She #38 - Rain
Ren membuka
matanya dan mendapati langit-langit di atas kamarnya bewarna temaram. Matahari
pagi sudah beranjak naik dan ia tahu kalau ia sendirian.
Ia sudah
memutuskan untuk berdiam di dalam apartemen Selene Anderson, temannya yang
sudah lama tinggal di Indonesia. Selene berkuliah di Jakarta dan juga mengenal
Charlie seperti dirinya. Gadis itu begitu tergila-gila dengan desain sepatu. Ia
selalu bilang kalau ukuran kaki Ren sangat pas dan standar. Ukuran 38. Karena
itu ia suka membuat sepatu dengan mengambil kaki Ren sebagai model.
Sekarang ia ada
di sini bukan hanya karena ada panggilan tugas untuk mencoba berbagai model
sepatu yang dibuatnya sekaligus menjadi komentator, tapi juga karena ingin
menenangkan dirinya.
Selene adalah
orang Amerika yang lama tinggal di Indonesia. Terlalu lama malah. Ren
berkenalan dengannya saat mereka sama-sama berumur sepuluh tahun. Mereka
benar-benar jadi teman baik.
Ren bangun. Ia
menggaruk-garuk kepalanya dengan malas dan langsung keluar kamar. Di atas meja
makan ada sekeranjang roti cokelat yang sengaja disiapkan Selene untuknya
sekaligus sebuah pesan.
Ini
sarapan pagi. Di dalam kulkas ada jus yang sudah kubuat untukmu. Oh ya, kalau
masih stress, kenapa nggak berenang saja? Kalau berenang pagi, nggak akan ada
banyak orang kok. Nanti aku pulang sekitar jam 8 malam. Nggak apa-apa kan?
Kalau ada apa-apa, hubungi aku, ok?
-Selene
Ren
pikir kalau berenang adalah saran yang bagus. jadi ia langsung mengambil baju
renangnya, memasukkannya ke dalam tas, mengambil dua potong roti cokelat, dan
langsung keluar menuju ke lantai satu untuk berenang.
Ren
berenang bolak balik sebanyak lima kali sebelum akhirnya melakukan atraksi gaya
punggung sambil mengosongkan pikirannya. Ia ahli berenang. Napasnya panjang.
Dan ia sangat menyukai air karena bisa membuatnya terbang mengambang. Ia ingin
begini terus, di dalam air selamanya. Itu pun kalau bisa.
Akhirnya
Ren menepi dan beranjak dari kolam. Ia duduk di bangku kolam dan memandang
tasnya. Sambil mengeringkan rambutnya, ia meraih ponselnya dari dalam tas.
Ponselnya mati. Ia sama sekali belum menyalakannya lagi semenjak datang ke
sini. Ia juga lupa kalau ia harus menghubungi Sherly. Temannya itu pasti
kuatir.
Sambil
mengedarkan pandangannya ke ruang kolam yang sepi, akhirnya dia menyalakannya.
Suaranya langsung membahana sebentar dan kemudian ia menunggu. Apa ada sms yang
masuk?
Tak
lama kemudian ponselnya meraung-raung. Tidak tanggung-tanggung ada sembilan
pesan yang masuk dalam waktu bersamaan. Akhirnya pesan-pesan yang tertahan di
udara itu bisa masuk juga kememori ponselnya.
Tujuh
pesan dari Sherly yang isinya sama semua :
Lu di mana? Jawab woy!
Pesan
ke dua dari Sherly:
Jangan bikin cemas!
Cepat balas!
Pesan
berikutnya masih sama kecuali pesan terakhir yang dari jam dan tanggal kirimnya
baru sepuluh menit yang lalu.
Mr.Jason cari lu. Kayaknya dia frustasi
karena lu tiba-tiba hilang. Cepat kasih kabar sebelum dia bunuh diri! Sumpah,
Ren! Baru sekarang gue lihat dia nggak sabaran gitu. Dia sungguh seram!
Yang
membuat Ren tercengang adalah dua pesan terakhir yang berasal dari Andrea. Ia
membacanya.
Kamu ngga masuk. Keman saja?
Pesan
terakhir lebih panjang dari yang pertama.
Ren, ada masalah? Akhir-akhir ini kamu
banyak menghindar. Aku mau bicara denganmu. Kalau ada waktu, tolong hubungi
aku. Kalau aku salah, aku minta maaf. Tapi tolong, aku benar-benar ingin ketemu
kamu. Bisa?
Ren
menelan ludahnya. Ia sadar kalau Ren tidak memakai kalimat baku itu, ‘saya’.
Ajaib! Ia memang ingin bertemu Andrea. Bahkan setelah dia di sini, ia tahu
kalau hatinya dan pikirannya masih mengingatnya. Andrea, nama itu terlalu
terpatri kuat dibenaknya.
Ia
tidak yakin kalau dia bisa selamat jika kembali ke kampus dan kuliah. Biar
bagaimanapun juga masalah ini terlalu sakit untuknya. Ren menghela napas berat
agar tidak menangis.
Ia
terlalu merindukannya.
Lalu
dering ponselnya berbunyi dan karena Sherly yang menelepon, ia langsung
mengangkatnya.
“Ya,
Sher…” sahut Ren tanpa rasa curiga.
“Jangan
tutup!”
Ren
tercengang. Ia melihat ke display ponselnya dan yakin kalau nama Sherly tertera
di sana. Tapi kenapa yang bicara justru pria itu?
“Jangan
tutup, Ren!” perintah suara Andrea.
Ren
mendekatkan ponselnya ke telinganya. Ia memang sangat ingin mendengar suara
Andrea. Tapi ia tidak yakin akan tahan mendengarnya.
“Ren,
kamu dimana?” tanya Andrea.
Ren
diam, membiarkan suasana mengambang disekitarnya.
“Aku
tahu kamu dengar aku,” kata Andrea yakin.
Ren
menggigit bibirnya dan menggosok keningnya. Kemarin pria itu seperti tidak
peduli padanya. Sekarang nadanya berubah.
“Ren?”
pria itu masih memanggilnya.
“Kenapa?”
tanya Ren setengah berbisik. “Aku lagi… di tempat teman.”
“Ren,”
panggil Andrea, “Aku tahu ada yang salah. Kita harus bicara.”
Ren
memejamkan matanya. Ia belum siap menanggung rasa sakit yang lain mengingat yang
ini saja sulit disembuhkan.
“Kenapa?”
Ren bertanya lagi. “Kayaknya nggak usah.”
“Perlu,
Ren. Kalau nggak, gimana aku bisa tahu kalau kamu –” Andrea berhenti.
Ren
menunggunya melanjutkan kalimatnya.
“Aku
tahu ada yang salah. Dan aku tahu kalau ada yang harus kita bicarakan,” kata
Andrea.
“Aku
rasa nggak. Semuanya baik-baik saja, kok,” kata Ren. “Memangnya ada yang
salah?”
Andrea
diam diujung telepon sana.
“Nggak
ada, kan?” desak Ren lagi. Lalu Ren tertawa agar bisa membuat pria itu tidak
bisa menerka pikirannya dan agar pria itu tidak mengungkit masalah ini lagi.
Andrea terlalu berbahaya. Ia bisa membaca pikiran orang dengan ilmu psikologi
mumpuninya dan Ren menderita karenanya. “Nggak apa-apa, Pak. Aku cuma mau
liburan, itu saja.”
Suasana
menjadi senyap seketika. Ia sudah mencoba semampunya, berpura-pura tidak
terjadi apa-apa dan menganggap kalau ini hanya liburan di masa jenuhnya.
“Aku
nggak percaya,” kata Andrea.
Tapi
justru kalimat itu yang membuat hati Ren bergelung senang, bukan sebaliknya.
Pria itu tahu.
Ya.
Dia selalu tahu.
Bahkan
ia bisa menerka dengan tepat apa yang ingin di dengar Ren pada malam itu walau
Ren sendiri bingung dia ingin mendengar apa. Kenapa dia bisa melakukannya?
Dan
kenapa sekarang dia bahagia?
Apa
karena Andrea sangat peduli padanya?
Ia
mencoba mengembalikan logikanya. Sialnya, pikiran dan hatinya tidak bisa
bekerja sama.
Cokelat.
Ia seperti memakan sebatang cokelat dan mendapati bagian yang pahit, sangat
pahit, di mulutnya. Tapi ia harus memakannya dan tidak boleh membuangnya.
“Saya
nggak harus masuk kan? Saya sedang bosan. Itu saja,” Ren membantahnya sekarang.
“Oh ya? Kenapa Bapak pakai ponsel Sherly? Apa Sherly ada di sana?” tanya Ren
mengalihkan pembicaraan.
Untuk
sejenak Andrea tidak menjawab. Tapi akhirnya ia bicara, “Ya. Dia di sini.
Tunggu sebentar.”
Seakan
mendapat tusukan di jantungnya, Ren menahan napasnya.
Pria
itu marah dan Ren bisa merasakannya. Suaranya menusuk dan ada nada tidak peduli
di sana. Ren nyaris menangis jika Sherly tidak bersuara.
“Ren?”
panggil Sherly pelan.
“Kenapa
dia bisa sampai telepon gue?” tanya Ren marah.
Sherly
tidak menjawab sejenak. Terdengar gumaman dari seberang sana sebelum suara itu
menjawab, “Sori Ren… Ini benar-benar dadakan. Gue lagi di jurusan begitu
pemberitahuan sms masuk datang. Dia langsung ambil ponsel gue dan telepon lu.”
Ren
mendongak, menghadang rasa frustasinya.
“Dia
marah,” kata Ren, nyaris seperti gumamam. “Dia marah, Sher…”
“Ren,
tenang. Tenang dulu,” kata Sherly. “Gue tahu dia kesal. Tapi lu harus tahu
kalau dia benar-benar kuatir sama lu.”
Ren
diam, tidak membalas.
“Kenapa
lu nggak bicara sama dia?” usul Sherly.
“Itu
nggak merubah apapun,” jawab Ren pesimis.
“Gue
nggak akan bohong, Ren. Lu dengar ini baik-baik. Kalau lu masih menghindar, lu
nggak akan pernah bisa tahu apa yang lu cari. Lu nggak akan pernah bisa tahu
jawaban yang lu cari.”
Ren
menggeleng mendengarnya. “Gue udah tahu jawabannya, Sher. Jawabannya nggak.
Nggak akan pernah!”
“Lu
nggak tahu jawabannya, Ren. Itu cuma jawaban yang lu terka sendiri.”
“Gue
nggak mau ambil resiko.”
“Iya,
gue tahu,” Sherly meyakinkan. “Tapi Ren, jujur aja, lu nggak akan tahu apa-apa
kalau lu nggak bicara, nggak nanya. Jawaban itu cuma dia yang berhak kasih
tahu, bukan hati lu,” nasehat Sherly. “Kalau lu masih menghindar, kapan lagi lu
bisa tenang. Setidaknya lu harus tahu dulu dia mau bilang apa.”
Ren
kesal. “Merepotkan.”
“Memang,”
Sherly menantang. “Tapi kalau bukan begini, lu nggak akan pernah jadi diri lu
sendiri. Sekarang gue nanya, lu mau apa?”
Ren
diam sambil memejamkan matanya.
Apa
maunya?
Itu
satu pertanyaan yang juga belum bisa ditemukan jawabannya. Dia bingung. Dia
sedang bingung dengan hatinya. Dia serba salah.
“Satu
saran gue, Ren,” Sherly masih bicara, “Lu harus lihat seseorang dari
pribadinya, bukan dari statusnya.”
Dan
Ren menghela napas beratnya lagi.
0 comments: