Song of Aria #10 - Rain

10:23 PM fe 0 Comments


           Erland sedang berbaring di tempat tidurnya setelah mengantar keluarganya kembali ke hotel. Ia teringat pada percakapannya dan Nana sore tadi setelah mereka dan Aira berpisah.
“Kau akan melakukannya?” tanya Erland tak percaya.
“Aku kenal dia,” Nana tertawa. “Akan kulakukan apapun agar kamu nggak mengganggunya lagi. Jadi, bilang saja.”
Menarik. Ia sangat tertarik dengan permainan musik gadis itu sejak berada di restoran dan ia menceritakan itu pada Nana.
“Kalau begitu kau hanya ingin musiknya?” tanya Nana padanya.
“Ya.”

“Baiklah. Apa kau mau lagu yang dimainkannya itu?”
Erland tertawa, “Yah…”
Nana tahu maksudnya. “Akan kuberikan lagu istimewa untukmu.”
“Apa?”
“Lihat saja. Besok kau akan mendapatkannya. Dan setelah itu… Jangan minta apapun lagi darinya,” tegasnya. “Lagi pula kalau kau bilang dari awal kalau kau ingin musiknya, kenapa memaksnya untuk kerja di tempatmu?”
Erland diam sebelum akhirnya tertawa pelan. Ia takkan menjelaskan alsan dan pikirannya pada gadis itu. Bagaimana ia akan menjelaskannya kalau ia sendiri juga tidak tahu? Yang ada dalam pikirannya adalah ia ingin melihat gadis itu dari dekat, di sampingnya. Dan pada saat pertukaran ini diajukan temannya itu, ia merasa tidak punya alasan lain selain alasan yang satu itu. Musik. Ia memang menginginkan musiknya sejelas itu. Hanya saja ia tetap tak bisa memahami gagasan kenapa ia ingin gadis itu ada di sekitarnya.
“Kau harus jelaskan padaku masalah itu? Memangnya dia siapa?” Erland memutar topik mereka.
“Orang aneh.”
“Ck!”
Karena Nana telah berjanji padanya, maka ia akan memenuhi janjinya… semampunya. Tapi gadis aneh itu telah membuatnya penasaran.


“Kau tidak tidur?” tanya Nana esoknya saat melihat wajah temannya itu yang lelah.
“Kau membuatku mati penasaran.”
Nana sedang berada di dalam apartemen studio miliknya. Ia merasa berada di apartemen mewah padahal sejatinya ia masih berada di restoran. Pemiliknya benar-benar tahu cara mengubah suasana antar ruangan. Dengan perpaduan warna silver dan hitam yang memikat, tempat ini terkesan hidup dan nyaman.
“Copy saja dari sini,” Nana memberikan Mp4 nya pada Erland.
Sambil meng-copy rekaman dengan format digital itu di laptopnya. Ia terkejut membaca judulnya. Jantungnya berdetak tak teratur.
“Kenapa?” tanya Nana heran melihat reaksi temannya itu.
“Apa itu Song of Aria?” Erland bertanya dengan nada tenang. Ia hampir saja lepas kendali.
Nana tertawa. “Itu musik ciptaannya sendiri.”
“Dia bisa melakukannya?”
“Tentu saja,” kata Nana. “Dia sangat berbakat untuk hal yang satu ini.”
“Lalu, apa artinya?”
“Dia bilang kalau lagu ini untuk seorang pahlawan Dartmoor, Aria.”
“Mana ada nama Aria di sana. Itu terkesan sangat Asia…,” komentar Erland.
“Yah… Begitulah. Tapi kau tidak bisa memprotes apapun karena dia yang menciptakan orangnya.”
“Apa?”
“Dalam pikirannya, sayang,” dengan tabah Nana mengatakannya. “Itu hanya tokoh karangannya saja.”
Erland mengangguk dan mengembalikan alat itu pada Nana. “Lalu, siapa itu Aria?”
Nana mengangkat bahunya, “Tidak tahu. Dia tak menceritakannya. Lebih tepatnya tidak mau.”
Erland tertawa, “Aneh sekali. Apa dia pikir orang itu sangat tampan dan hanya dia yang punya.”
“Oh ya. Tentu saja,” Nana membela temannya. “Beberapa tahun lalu ia berkata kalau Aria adalah malaikat tampan sekaligus iblis menyeramkan. Nah, bagaimana menurutmu?”
“Malaikat bersayap hitam? Begitu?”
“Dia hanya menggambarkan seseorang dari pikirannya sendiri dan lagu ini adalah ringkasan semua ceritanya.”
“Oh, ayolah. Kau tak bisa menggali apa-apa lagi tentang cerita lagu ini?”
“Dengarkan saja musiknya,” gadis itu tersenyum saat melodi lagu itu bergema di telinganya. “Aku pergi dulu.”
Erland mengantarnya ke pintu dan sebelum pergi ia berkata, “Jangan lupa telepon aku dan beri komentar. Satu lagi, ingat janjimu,” katanya mengingatkan.
“Terserah kau saja.”
Lalu dia berjalan pergi.

You Might Also Like

0 comments: