The Moon and The Sun #1 - Rain
1
1991
Selamat datang lagi
musim dingin.
Selamat bertemu
lagi denganku yang harus mendekam dalam selimut sebelum semuanya memburuk. Tapi
tidak untuk bulan ini. Sekarang aku sudah bisa pulang ke rumah setelah selalu
dirawat di rumah sakit. Aku bisa berjalan-jalan walau harus ditemani. Aku bisa
bertemu dengan tetanggaku lagi, orang yang paling kusukai, Gates.
Gates adalah anak
yang riang dan terlalu bersemangat, berkebalikan denganku yang suka
sakit-sakitan dan tidak boleh keluar rumah saat musim dingin datang atau saat
cuaca terlalu panas di luar. Aku selalu berdoa untuk bisa bertemu dengan musim
semi selanjutnya, berbeda dengan Gates yang bisa keluar dikondisi cuaca apapun.
Aku selalu
membandingkan kondisiku dengannya yang jelas-jelas sangat berbeda. Dia sangat
sehat sedangkan aku tidak. Tapi dia adalah seorang anak baik yang sangat tampan
dan menarik walau orang tuanya berkata kalau dia nakal.
Hanya saja hari ini
cuaca makin memburuk dan aku merasa lemas untuk duduk di depan jendela hanya
demi melihat Gates keluar rumah, melompat, berlari bersama Victor dan Joe, atau
bermain perang salju. Satu hari tidak melihatnya benar-benar membuatku menghela
napas. Sambil menyimpan kekecewaanku sendiri, untuk kesekian kalinya aku harus
kembali naik ke atas tempat tidur dan bersiap untuk tidur.
“Hei! Heiiii!!”
bisiknya keras dari balik jendela kamarku.
Aku yang baru saja ingin
naik ke tempat tidur langsung terkejut mendengar suara itu. Ia masih terus
memanggilku dan akhirnya aku mendorong jendelaku ke atas agar terbuka. Udara
dingin langsung menyerbu masuk ke kamarku.
“Gates?” panggilku
terkejut saat melihatnya tersenyum senang.
“Bagaimana
keadaanmu?” tanyanya.
“Masih sedikit
pilek… Kenapa kau ke sini? Seharusnya kau sudah tidur.”
“Tapi aku tidak
tidur.”
“Tapi seharusnya
sudah.”
“Bagaimana
denganmu?”
“Aku baru mau
tidur.”
Gates mengangguk
seakan-akan paham dengan sesuatu. “Kau tidak keluar selama musim dingin ya?”
“Aku tidak bisa…”
jawabku lemah karena tidak suka dengan kenyataan itu. “Tapi aku bisa keluar
saat musim semi.” Sambungku buru-buru.
“Kau tahu, besok
aku ulang tahun.” Katanya.
“Oh ya? Besok?”
“ka nada pesta di
rumahku. Kau mau datang?” ia menyerahkan kartu undangannya padaku.
Aku membacanya.
“Besok kau akan berusia delapan tahun?” tanyaku.
“Yah… Sebenarnya
aku tidak suka ada pesta begitu. Tapi nenek memaksa untuk mengadakan pesta.
Kupikir itu sangat kekanak-kanakan.” Katanya dengan nada jengkel. “Kau bisa
datang?”
“Bolehkah?” tanyaku
tidak yakin.
“Tentu saja. Itu
undangan untukmu. Jangan lupa datang.”
Aku seketika merasa
senang karena baru kali ini ada orang yang mau mengundangku ke pesta. Aku
menggenggam erat kartu itu seolah-olah itu adalah benda berharga yang tak boleh
hilang.
Gates tersenyum.
“Oke. Tugasku selesai. Selamat tidur.” Katanya riang sambil berlari dan
melompati pagar yang membatasi halaman rumah kami.
Aku menutup jendela
kamarku dan bernjak tidur sambil menggenggamnya erat. Aku bermimpi kalau besok
aku akan merasa sangat bahagia dan akan punya banyak teman. Karena ini pesta,
maka aku butuh hadiah. Karena bingung ingin membawa hadiah apa, akhirnya
sepanjang malam aku berpikir dan tidak bisa tidur.
Esok paginya Mama
dan Papa terkejut saat aku memberitahu tentang undangan pesta itu.
“Kau diundang ke
pesta Gates?” tanya Mama sambil meletakkan dua potong sandwich dipiringku. Ia
jelas-jelas terkejut mendengar itu.
Papa yang duduk di
depanku dengan koran paginya langsung menaikkan sebelah alisnya tanda
keheranan.
Apa ini aneh?
“Gates
mengundangku.” Kataku menjelaskan.
“Kapan?” tanya
Papa.
“Se… Kemarin.” Aku
buru-buru meralatnya. Aku tidak bisa bilang kalau semalam dia datang ke kamarku
dan memberiku undangan itu. Bisa-bisa mereka marah.
“Tapi kau… tidak
boleh keluar di musim dingin ini…” kata Mama sambil duduk di sampingku.
“Tapi aku ingin
pergi. Aku diundang. Ini undangannya.” Kataku sambil menunjukkan undangan itu
padanya.
Papa dan Mama
saling berpandangan. Akhirnya setelah agak lama terdiam, Papa tersenyum.
“Biarkan saja dia pergi. Toh rumahnya di sebelah rumah kita.”
Tapi Mama tetap
menunjukkan wajah kuatirnya. “Aku tidak mau mengambil resiko…” bisiknya pada
Papa.
Aku langsung
terdiam sambil memegang erat undangan itu. Sebenarnya aku paham apa yang mereka
kuatirkan.
“Kau bisa
menemaninya di sana .”
Usul Papa.
Aku menatap mereka
dan mulai merasa tidak yakin dengan keyakinanku tadi. Tapi ada satu ide yang
terlintas di kepalaku. “Kalau begitu kirimkan hadiah saja.” Usulku cepat.
“Apa?” Mama dan
Papa terkejut.
“Aku tidak jadi
datang, tapi aku bisa kirim hadiah kan ?”
kataku sambil tersenyum.
Mama dan Papa
memandangku dengan wajah senyum bercampur sedih. Tapi aku tetap menyengir
senang dan berkata, “biar aku yang pilih hadiahnya. Boleh, kan ?”
Mama langsung
meraihku dan memelukku, “maaf ya… maaf…” bisiknya dengan suara bergetar.
Aku tahu kesedihan
mereka. Dengan kondisiku sekarang aku memang tidak boleh melakukan sesuatu yang
berat. Datang ke pesta yang penuh sesak, keributan, dentuman musik dan
sebagainya bisa membuat jantungku tidak kuat menahan tubuhku untuk berdiri.
Aku tahu kalau
mencari seorang pendonor jantung yang tepat untukku tidaklah mudah. Walau aku
sering keluar masuk rumah sakit, baru sebulan ini aku bisa menghabiskan waktu
tenangku di rumah… dan hanya di rumah, tidak kemana-mana.
“Kalau begitu
hadiah apa yang cocok untuknya?” tanyaku. Aku mengabaikan suara bergetar Mama
karena aku tahu tidak baik membuat mereka sedih.
“Ayo kita lihat di
toko. Siapa tahu ada yang cocok untuknya.” Usul Mama sambil menghapus air
matanya yang keluar sedikit.
“Ya.” Jawabku
dengan nada bersemangat. “Tapi… Aku harus pilih hadiah apa?” tanyaku.
“Menurutmu apa yang
cocok untuknya?” tanya Papa sambil memakan sarapannya.
Aku berpikir keras
tentang Gates. Dia anak yang lincah dan sangat bersemangat. Ia sangat menyukai
musik dan sangat suka berlari. Apa hadiah yang cocok untuknya? Saat aku
menggigit sepotong sandwich, aku mendapat ide.
“Mama, apa kita
bisa ke toko Mr.Feagal?” tanyaku.
“Boleh. Setelah
sarapan kita ke sana .”
0 comments: