Song of Aria #10 - Rain
Erland sedang berbaring di tempat tidurnya setelah mengantar keluarganya kembali ke hotel. Ia teringat pada percakapannya dan Nana sore tadi setelah mereka dan Aira berpisah.
“Kau akan melakukannya?” tanya Erland tak percaya.
“Aku kenal dia,” Nana tertawa. “Akan kulakukan apapun agar
kamu nggak mengganggunya lagi. Jadi, bilang saja.”
Menarik. Ia sangat tertarik dengan permainan musik gadis itu
sejak berada di restoran dan ia menceritakan itu pada Nana.
“Kalau begitu kau hanya ingin musiknya?” tanya Nana padanya.
“Ya.”
“Baiklah. Apa kau mau lagu yang dimainkannya itu?”
Erland tertawa, “Yah…”
Nana tahu maksudnya. “Akan kuberikan lagu istimewa untukmu.”
“Apa?”
“Lihat saja. Besok kau akan mendapatkannya. Dan setelah itu…
Jangan minta apapun lagi darinya,” tegasnya. “Lagi pula kalau kau bilang dari
awal kalau kau ingin musiknya, kenapa memaksnya untuk kerja di tempatmu?”
Erland diam sebelum akhirnya tertawa pelan. Ia takkan
menjelaskan alsan dan pikirannya pada gadis itu. Bagaimana ia akan
menjelaskannya kalau ia sendiri juga tidak tahu? Yang ada dalam pikirannya
adalah ia ingin melihat gadis itu dari dekat, di sampingnya. Dan pada saat
pertukaran ini diajukan temannya itu, ia merasa tidak punya alasan lain selain
alasan yang satu itu. Musik. Ia memang menginginkan musiknya sejelas itu. Hanya
saja ia tetap tak bisa memahami gagasan kenapa ia ingin gadis itu ada di
sekitarnya.
“Kau harus jelaskan padaku masalah itu? Memangnya dia
siapa?” Erland memutar topik mereka.
“Orang aneh.”
“Ck!”
Karena Nana telah berjanji padanya, maka ia akan memenuhi
janjinya… semampunya. Tapi gadis aneh itu telah membuatnya penasaran.
“Kau tidak tidur?” tanya Nana esoknya saat melihat wajah
temannya itu yang lelah.
“Kau membuatku mati penasaran.”
Nana sedang berada di dalam apartemen studio miliknya. Ia
merasa berada di apartemen mewah padahal sejatinya ia masih berada di restoran.
Pemiliknya benar-benar tahu cara mengubah suasana antar ruangan. Dengan
perpaduan warna silver dan hitam yang memikat, tempat ini terkesan hidup dan
nyaman.
“Copy saja dari sini,” Nana memberikan Mp4 nya pada Erland.
Sambil meng-copy rekaman dengan format digital itu di
laptopnya. Ia terkejut membaca judulnya. Jantungnya berdetak tak teratur.
“Kenapa?” tanya Nana heran melihat reaksi temannya itu.
“Apa itu Song of
Aria?” Erland bertanya dengan nada tenang. Ia hampir saja lepas kendali.
Nana tertawa. “Itu musik ciptaannya sendiri.”
“Dia bisa melakukannya?”
“Tentu saja,” kata Nana. “Dia sangat berbakat untuk hal yang
satu ini.”
“Lalu, apa artinya?”
“Dia bilang kalau lagu ini untuk seorang pahlawan Dartmoor, Aria.”
“Mana ada nama Aria di sana.
Itu terkesan sangat Asia…,” komentar Erland.
“Yah… Begitulah. Tapi kau tidak bisa memprotes apapun karena
dia yang menciptakan orangnya.”
“Apa?”
“Dalam pikirannya, sayang,” dengan tabah Nana mengatakannya.
“Itu hanya tokoh karangannya saja.”
Erland mengangguk dan mengembalikan alat itu pada Nana.
“Lalu, siapa itu Aria?”
Nana mengangkat bahunya, “Tidak tahu. Dia tak
menceritakannya. Lebih tepatnya tidak mau.”
Erland tertawa, “Aneh sekali. Apa dia pikir orang itu sangat
tampan dan hanya dia yang punya.”
“Oh ya. Tentu saja,” Nana membela temannya. “Beberapa tahun
lalu ia berkata kalau Aria adalah malaikat tampan sekaligus iblis menyeramkan.
Nah, bagaimana menurutmu?”
“Malaikat bersayap hitam? Begitu?”
“Dia hanya menggambarkan seseorang dari pikirannya sendiri
dan lagu ini adalah ringkasan semua ceritanya.”
“Oh, ayolah. Kau tak bisa menggali apa-apa lagi tentang cerita
lagu ini?”
“Dengarkan saja musiknya,” gadis itu tersenyum saat melodi
lagu itu bergema di telinganya. “Aku pergi dulu.”
Erland mengantarnya ke pintu dan sebelum pergi ia berkata,
“Jangan lupa telepon aku dan beri komentar. Satu lagi, ingat janjimu,” katanya
mengingatkan.
“Terserah kau saja.”
Lalu dia berjalan pergi.
0 comments: