajikan minuman untuk pelanggannya langsung terkejut saat melihat Ren mendekat padanya.
“Ren!” pekiknya senang.
Ren tersenyum. Dandanan ala lelakinya hampir saja mengecoh mata Mint karena rambut Ren berantakan dan rambutnya yang panjang itu berada di balik kerah jaketnya.
“Apa kabar?” sapa Ren.
“Ya ampun! Kukira siapa!”
“Kopi,” kata Ren padanya.
“Oke,” Mint segera mengambil secangkir kopi dan meletakkannya di depan Ren. “Kamu ke sini sama siapa? Andrea?”
Ren menyeruput kopinya. “Sendiri,” jawabnya setelah merasakan nikmatnya kopi itu. Tempat ini memang punya kopi yang enak.
“Sendiri?” Mint tidak percaya.
“Nggak apa-apa, kan? Toh, aku kangen kalian,” kata Ren sambil tersenyum.
“Jangan bilang kalau kamu kangen jadi pelayan,” Mint curiga.
Ren tergelak. Ia menggelengkan kepalanya, “Nggak. Aku masih mau tidur malam, nggak mau begadang.”
Mint juga tertawa. “Jadi kamu tinggal dengan Ginny lagi?”
Ren mengangkat bahunya tanda tidak tahu. “Entahlah. Mungkin ada penginapan disekitar sini –”
“Kusarankan, jangan!”
“Setuju. Aku nggak mau ambil resiko dicuri atau disantroni para penggoda.”
Mint mengangguk setuju, “Kalau gitu kamu harus tinggal dengan Ginny.”
“Mana dia?”
“Dia sedang melayani pelanggan.”
“Rossa?”
“Dia sudah nggak kerja. Belakangan dia nggak kelihatan di sini,” jawab Mint.
Ren bisa melihat kalau Mint merasa sangat merindukan sesuatu.
“Bebas, maksudnya?” tanya Ren hati-hati.
“Dia memang sudah saatnya bebas.”
Ren mengangguk paham. Siapapun juga ingin bebas dari semua ini… termasuk Ren sendiri yang ingin bebas dari rasa sakitnya.
“Oh ya? Kamu harus ketemu Rossa. Katanya dia mau buka toko kue,” kata Mint tiba-tiba.
Ren tersenyum lebar, “Akhirnya…”
“Yah… Akhirnya. Katanya aku bisa kerja di sana kalau kontrakku di sini selesai,” tapi ia mengatakannya dengan wajah murung.
Kontrak kerja itu mencekik mereka.
“Jadi, kalau kamu keluar, kamu mau jadi apa?” tanya Ren.
“Aku mau jadi guru TK,” dan dia tertawa miris, “Mustahil ya?”
“Baru kepikiran sekarang?”
Ia mengangguk, “Saat aku lihat anak-anak di sini, mereka sebaiknya mendapat pendidikan yang baik. Minimal mereka bisa keterampilan atau apa. Aku suka seni.”
Bahkan kekanganpun membatasi bakat seseorang untuk berkembang. Ren miris mengatakannya.
“Nggak mustahil, kok. Katakan saja dan biarkan mereka tertawa karena kalau mimpimu terwujud, itu semua hanya untuk kamu, bukan mereka.”


Ren bertemu Ginny saat shift nya selesai. Ginny memeluknya senang sekali.
“Apa? Sendiri?” tanya Ginny tidak percaya.
Ren mengangguk saat menceritakan perjalanannya.
“Ini nggak baik! Akan kupanggang dia!” Ginny dendam pada Andrea yang membiarkan Ren ke sini sendirian.
“Ini inisiatifku sendiri. Dia nggak tahu,” Ren membelanya.
“Huff… ya sudah. Kau mau ketemu Ferry atau mau langsung pulang denganku?” tanya Ginny lagi.
“Aku ikut kamu.”
Saat mereka sampai di rumah, Ginny banyak menceritakan tentang Rossa dan mimpinya. Akhirnya satu persatu mimpi mereka mulai terwujud. Tapi Ginny yang awalnya tidak begitu optimis dengan mimpinya, sekarang menjadi sangat optimis.
“Tiga contoh,” kata Ginny sambil memberikan sekotak minuman buah pada Ren. “Ada tiga contoh yang membuatku yakin kalau aku bisa seperti mereka. Ngomong-ngomong Andrea benar-benar nggak tahu kamu ke sini?”
“Ya.”
“Kenapa? Terlalu merindukan kami?” godanya.
Ren tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Aku hanya datang ke tempat yang mudah dia cari.”
Ginny tidak mengerti. “Maksudnya?”
“Aku pikir, dia bisa mencariku jika aku datang ke tempat tak terduga.”
Ginny mencerna kata-katanya. “Apa yang terjadi?”
Ren meminum minumannya, mengabaikan rasa gelisah di hatinya. “Banyak,” jawabnya pelan. “Aku cuma butuh berpikir jernih sebelum bicara. Boleh kan aku tinggal di sini dulu?”
Ginny tersenyum, “Tentu saja.”

You Might Also Like

0 comments: