Song of Aria #16 - Rain
Song of Aria mengalun di ruang
kamarnya yang diterangi cahaya mentari pagi. Ia berbaring dan menatap
langit-langit kamarnya tanpa ekspresi. Ia tidak bisa mengabaikan musik itu
sekalipun ia ingin merusaknya, atau menghapusnya. Tidak bisa. Dengan musik itu
mengalun di kamarnya, ia merasa seolah gadis itu ada di sana dan memainkannya.
Apa yang dia
lakukan padaku?
Ia bertanya dan merasakan perasaan aneh yang timbul dalam
hatinya. Ia tidak pernah merasa setertarik itu dengan seorang wanita. Ia bisa
mendapatkan mereka di mana-mana. Hanya saja gadis ini berbeda. Tapi di mana
letak bedanya? Apa yang membuatnya tertarik? Kenapa dia menjadi bagian penting
dalam hidupnya?
Itu pertanyaan yang aneh dan sama sekali tidak
dimengertinya.
Ia bukanlah lelaki yang melankolis. Tapi Aira berhasil
menjungkir balikkan hidupnya sehingga ia
dicap sebagai orang aneh dimata orang yang mengenalnya. Tragis memang.
Hanya saja hatinya berteriak dan ia merasa tidak sempurna lagi sejak
kepergiannya.
Ia pernah merasakan
rasa kacau di dalam hidupnya. Tepatnya saat ia berumur enam tahun. Ia masih
ingat malam terakhirnya bersama seseorang yang paling penting di dalam hidupnya
dan akan terus selalu penting di dalam hidupnya, Ibunya. Musim dingin di
Spanyol adalah liburan terakhirnya bersama Ibunya sebelum akhirnya pertengkaran
terhebat terjadi di luar kamar tidurnya.
Erland kecil tidak mengerti tentang masalah yang diributkan
itu. Hanya saja ia takut untuk keluar dan takut berada diantara Ayah dan Ibunya
yang sedang berteriak dan histeris di luar sana. Ia menggigil dan memilih untuk
bersembunyi di balik selimut dan berusaha tertidur sambil meyakinkan bahwa ini
hanyalah mimpi. Namun paginya ia mendapati dirinya sendirian terjaga di dalam
pesawat yang membawanya kembali pulang ke rumah.
“Ibu! Kau di mana? Ibu!” ia berteriak mencari ibunya sambil
berlari mengelilingi rumah. Erland mencari Ibunya itu. Ia meronta, menangis,
dan meraung meminta Ibunya kembali.
“Diam, Erland! Dia
takkan kembali!” kata Ayahnya dingin.
“Pembohong!
Kembalikan dia!” rontanya. Ia meminta dan memohon dengan sangat. Sehingga
Ayahnya berteriak dan membentaknya.
“Orang yang telah
meninggalkanmu takkan mau kembali padamu! Ingat itu, Erland!”
Kata-kata itu terpatri dalam ingatan Erland saat itu. Hanya
saja ia tidak mempercayainya. Erland tetap berharap kalau Ibunya akan kembali
membawanya pergi. Dan harapannya datang dalam bentuk yang lain. Sepucuk surat rahasia datang
padanya dua bulan setelah kejadian itu.
Ibunya akan menjemputnya!
Erland kecil percaya itu dan sangat menanti-nantikannya. Ia
berusaha menjadi anak yang baik di depan Ayahnya. Diam-diam ia juga sudah
mengepak barang-barangnya ke dalam tasnya agar ia bisa langsung berangkat saat
Ibunya datang. Ia sudah tidak sabar menantikan kedatangan Ibunya.
Setahun telah berlalu hingga ia akhirnya melewati usia tujuh
tahunnya. Dua tahun telah berlalu hingga ia melewati usia delapan tahunnya.
Ia juga sudah dua kali membongkar tasnya itu dan
menjejalinya dengan baju-baju barunya karena pertumbuhannya yang terbilang agak
cepat. Mungkin karena dia suka belari dan melompat. Namun, setelah hampir
memasuki tahun ketiga, ia tidak lagi mengharapkan hal itu. Erland telah
mengubah semuanya. Ia tidak percaya dengan surat Ibunya itu
“Pembohong!”
Ia teringat kata-kata ayahnya malam itu.
Ia tidak lagi menyentuh tas itu. Ia merasa menyerah dan
sudah cukup untuk semua ini. Ia lelah. Dan ia mulai melakukannya. Ia lebih
senang berdiri di depan ring tinju dan berjalan-jalan sendirian dan terkadang
menantang bahaya. Kemudian ia pun mulai memanggil Ibunya dengan istilah ‘Orang
Itu’.
Ia pernah tidak pulang ke rumah dan masuk ke kawasan liar di
pinggir kota London. Erland bertahan di sana dan mengganti namanya menjadi Atkins.
Umur dua belas tahun ia sudah menjadi anggota resmi geng jalanan kota London
dan pernah bebas bersyarat karena hampir membunuh orang diusianya yang ketiga
belas tahun. Erland bertahan dengan kebrutalannya meskipun dalam hatinya ia
masih sedikit berharap agar Ibunya kembali datang menjemputnya dan
menyelamatkannya dari rasa bosannya.
Ia dipanggil Devil –
Iblis – oleh teman, musuh, dan keluarganya. Sekalipun umurnya masih terlalu
muda saat itu. Erland terlalu sibuk untuk mempedulikan status barunya. Setelah
ia ditarik pulang ke rumah, ia langsung dididik habis-habisan.
“Kau tahu? Sekarang kau harus mengejar ketertinggalanmu. Kau
harus belajar dan harus masuk ke sekolah dan universitas ternama,” Ayahnya
mengultimatumnya dengan kasar.
“Tidak mau.”
“Erland Avendale. Kau itu anakku. Kau punya darah Avendale
dalam tubuhmu. Aku tidak ingin melihat satu orang keluarga Avendale tidak
berpendidikan tinggi gara-gara watakmu!”
Erland diam sekarang. Ia tetap saja tidak bisa melawan
ayahnya.
“Aku takkan membiarkanmu main-main lagi. Kau akan tetap di
sini dan nanti harus ke Amerika untuk melanjutkan sekolah,” ia memegang bahu
anaknya sekarang. “Sudah cukup untuk main-mainnya. Paham?”
0 comments: