The Moon and The Sun #9 - Rain

9:57 PM fe 0 Comments

9
Aku masih mencengkram erat selimutku saat bel apartemenku berbunyi. Jam berapa sekarang? Aku tidak sempat melihatnya karena buru-buru bangun untuk membuka pintu. Saking buru-burunya kakiku terlilit selimutku sendiri dan aku hampir jatuh ke lantai.

“Tunggu!” teriakku dari dalam kamar sementara bel berbunyi terus dengan nada tidak sabar.

Aku tertatih meninggalkan kamar sambil tetap membawa selimut yang membalut tubuhku agar tetap hangat. Dengan rambut acak-acakan, wajah kusam, dan mata masih setengah mengantuk, aku membuka pintu depan.

“Pagi!” sapa Gates dengan wajah lucu karena sangat ingin tertawa. Sayangnya dia tidak berhasil menahannya sehingga ia terbahak seperti orang gila.


Aku tersadar sekarang dan dengan cepat membanting pintu di depan hidungnya!

Sial! Ini di luar prediksi. Kenapa aku tidak melihat penampilanku dulu? Dan kenapa dia bisa sesempurna itu di jam sepagi ini?

Aku sangat malu.

Bel berbunyi lagi dengan nada tidak sabar karena sang tamu menekannya dengan cepat berkali-kali.

“Aku tahu itu kau, Gates!’ teriakku sambil menyisir rambutku dengan tangan. Jujur. Aku sangat risih. “Jadi hentikan itu!”

“Kalau begitu buka pintunya.” Teriaknya dari balik pintu. “Atau aku pergi sekarang.”

Ancaman bagus. Aku segera menutup kepalaku dengan selimut lalu membuka pintu dengan wajah cemberut.

Gates masih di sana, sedang berdiri santai dengan senyum mengembang. Ia melihatku sambil menahan tawa.

“Ok, masuk sekarang dan biarkan aku ganti baju.” Kataku sambil meninggalkan pintu.

Ia masuk dan menutup pintu itu sementara aku dengan langkah cepat kembali ke kamar, membanting pintu, dan langsung ganti baju.

“Tak kusangka kau masih tidur di jam segini,” teriak Gates dari ruang tamu.

Aku mendongakkan kepala dan melihat jam dinding. Sudah jam sembilan dan aku telat! Pantas saja…

“Yah, banyak yang kupikirkan.” Balasku sambil mengganti baju dengan kaos lengan panjang dan memakai celana jeans tebal warna hitam.

“Aaa… Kau dapat inspirasi?”

“Tidak.” Aku menyisir rambutku dan mengikatnya dengan gaya santai. “Maksudku belum.” Koreksiku cepat.

Tidak ada balasan lagi darinya dan aku bertanya-tanya sedang apa dia sekarang. Sambil berlari ke kamar mandi untuk gosok gigi kilat aku mencoba mempertajam pendengaranku. Tapi dia tetap tidak bersuara. Setelah gosok gigi dan cuci muka, aku segera keluar dan melihat Gates sedang duduk bersandar sambil memejamkan matanya.

Ia terlihat damai dan sempurna. Garis wajahnya terlihat tegas dan ia sangat manis. Jantungku berdebar-debar saat aku mendekatinya. Bibirnya mengulaskan senyum samar yang indah dan aku bertanya-tanya bagaimana rasanya jika ia menciumku…

“Jadi?”

Aku terlonjak kaget.

“Kenapa?” tanyanya dengan wajah bertanya saat melihatku terkesiap.

“Kupikir kau tidur.” Jawabku terbata-bata.

Ia tersenyum. “Aku hanya memberimu waktu.”

Aku beranjak ke dapur sambil menganggukkan kepala. “Well, mau kopi?” tawarku.

“Tidak. Terima kasih.”

Karena dia tidak mau kopi, jadi aku memutuskan untuk membuat teh saja. Sambil menyeduh teh aku bertanya, “nah, apa yang akan kau lakukan hari ini?”

Ia berpikir sejenak lalu mengurutkan daftarnya, “pertama aku harus bangun lalu sarapan…”

“Bukan itu.” Potongku cepat.

Ia tertawa. “Tapi memang itu yang kulakukan. Aku juga menelepon Rev dan bicara tentang musik. Ada beberapa jadwal on air dan off air yang mesti kami datangi.” Katanya.

“Rev juga ikut?” tanyaku langsung tanpa pikir panjang. Tapi melihat dia menaikkan sebelah alisnya, aku buru-buru menjelaskan. “Yah, maksudku… dia pasti ikut ya…” aku hampir salah tingkah dan dengan cepat meminum teh ku yang masih panas. “Oww!” aku meringis.

“Tidak. Dia itu komposer.” Jawabnya sambil membuat dirinya nyaman di sofa.

“Oh ya?” dan kenapa aku harus memakai nada bertanya itu? Aku merasa pagiku sangat kacau dan membingungkan.

Gates tertawa. “Yah, begitulah. Dia bisa memainkan banyak alat. Bisa dibilang dia bisa memainkan apapun.”

“Kudengar dia dokter.” Aku mengingat percakapanku dengan Joe.

“Memang. Tapi dia lebih senang menekuni bidang ini. Dia itu komposer handal dengan gaji tinggi. Kau bisa sejahtera bersamanya.” Godanya.

“Sayangnya aku tidak tertarik.” Akuku sambil menggigit sepotong roti cokelat. “Kau mau?” tawarku.

Ia menggelengkan kepalanya, “tidak, terimakasih. Nah, apa yang akan kau lakukan hari ini?”

Aku diam sejenak sambil berpikir lalu tidak menemukan jawabannya. Sambil menggeleng aku berkata, “tidur kurasa.”

“Kau harus kurangi kebiasaan itu.” Sarannya.


Aku tersenyum penuh arti dan duduk di depannya. “Well, apa kau punya saran?”

You Might Also Like

0 comments: