The Moon and The Sun #11 - Rain
11
Dari semua toko
yang suka kukunjungi, aku paling sering berdiam diri, mengamati, dan membeli
benda-benda yang ditawarkan di toko sepatu, toko olah raga, dan toko mainan. Kali
ini aku memasuki Kid Station dan
pelan-pelan mengelilingi semua rak yang ada di sana . Aku mungkin sudah terlalu tua untuk
membeli satu set drum untuk anak kecil, senjata perang bohongan, meja belajar
kecil, boneka Barbie yang fashionable – tapi dari dulu aku tidak begitu
berminat dengan boneka – kitchen set
untuk anak-anak atau mobil-mobilan kecil elektrik. Aku sudah terlalu tua untuk
menaiki benda itu.
Aku datang ke sini
hanya untuk memuaskan mata saja. Hari ini tempat ini terlihat begitu ramai.
Mungkin karena sebentar lagi Natal
akan datang. Mereka banyak memborong berbagai macam mainan. Aku menghitung
kalau dua minggu lagi perayaan itu akan datang. Pohon-pohon cantik dengan
gemerlap lampu-lampu dan hiasan-hiasan berkilau sudah dipajang di mana-mana.
Dua minggu
menjelang natal… tiga hari menjelang hari ulang tahunku yang kedua puluh enam.
Aku tersenyum getir. Rasanya terlalu cepat waktu berlalu. Rasanya baru kemarin
aku berusia enam tahun, sedang berjuang melawan sakit, dan akhirnya operasi. Rasanya
baru kemarin aku bertemu dengan Mr.Feagal dan memilih hadiah untuk Gates. Tapi
sekarang berbeda. Hari ini aku memang memilih hadiah untuknya, hanya saja
hadiah itu bukan untuknya tapi untuk orang lain.
Aku meraih satu
kotak kembang api yang ada di rak dan menimbang-nimbangnya dengan tangan.
Aku butuh
keajaiban.
Kemana saja aku dua
tahun terakhir itu? Aku masih rajin berharap tapi aku tidak mengatakannya juga
pada Gates. Hatiku tidak siap untuk membuat satu pengakuan dan aku merasa
sangat kesal karena tidak bisa melakukannya.
Aku beranjak ke
meja kasir dan mengantri lama. Setelah mendapat giliran dan membayar, aku
langsung menyibukkan diri di dalam toko sepatu untuk mencari inspirasi baru
atau duduk merenung sendirian sambil meminum kopi di café.
Aku benar-benar
membuang waktuku dengan memuaskan diri sendiri mengusir kegalauan agar saat
bertemu dia nanti aku bisa tersenyum seperti biasa. Rasa sakitnya masih terasa.
Aku membuka ipad ku
dan mengakses jaringan wifi yang tersedia di café itu. Sambil menyantap
sepotong cake dan secangkir kopi, aku
membuka twitter dan membaca berita singkat di sana . Aku berharap tidak ada gosip yang
timbul selama aku dan Gates berjalan-jalan di luar tadi. Setelah memastikan
itu, aku langsung membaca berita online di situs koran harian hingga
benar-benar tenggelam dalam berita yang kubaca.
Aku mencari banyak
info baru, terutama tentang astronomi, arkeologi, dan situs buku-buku ilmiah
maupun novel. Aku mencari referensi buku-buku dan beberapa novel yang bisa di
download. Tentu saja aku membuka blog fashion dan mencari data-data tentang desain
terbaru dan membaca pergerakan pasar. Aku menyimpan beberapa situs penting,
mencatat hal-hal penting, mendownload lagu-lagu lama dan terbaru yang kuingat
dan mencari info tentang band yang digawangi teman-teman baikku itu.
Raven adalah band
yang mereka bentuk sejak tujuh tahun lalu dan itu membuatku merasa sangat
terkejut. Mereka memiliki banyak penggemar di penjuru dunia, memiliki banyak
prestasi luar biasa, penjualan album pertama dan kedua yang fenomenal, dan
sangat digilai penggemar hard rock karena suara Flea yang khas. Lagu-lagu
mereka bukan hanya terdiri dari teriakan dan hentakan, tapi juga ada yang slow
dan mengandung musikalisasi yang indah. Tentu saja Raven berhasil melain
platinum dan pernah mengadakan konser besar-besaran. Kemana saja aku waktu itu?
Sebenarnya aku
tidak begitu tahu tentang masalah musik. Bagiku lagu-lagu zaman dulu lebih
abadi dari pada zaman sekarang. Aku memang suka membaca berita tapi bukan
berarti ada satu atau dua topik yang tidak kulewatkan. Aku lebih sering membaca
perkembangan perang, ilmu pengetahuan, dan kosmo.
Sambil terus
tenggelam dalam berita yang kubaca, ponselku berdering. Gates meneleponku pukul
setengah empat sore! Sudah berapa jam aku di sini? Seorang pelayan datang
padaku sambil membawakan muffin yang kupesan. Sambil mengucapkan terima kasih,
aku menekan tombol ponselku dan mengangkatnya.
“Halo?”
“Selene, kau di
mana?” tanya Gates langsung.
“Aku?” aku merasa
agak linglung dengan pertanyaan itu, seolah-olah dipaksa bangun dari tidur. “Ah
ya! Sedang minum kopi.”
“Di mana?”
“Di…” aku berusaha mengingat
nama tempat ini. “Ah, di Mufflin.”
“Kau masih di sana ? Selama ini?” ia
terkejut.
“Aku sedang
istirahat. Bagaimana pertemuannya?”
“Masih belum
selesai.”
Aku mengangguk.
“Kau sedang istirahat?” tanyaku lagi.
“Yah… Sebenarnya
aku sedang makan. Aku lapar. Kau sudah makan?”
Aku menatap muffin
ku. “Aku baru saja pesan kue lagi.”
“Kau harus makan.”
Aku tertawa.
“Tenang saja. Aku sudah banyak makan manis sekarang.”
“Perlu kujemput?
Kau bisa istirahat di sini.” Tawarnya. “Lagi pula Rev juga di sini. Kau bisa
ikut diskusi ini kalau mau.”
Aku langsung
tersentak begitu nama itu disebut. Pikiranku langsung melayang kekebohongan
yang ku katakan tadi. Aku berharap Gates tidak mengatakan apapun pada Rev
tentang masalah itu. Aku tidak buat janji apapun dengannya!!
“Aaa… Kupikir tidak
usah…” kataku. “Aku masih ingin di sini.” Aku meyakinkannya.
“Kau yakin?”
“Ya. Lagi pula
kalian sedang kerja dan aku sedang dapat ide baru.” Alasanku.
“Kalau begitu
baiklah. Sampai jumpa.”
“Ya. Sampai jumpa.”
Dan saat sambungan terputus, aku segera mengeluarkan napas lega.
Rasanya lelah
sekali berbohong seperti itu dan hari ini aku melakukannya berulang kali. Tapi
tetap saja aku tidak tenang. Aku merasa sangat bersalah karena melibatkan Rev
dalam masalah ini. Aku menghela napas lagi… Pada akhirnya aku harus menemuinya
dan minta maaf.
Sambil mengenyahkan
pikiran itu untuk sementara, aku memakan muffin yang sudah diantar pelayan dan
kembali berkonsentrasi dengan berita yang kubaca. Hanya saja konsentrasiku
tidak bisa kembali seperti semula. Aku menarik napas kesal sambil menghabiskan
makananku dan langsung pergi setelah membayar.
Aku berjalan tidak
tentu arah. Sekali aku berhenti hanya untuk duduk dan membuat badanku semakin
dingin. Lalu aku berjalan lagi dan masuk ke toko hanya untuk menghangatkan diri
sambil berpura-pura memilih baju, sepatu, atau aksesoris. Aku keluar lagi dan
masih mendapati langit mendung di depan sana .
Dan akhirnya aku bosan sampai tanpa sadar aku berada di depan sebuah toko musik
yang kukenal.
Sejak kapan aku
berada di sini?
Rupanya tadi aku berjalan
sambil melamunkan hal yang tak jelas dan sudah berjalan jauh dari pusat
perbelanjaan elit. Di depanku toko Mr.Feagal berdiri mewah dengan dekorasi
masih sama seperti dulu. Pintu kacanya dan kaca depannya masih bertuliskan nama
yang sama dengan nama pemiliknya. Pohon natal yang terpajang di dalamnya
membuat toko tua ini menjadi sangat hangat. Aku tersenyum dan memutuskan untuk
masuk.
Saat aku membuka
pintunya, aku tidak disambut oleh Mr.Feagal yang ramah dan baik hati seperti
biasa. Seorang gadis berambut pirang dengan wajah berbintik-bintik merah
tersenyum padaku.
“Selamat datang.”
Katanya senang dari balik meja kasir yang biasa ditempati Mr.Feagal.
Aku tidak melihat
mesin kasir tua lagi disitu. Mesin itu sudah diganti dengan komputer yang
bagus. Aku juga melihat toko ini sangat bersih dan rapi. Warna cokelat kayu
yang dicat ke dindingnya memberikan kesan hangat yang nyaman. Ala t-alat musik beraneka ragam terpajang
rapi di mana-mana.
Aku melangkah masuk
menghampiri gadis itu sambil memandang setiap detil pertokoan itu. Barang
dagangannya yang serba ada itu tetap saja tidak berubah.
“Hai.” Kataku saat
menghampirinya.
Ia menyambutku
dengan senyum menyenangkan. “Ada
yang bisa kubantu?”
Aku menatapnya
sebentar sambil berpikir. Gadis itu masih memberi senyum terbaiknya dengan
sikap siap membantu. “Apa Mr.Feagal ada?”
“Oh, tentu saja. Anda siapa ya?”
tanyanya.
“Aku –”
Belum sempat aku
menyelesaikan jawabannya, seseorang tiba-tiba membuka pintu dan berkata,
“Elise, apa kau sudah mendata semua barang yang masuk tadi?”
Aku melihat kearah
seorang pemuda yang datang sambil membawa dua kardus barang ukuran kecil di
tangannya dan meletakkannya di atas meja.
“Tentu saja.” Gadis
bernama Elise itu langsung mengambil kertas dari lacinya dan buru-buru
menyerahkannya pada pria itu. Pria itu menerimanya sambil membuka topinya.
“Thanks.” Katanya singkat.
Aku merasa kenal
dengan orang itu sekarang. Wajah persegi yang khas dengan hidung mancung yang
ujungnya sedikit bengkok tapi memiliki mata biru yang indah itu… “Mark?”
panggilku tak yakin.
Pria itu mengangkat
wajahnya dan menatapku lama. Ia mengerutkan keningnya dan tampak berpikir
keras.
“Kau Mark!” seruku
yakin dengan mata berbinar. “Kau ingat aku?”
“Ya. Tapi… Tunggu!”
ia sepertinya hampir mendapatkan jawabannya.
Aku menunggunya menerkaku.
“Selene!” serunya
tiba-tiba. “Kau Selene? Benar?” ia tersenyum.
Aku langsung
memeluknya dan tertawa. “Ternyata benar! Sudah lama sekali!”
Ia juga tertawa
senang. “Sial! Kemana saja kau?” tanyanya saat menatapku.
“Kan
sudah kubilang kalau aku di Indonesia .
Aku pindah ke sana .”
“Dan kau tak pernah
ke sini? Kejam sekali.”
Aku menggeleng.
“Sebenarnya aku punya waktu untuk liburan di sini… hanya saja aku belum sempat
ke sini lagi. Maaf…” kataku akhirnya minta maaf.
“Well… Kupikir kau
sudah lupa pada kami. Ayah sampai menanyakanmu berkali-kali. Dia merindukanmu.”
Katanya.
“Makanya aku di
sini. Mana dia?” tanyaku berharap.
Wajahnya tiba-tiba
menjadi muram dan dengan sebelah tangan ia menepuk bahuku pelan sambil berkata,
“dia sudah pergi.”
Senyumku langsung
memudar mendengar kalimat itu. Aku tahu apa maksudnya dan aku tidak suka
mendengarnya. Aku menundukkan kepalaku, berduka dengan caraku sendiri.
“Dia… Dia sudah…”
tiba-tiba aku tercekat.
“Well… Setiap orang
akan pergi jika memang sudah waktunya.” Katanya meyakinkan.
“Kapan?”
“Empat tahun lalu…”
jawabnya. “Aku ingin menghubungimu tapi aku tidak tahu caranya.”
Aku mengangguk
paham. Salahku juga tidak pernah pergi ke sini lagi walau aku bisa dikatakan
rutin liburan di sini. Tiba-tiba hari ini menjadi hari yang buruk. Rasa
bersalah banyak menghantamku dari berbagai sisi dan aku ingin menangis.
“Dia itu pria keras
kepala yang berumur panjang. Ayo masuk. Kita minum dulu.” Ia menuntunku masuk
ke dalam dan duduk di ruang kerja milik almarhum Mr.Feagal dulu. “Elise, tolong
buatkan teh hangat ya.”
“Dia pegawai baru?”
tanyaku setelah duduk dan merasa sedikit tenang.
“Kau tahu?”
“Dia sangat
bersemangat.” Kataku sambil tersenyum. “Rata-rata pegawai baru punya semangat
berlebih di hari kerja.”
Mark tertawa, “yah,
begitulah. Ia baru bekerja sebulan di sini. Hasil kerjanya sangat memuaskan.”
“Jadi sekarang kau
yang meneruskan pekerjaan ini?”
Ia mengangguk
sambil tersenyum. “Yah… Toko ini adalah cita-cita ayahku sendiri. Dia
memulainya dari sebuah gerobak dan lama-lama jadi sebesar ini. Itu… mmm…
Seperti mimpi, kan ?”
Aku mengakuinya.
“Dia benar-benar pekerja keras.” Aku mengakuinya. “Sepertinya aku harus
meninggalkan nomor kontakku di sini.”
“Tentu saja!”
serunya. “Nah, apa kau sekarang sedang liburan? Atau kau pindah ke sini lagi?”
Elise masuk dan
menghidangkan dua cangkir teh untuk kami. Setelah mengucapkan terima kasih aku
baru menjawab. “Sebenarnya aku sedang liburan. Gates meneleponku dan memintaku
datang. Dia butuh bantuan.”
“Gates? Oh!
Tetanggamu itu, kan ?”
“Ya.”
Ia menghela napas.
“Aku harap kau bisa kembali lebih cepat lagi. Lalu apa yang kau lakukan selama
di Indonesia?”
“Kau masih ingat
kalau aku tinggal di sana ?
Hebat!” aku takjub.
“Tentu saja. Kau
memberontak tidak ingin pindah ke sana
dan berkali-kali menyebut nama negaranya.” Ia tertawa mengingat kejadian itu.
“Apa tempat itu seburuk itu?”
Aku tertawa sambil
menyangkalnya, “sama sekali tidak. Di sana
sangat menarik dan menyenangkan. Ada
banyak pulau, banyak budaya, dan banyak ragam makanan. Kau juga bisa merasakan
nuansa yang berbeda saat pergi ke daerah baru.”
“Aku bisa
mempromosikan itu pada temanku,” ia mempertimbangkan.
“Awalnya aku sulit
beradaptasi di sana .
Mereka memakai bahasa yang berbeda dengan kita. Bahasa Indonesia itu sangat
rumit dan sulit, belum lagi bahasa daerahnya.” Terangku.
“Bahasa daerah?”
“Mereka terdiri
dari banyak suku bangsa. Bahasa daerah adalah bahasa yang paling sulit kupahami
sampai sekarang. Aku bisa fasih berbahasa Indonesia tapi tidak untuk bahasa
daerah. Setiap satu daerah punya satu bahasa, lalu setiap bahasa punya
tingkatan sendiri. Kalau aku terangkan lagi kau bisa bingung.” Aku mengangkat
gelasku dan meminumnya. Rasanya sangat nikmat. “Selain itu mereka juga sangat
menjaga budaya mereka dan… yah ada banyak hal tabu yang biasanya ada di sini
tapi dilarang keras di sana .”
“Dan…?” ia
memintaku melanjutkannya.
“Dan aku terbiasa.”
Kataku. “Aku tidak menyangkal kalau budaya bebas di sini membuatku risih.”
Mark mengangguk. “Tapi
bahasa Inggrismu masih sempurna.”
“Aku hanya memakai
bahasa Indonesia dengan teman-temanku di sana ,
selebihnya aku pakai bahasa Inggris.”
“Baiklah. Lalu
sekarang kau kerja di mana?”
“Aku buka bisnis
sendiri… bisnis sepatu. Aku merancang desainnya dan aku menjualnya.” Jawabku.
Ia menaikkan
alisnya, “oh ya? Kau melakukannya?”
Aku heran.
“Kenapa?”
Ia tertawa, “well,
kau selalu bilang padaku kalau sepatu adalah benda ajaib. Tak kusangka kau
masih bertahan dengan pendapat itu.”
Aku ikut tertawa
saat mengingatnya.
Kami
berbincang-bincang mengenai masa lalu kami. Mark yang lebih tua empat tahun
dariku punya ingatan yang kuat tentang masa kecil kami dan itu sangat
membantuku untuk menemukan hal-hal aneh yang kulakukan dulu.
0 comments: