She #37 - Rain

2:58 PM fe 0 Comments



Sherly memborong sekardus kecil cemilan di bulan baru ini seperti biasa ke kamar Ren. Dia sudah melakukan ini berkali-kali selama berbulan-bulan hanya karena Ren meminta paketnya untuk dititip dulu ke kamarnya. Sherly akan mengetuk pintu kamar temannya itu tapi pintu itu keburu terbuka.
“Hai!” sapa Ren cerah.
Sherly kaget saat melihat Ren serapi itu pagi ini. Jaket tebal, jeans, sepatu, dan ransel itu mengindikasikannya kalau dia mau pergi.
“Ah! Camilan!” ia mengambil kardus kecil itu dari tangan Sherly, meletakkannya ke lantai dan membukanya. “Thanks udah bawa ini ke sini,” katanya senang.

Ren menurunkan ranselnya dan memasukkan beberapa camilan itu ke dalam ranselnya. Sisanya ia dorong masuk ke kamar lalu ia mengunci pintunya. Sherly terdiam saat melihat itu.
“Oke, gue pergi dulu,” Ren pamit.
“Mau kemana?” kali ini Sherly menemukan suaranya.
“Nggak tahu,” Ren mengangkat bahunya. “Nanti gue hubungi, ya. Gue pergi dulu. Bye.
Sherly hanya bisa melihatnya saja.
Mungkin lebih baik kalau dia sendiri dulu.


Stasiun kereta api itu penuh sesak pagi ini. Ren sudah membeli tiket ke Jakarta. Ia ingin sendiri dulu, menenangkan diri sambil menyusun kembali pikirannya dan hatinya. Ia ingin saat dia kembali nanti ia sudah biasa dengan semuanya.
Ia harus menghapus nama Andrea dalam hidupnya. Ia harus menghapus kenangan mereka. Dan yang penting ia harus yakin kalau rasa cintanya hanya sementara dan hanya sebatas suka.
Ini yang sulit.
Ren duduk di pinggir jendela. Ia membuka camilannya dan menunggu kereta bergerak. Ia duduk nyaman sambil berusaha untuk tidak memikirkan apapun. Ia sudah memutuskan untuk mengabaikan kuliahnya selama beberapa hari dan itu penting.
Sungguh! Rasa galau bukan untuknya.
Ia baru kali ini merasakan perasaan seperti ini.
Untuk sementara ia harus mencari lagi dirinya yang dulu.


Dua hari telah berlalu saat Andrea menemukan sesuatu.
Andrea memeriksa absennya dan mulai menyadari kalau selama dua hari ini Ren tidak masuk kelas. Ia sudah mencoba untuk tidak meraih ponselnya dan menekan nomor sambung panggil cepat di ponselnya itu.
Ren bertingkah tidak biasa dan ia butuh mencarinya.
Ia butuh bertemu dengan gadis itu untuk bisa sekali lagi membaca matanya dan menemukan jawabannya.
Tapi saat ia melakukannya ia sama sekali tidak percaya kalau Ren mematikan ponselnya. Ini seperti bukan dirinya. Seorang perempuan yang lebih mementingkan logika, kadang berpikiran seperti pria, dan terkadang lebih keras dari pada pria, telah bermetamorfosis menjadi wanita seutuhnya.
Andrea tertawa. Walau bagaimanapun juga Ren adalah perempuan. Dia bisa bingung. Dia bisa tidak tahu keinginannya seperti waktu itu. Akhirnya dia mengambil langkah ekstrim. Ia mencegat Sherly karena ia tahu kalau Ren dan Sherly teman dekat.
“Bisa bicara sebentar?” tanyanya pada saat menemukan Sherly sedang duduk sendirian menunggu Neno di lorong jurusan.
“Ya, Pak?” Sherly kaget karena tiba-tiba ia melihat satu sosok yang berbeda di diri dosen itu.
Andrea terlihat sangat serius sekarang. Dengan anggukannya ia mengajak Sherly masuk ke dalam ruang dosen yang sepi. Mereka duduk berhadapan. Sherly gugup.
“Saya nggak lihat Ren akhir-akhir ini. Kamu tahu dia kemana?” tanya Andrea langsung pada maksud dan tujuannya.
Sherly kaget, tidak tahu harus jawab apa. Dua hari Ren pergi, tapi dua hari itu juga ia sama sekali tidak mendapat kabar seperti yang dijanjikan. Ia juga kuatir karena takut Ren berbuat gila. Apalagi sekarang dia berada dalam kondisi yang tidak stabil.
“Maaf, Pak,” Sherly mencoba menjelaskan, “Sebenarnya saya juga nggak tahu dia kemana. Dua hari lalu dia memang pergi. Dia bilang dia akan sms kalau sudah sampai, tapi sampai sekarang dia masih belum sms.”
Andrea menatap matanya untuk menilai apa gadis itu bohong atau tidak. Tapi ia tidak melihat kebohongan itu di sana. Sherly jujur apa adanya.
“Dia nggak bilang pergi kemana?” tanya Andrea lagi.
Sherly menggeleng dan jawaban itu membuat pria itu memejamkan matanya.
“Oke. Makasih,” kata Andrea akhirnya.
Sherly menundukkan pandangannya seperti mempertimbangkan sesuatu. Lalu akhirnya dia berkata, “Kalau ada kabar darinya, Bapak akan saya beritahu.”
Andrea tersenyum, “Makasih,” katanya sebelum akhirnya menambahkan, “Saya mengandalkanmu.”

You Might Also Like

0 comments: