She #37 - Rain
Sherly memborong
sekardus kecil cemilan di bulan baru ini seperti biasa ke kamar Ren. Dia sudah
melakukan ini berkali-kali selama berbulan-bulan hanya karena Ren meminta
paketnya untuk dititip dulu ke kamarnya. Sherly akan mengetuk pintu kamar
temannya itu tapi pintu itu keburu terbuka.
“Hai!” sapa Ren
cerah.
Sherly kaget
saat melihat Ren serapi itu pagi ini. Jaket tebal, jeans, sepatu, dan ransel
itu mengindikasikannya kalau dia mau pergi.
“Ah! Camilan!”
ia mengambil kardus kecil itu dari tangan Sherly, meletakkannya ke lantai dan
membukanya. “Thanks udah bawa ini ke
sini,” katanya senang.
Ren menurunkan
ranselnya dan memasukkan beberapa camilan itu ke dalam ranselnya. Sisanya ia
dorong masuk ke kamar lalu ia mengunci pintunya. Sherly terdiam saat melihat
itu.
“Oke, gue pergi
dulu,” Ren pamit.
“Mau kemana?”
kali ini Sherly menemukan suaranya.
“Nggak tahu,”
Ren mengangkat bahunya. “Nanti gue hubungi, ya. Gue pergi dulu. Bye.”
Sherly hanya
bisa melihatnya saja.
Mungkin lebih
baik kalau dia sendiri dulu.
Stasiun kereta
api itu penuh sesak pagi ini. Ren sudah membeli tiket ke Jakarta. Ia ingin
sendiri dulu, menenangkan diri sambil menyusun kembali pikirannya dan hatinya.
Ia ingin saat dia kembali nanti ia sudah biasa dengan semuanya.
Ia harus
menghapus nama Andrea dalam hidupnya. Ia harus menghapus kenangan mereka. Dan
yang penting ia harus yakin kalau rasa cintanya hanya sementara dan hanya
sebatas suka.
Ini yang sulit.
Ren duduk di
pinggir jendela. Ia membuka camilannya dan menunggu kereta bergerak. Ia duduk
nyaman sambil berusaha untuk tidak memikirkan apapun. Ia sudah memutuskan untuk
mengabaikan kuliahnya selama beberapa hari dan itu penting.
Sungguh! Rasa
galau bukan untuknya.
Ia baru kali ini
merasakan perasaan seperti ini.
Untuk sementara
ia harus mencari lagi dirinya yang dulu.
Dua hari telah
berlalu saat Andrea menemukan sesuatu.
Andrea memeriksa
absennya dan mulai menyadari kalau selama dua hari ini Ren tidak masuk kelas.
Ia sudah mencoba untuk tidak meraih ponselnya dan menekan nomor sambung panggil
cepat di ponselnya itu.
Ren bertingkah
tidak biasa dan ia butuh mencarinya.
Ia butuh bertemu
dengan gadis itu untuk bisa sekali lagi membaca matanya dan menemukan
jawabannya.
Tapi saat ia
melakukannya ia sama sekali tidak percaya kalau Ren mematikan ponselnya. Ini
seperti bukan dirinya. Seorang perempuan yang lebih mementingkan logika, kadang
berpikiran seperti pria, dan terkadang lebih keras dari pada pria, telah
bermetamorfosis menjadi wanita seutuhnya.
Andrea tertawa.
Walau bagaimanapun juga Ren adalah perempuan. Dia bisa bingung. Dia bisa tidak
tahu keinginannya seperti waktu itu. Akhirnya dia mengambil langkah ekstrim. Ia
mencegat Sherly karena ia tahu kalau Ren dan Sherly teman dekat.
“Bisa bicara
sebentar?” tanyanya pada saat menemukan Sherly sedang duduk sendirian menunggu
Neno di lorong jurusan.
“Ya, Pak?”
Sherly kaget karena tiba-tiba ia melihat satu sosok yang berbeda di diri dosen
itu.
Andrea terlihat
sangat serius sekarang. Dengan anggukannya ia mengajak Sherly masuk ke dalam
ruang dosen yang sepi. Mereka duduk berhadapan. Sherly gugup.
“Saya nggak
lihat Ren akhir-akhir ini. Kamu tahu dia kemana?” tanya Andrea langsung pada
maksud dan tujuannya.
Sherly kaget,
tidak tahu harus jawab apa. Dua hari Ren pergi, tapi dua hari itu juga ia sama
sekali tidak mendapat kabar seperti yang dijanjikan. Ia juga kuatir karena takut
Ren berbuat gila. Apalagi sekarang dia berada dalam kondisi yang tidak stabil.
“Maaf, Pak,”
Sherly mencoba menjelaskan, “Sebenarnya saya juga nggak tahu dia kemana. Dua
hari lalu dia memang pergi. Dia bilang dia akan sms kalau sudah sampai, tapi
sampai sekarang dia masih belum sms.”
Andrea menatap
matanya untuk menilai apa gadis itu bohong atau tidak. Tapi ia tidak melihat
kebohongan itu di sana. Sherly jujur apa adanya.
“Dia nggak
bilang pergi kemana?” tanya Andrea lagi.
Sherly
menggeleng dan jawaban itu membuat pria itu memejamkan matanya.
“Oke. Makasih,”
kata Andrea akhirnya.
Sherly
menundukkan pandangannya seperti mempertimbangkan sesuatu. Lalu akhirnya dia
berkata, “Kalau ada kabar darinya, Bapak akan saya beritahu.”
Andrea
tersenyum, “Makasih,” katanya sebelum akhirnya menambahkan, “Saya
mengandalkanmu.”
0 comments: