The Moon and The Sun #9 - Rain
9
Aku masih mencengkram
erat selimutku saat bel apartemenku berbunyi. Jam berapa sekarang? Aku tidak
sempat melihatnya karena buru-buru bangun untuk membuka pintu. Saking
buru-burunya kakiku terlilit selimutku sendiri dan aku hampir jatuh ke lantai.
“Tunggu!” teriakku
dari dalam kamar sementara bel berbunyi terus dengan nada tidak sabar.
Aku tertatih
meninggalkan kamar sambil tetap membawa selimut yang membalut tubuhku agar
tetap hangat. Dengan rambut acak-acakan, wajah kusam, dan mata masih setengah
mengantuk, aku membuka pintu depan.
“Pagi!” sapa Gates
dengan wajah lucu karena sangat ingin tertawa. Sayangnya dia tidak berhasil
menahannya sehingga ia terbahak seperti orang gila.
Aku tersadar
sekarang dan dengan cepat membanting pintu di depan hidungnya!
Sial! Ini di luar
prediksi. Kenapa aku tidak melihat penampilanku dulu? Dan kenapa dia bisa
sesempurna itu di jam sepagi ini?
Aku sangat malu.
Bel berbunyi lagi
dengan nada tidak sabar karena sang tamu menekannya dengan cepat berkali-kali.
“Aku tahu itu kau,
Gates!’ teriakku sambil menyisir rambutku dengan tangan. Jujur. Aku sangat
risih. “Jadi hentikan itu!”
“Kalau begitu buka
pintunya.” Teriaknya dari balik pintu. “Atau aku pergi sekarang.”
Ancaman bagus. Aku
segera menutup kepalaku dengan selimut lalu membuka pintu dengan wajah
cemberut.
Gates masih di sana , sedang berdiri
santai dengan senyum mengembang. Ia melihatku sambil menahan tawa.
“Ok, masuk sekarang
dan biarkan aku ganti baju.” Kataku sambil meninggalkan pintu.
Ia masuk dan
menutup pintu itu sementara aku dengan langkah cepat kembali ke kamar,
membanting pintu, dan langsung ganti baju.
“Tak kusangka kau
masih tidur di jam segini,” teriak Gates dari ruang tamu.
Aku mendongakkan
kepala dan melihat jam dinding. Sudah jam sembilan dan aku telat! Pantas saja…
“Yah, banyak yang
kupikirkan.” Balasku sambil mengganti baju dengan kaos lengan panjang dan
memakai celana jeans tebal warna hitam.
“Aaa… Kau dapat
inspirasi?”
“Tidak.” Aku
menyisir rambutku dan mengikatnya dengan gaya
santai. “Maksudku belum.” Koreksiku cepat.
Tidak ada balasan
lagi darinya dan aku bertanya-tanya sedang apa dia sekarang. Sambil berlari ke
kamar mandi untuk gosok gigi kilat aku mencoba mempertajam pendengaranku. Tapi
dia tetap tidak bersuara. Setelah gosok gigi dan cuci muka, aku segera keluar
dan melihat Gates sedang duduk bersandar sambil memejamkan matanya.
Ia terlihat damai
dan sempurna. Garis wajahnya terlihat tegas dan ia sangat manis. Jantungku
berdebar-debar saat aku mendekatinya. Bibirnya mengulaskan senyum samar yang
indah dan aku bertanya-tanya bagaimana rasanya jika ia menciumku…
“Jadi?”
Aku terlonjak
kaget.
“Kenapa?” tanyanya dengan
wajah bertanya saat melihatku terkesiap.
“Kupikir kau
tidur.” Jawabku terbata-bata.
Ia tersenyum. “Aku
hanya memberimu waktu.”
Aku beranjak ke
dapur sambil menganggukkan kepala. “Well, mau kopi?” tawarku.
“Tidak. Terima
kasih.”
Karena dia tidak
mau kopi, jadi aku memutuskan untuk membuat teh saja. Sambil menyeduh teh aku
bertanya, “nah, apa yang akan kau lakukan hari ini?”
Ia berpikir sejenak
lalu mengurutkan daftarnya, “pertama aku harus bangun lalu sarapan…”
“Bukan itu.”
Potongku cepat.
Ia tertawa. “Tapi
memang itu yang kulakukan. Aku juga menelepon Rev dan bicara tentang musik. Ada beberapa jadwal on air
dan off air yang mesti kami datangi.” Katanya.
“Rev juga ikut?”
tanyaku langsung tanpa pikir panjang. Tapi melihat dia menaikkan sebelah
alisnya, aku buru-buru menjelaskan. “Yah, maksudku… dia pasti ikut ya…” aku
hampir salah tingkah dan dengan cepat meminum teh ku yang masih panas. “Oww!”
aku meringis.
“Tidak. Dia itu
komposer.” Jawabnya sambil membuat dirinya nyaman di sofa.
“Oh ya?” dan kenapa
aku harus memakai nada bertanya itu? Aku merasa pagiku sangat kacau dan
membingungkan.
Gates tertawa.
“Yah, begitulah. Dia bisa memainkan banyak alat. Bisa dibilang dia bisa
memainkan apapun.”
“Kudengar dia
dokter.” Aku mengingat percakapanku dengan Joe.
“Memang. Tapi dia
lebih senang menekuni bidang ini. Dia itu komposer handal dengan gaji tinggi.
Kau bisa sejahtera bersamanya.” Godanya.
“Sayangnya aku
tidak tertarik.” Akuku sambil menggigit sepotong roti cokelat. “Kau mau?”
tawarku.
Ia menggelengkan
kepalanya, “tidak, terimakasih. Nah, apa yang akan kau lakukan hari ini?”
Aku diam sejenak
sambil berpikir lalu tidak menemukan jawabannya. Sambil menggeleng aku berkata,
“tidur kurasa.”
“Kau harus kurangi
kebiasaan itu.” Sarannya.
Aku tersenyum penuh
arti dan duduk di depannya. “Well, apa kau punya saran?”
0 comments: