Song of Aria #16 - Rain

10:29 PM fe 0 Comments



Song of Aria mengalun di ruang kamarnya yang diterangi cahaya mentari pagi. Ia berbaring dan menatap langit-langit kamarnya tanpa ekspresi. Ia tidak bisa mengabaikan musik itu sekalipun ia ingin merusaknya, atau menghapusnya. Tidak bisa. Dengan musik itu mengalun di kamarnya, ia merasa seolah gadis itu ada di sana dan memainkannya.
Apa yang dia lakukan padaku?
Ia bertanya dan merasakan perasaan aneh yang timbul dalam hatinya. Ia tidak pernah merasa setertarik itu dengan seorang wanita. Ia bisa mendapatkan mereka di mana-mana. Hanya saja gadis ini berbeda. Tapi di mana letak bedanya? Apa yang membuatnya tertarik? Kenapa dia menjadi bagian penting dalam hidupnya?

Itu pertanyaan yang aneh dan sama sekali tidak dimengertinya.
Ia bukanlah lelaki yang melankolis. Tapi Aira berhasil menjungkir balikkan hidupnya sehingga ia  dicap sebagai orang aneh dimata orang yang mengenalnya. Tragis memang. Hanya saja hatinya berteriak dan ia merasa tidak sempurna lagi sejak kepergiannya.
   Ia pernah merasakan rasa kacau di dalam hidupnya. Tepatnya saat ia berumur enam tahun. Ia masih ingat malam terakhirnya bersama seseorang yang paling penting di dalam hidupnya dan akan terus selalu penting di dalam hidupnya, Ibunya. Musim dingin di Spanyol adalah liburan terakhirnya bersama Ibunya sebelum akhirnya pertengkaran terhebat terjadi di luar kamar tidurnya.
Erland kecil tidak mengerti tentang masalah yang diributkan itu. Hanya saja ia takut untuk keluar dan takut berada diantara Ayah dan Ibunya yang sedang berteriak dan histeris di luar sana. Ia menggigil dan memilih untuk bersembunyi di balik selimut dan berusaha tertidur sambil meyakinkan bahwa ini hanyalah mimpi. Namun paginya ia mendapati dirinya sendirian terjaga di dalam pesawat yang membawanya kembali pulang ke rumah.
“Ibu! Kau di mana? Ibu!” ia berteriak mencari ibunya sambil berlari mengelilingi rumah. Erland mencari Ibunya itu. Ia meronta, menangis, dan meraung meminta Ibunya kembali.
   “Diam, Erland! Dia takkan kembali!” kata Ayahnya dingin.
   “Pembohong! Kembalikan dia!” rontanya. Ia meminta dan memohon dengan sangat. Sehingga Ayahnya berteriak dan membentaknya.
   “Orang yang telah meninggalkanmu takkan mau kembali padamu! Ingat itu, Erland!”
Kata-kata itu terpatri dalam ingatan Erland saat itu. Hanya saja ia tidak mempercayainya. Erland tetap berharap kalau Ibunya akan kembali membawanya pergi. Dan harapannya datang dalam bentuk yang lain. Sepucuk surat rahasia datang padanya dua bulan setelah kejadian itu.
Ibunya akan menjemputnya!
Erland kecil percaya itu dan sangat menanti-nantikannya. Ia berusaha menjadi anak yang baik di depan Ayahnya. Diam-diam ia juga sudah mengepak barang-barangnya ke dalam tasnya agar ia bisa langsung berangkat saat Ibunya datang. Ia sudah tidak sabar menantikan kedatangan Ibunya.
Setahun telah berlalu hingga ia akhirnya melewati usia tujuh tahunnya. Dua tahun telah berlalu hingga ia melewati usia delapan tahunnya.
Ia juga sudah dua kali membongkar tasnya itu dan menjejalinya dengan baju-baju barunya karena pertumbuhannya yang terbilang agak cepat. Mungkin karena dia suka belari dan melompat. Namun, setelah hampir memasuki tahun ketiga, ia tidak lagi mengharapkan hal itu. Erland telah mengubah semuanya. Ia tidak percaya dengan surat Ibunya itu
“Pembohong!”
Ia teringat kata-kata ayahnya malam itu.
Ia tidak lagi menyentuh tas itu. Ia merasa menyerah dan sudah cukup untuk semua ini. Ia lelah. Dan ia mulai melakukannya. Ia lebih senang berdiri di depan ring tinju dan berjalan-jalan sendirian dan terkadang menantang bahaya. Kemudian ia pun mulai memanggil Ibunya dengan istilah ‘Orang Itu’. 
Ia pernah tidak pulang ke rumah dan masuk ke kawasan liar di pinggir kota London. Erland bertahan di sana dan mengganti namanya menjadi Atkins. Umur dua belas tahun ia sudah menjadi anggota resmi geng jalanan kota London dan pernah bebas bersyarat karena hampir membunuh orang diusianya yang ketiga belas tahun. Erland bertahan dengan kebrutalannya meskipun dalam hatinya ia masih sedikit berharap agar Ibunya kembali datang menjemputnya dan menyelamatkannya dari rasa bosannya.
Ia dipanggil Devil – Iblis – oleh teman, musuh, dan keluarganya. Sekalipun umurnya masih terlalu muda saat itu. Erland terlalu sibuk untuk mempedulikan status barunya. Setelah ia ditarik pulang ke rumah, ia langsung dididik habis-habisan.
“Kau tahu? Sekarang kau harus mengejar ketertinggalanmu. Kau harus belajar dan harus masuk ke sekolah dan universitas ternama,” Ayahnya mengultimatumnya dengan kasar.
“Tidak mau.”
“Erland Avendale. Kau itu anakku. Kau punya darah Avendale dalam tubuhmu. Aku tidak ingin melihat satu orang keluarga Avendale tidak berpendidikan tinggi gara-gara watakmu!”
Erland diam sekarang. Ia tetap saja tidak bisa melawan ayahnya.
“Aku takkan membiarkanmu main-main lagi. Kau akan tetap di sini dan nanti harus ke Amerika untuk melanjutkan sekolah,” ia memegang bahu anaknya sekarang. “Sudah cukup untuk main-mainnya. Paham?”

You Might Also Like

0 comments: