Song of Aria #5 - Rain
Aira sedang menggumamkan musik yang ada di kepalanya sambil menatap kosong ke depan dan berayun pelan sampai telinganya menangkan suara sepatu yang mendekat. Ia terhenyak dan segera berdiri, membuat langkah itu langsung terhenti.
Aira menatap seorang pria asing di depannya. Mata awasnya
terpaku pada wajah pria itu yang putih, berkarakter, dan bola mata bewarna
hitam legam. Garis wajahnya tegas dan mendukung wajahnya yang oval. Alisnya
angkuh, dan bibirnya sangat… sensual. Ini membuat Aira merasa hampir kehilangan
pikiran warasnya. Tapi ia tahu, orang itu pasti sangat kaya walau ia tidak memakai
jas, hanya kemeja abu-abu gelap yang kancing atasnya terbuka dengan bagian
bawah yang tidak dimasukkan ke balik celana jeans hitamnya.
“Siapa?” tanya Aira
yang berusaha mendapatkan ketenangannya kembali saat melihat pria itu untuk
pertama kalinya.
Erland menggunakan bahasa Indonesianya sekarang, “Kamu yang
bermain piano di restoran tadi, kan?”
Erland bertanya. Ia belum mau menujukkan siapa dirinya.
Aira langsung waspada. Ada pria asing yang bisa sefasih itu
berbicara bahasanya. Apa orang kaya ini akan menuntutnya karena kejadian di
restoran itu? Siapa tahu? Mungkin seharusnya ia mengikuti saran Nana dan
berganti pakaian sebelum pergi. Sekarang ia harus berhadapan dengan seorang
pria angkuh kaya raya dengan seribu tuntutan yang membuatnya di penjara.
“Mau apa kamu?” tanya Aira dingin.
Erland tertawa kecil saat mendengar itu. “ Bukan hal yang
mengejutkan,” gumamnya pelan, seolah-olah ia sudah biasa menghadapi seorang
gadis yang menganggapnya sangat berbahaya. Tapi gadis ini berbeda. Ada euphoria yang tidak
disangkanya masuk ke hatinya dan membuatnya senang saat menghadapinya.
“Kamu mencariku? Apa yang kamu mau?” Aira bertanya lagi.
Sikap waspadanya membuatnya merasa bahwa pria itu adalah ancaman.
“Yah, kamu benar. Aku mencarimu.” Erland merubah suaranya
menjadi serius dan memainkan perannya walau dalam hati ia setengah mati menahan
tawa karena tahu kalau gadis itu sedang berpikir tentang tuntutan dan
semacamnya. “Kamu tahu apa salahmu? Kamu mengganggu bisnis seseorang. Dan kamu
masuk ke restoranku lalu memainkan pianoku tanpa izin.”
Walau gadis itu sudah menduganya, tapi tetap saja ia
tersentak mendengarnya.
“Aku tahu…,” katanya pelan saat membenarkan hal itu.
“Maafkan aku.”
Erland tersenyum sinis sekarang. “Maaf? Kamu pikir cukup
dengan itu?” ia bersikap seolah tidak percaya dengan pendengarannya dan
mendramatisir semua itu. “Satu hal yang bisa kukatakan adalah kamu membuatku
rugi.”
Aira tetap tenang mendengarkan. Ia sudah pasrah. Benar-benar
pasrah. Ini semua diluar perkiraannya.
“Hari ini aku terpaksa memberi banyak diskon pada
pengunjung. Dan hari ini aku terpaksa meminta maaf pada semua orang yang
menyaksikan pertunjukanmu di atas panggung,” ia memang melakukan itu dan itu
membuatnya kesal setengah mati.
“Kenapa kamu nggak melarangku saat aku main?” tanya Aira
berusaha membela diri.
“Pegawaiku sudah melakukannya. Dan kamu nggak
mengacuhkannya.”
“Kamu bisa menyuruhnya menarikku keluar.”
“Lebih tepatnya menendangmu, ya?” tanyanya Erland meminta
pendapat sambil menaikkan sebelah alisnya dengan angkuh.
Aira tidak suka mendengarnya. Untung ada jarak diantara
mereka. Kalau tidak, ia pasti akan melepaskan semua kegilaannya agar pria itu
bisa menarik turun alisnya yang terangkat dengan congkak.
“Aku nggak suka ditendang,” jawabnya tenang.
Lalu senyum menawan yang tidak disangka akan datang akhirnya
disunggingkan Erland. Sial! Dia terlalu sempurna! Aira mencoba untuk tidak
menelan ludahnya dan tetap berkonsentrasi pada percakapan mereka.
“Kamu nggak berusaha mengusirku. Kamu malah membiarkanku
main,” Aira mengingatkannya dengan rasa percaya diri yang cepat timbul.
“Selama aku tahu kalau permainanmu menarik, maka aku akan
mengizinkan siapapun memakai piano itu. Tapi saat kamu merusak melodi indahmu
sendiri, kamu akan kena denda.”
Aira tersenyum sekarang semanis mungkin. Erland yang
terbiasa memasang wajah datar, dingin, tak berekspresi, bisa merasakan efek
yang timbul dari senyuman manis itu.
“Hebat sekali. Kamu mau ngambil resiko untuk itu,” kata
gadis itu.
“Aku pebisnis,” katanya dengan suara yang dipaksakan keluar.
“Dan aku bisa membaca bakat orang dan siapa orang itu hanya dengan sekali
lihat.”
“Kalau begitu siapa aku?” tanya Aira yang dengan senang hati
menantangnya.
“Kamu mau tahu itu?”
“Kenapa nggak? Aku ingin dengar pendapat orang lain
tentangku.”
Erland tertawa tidak percaya dengan jawaban itu. Dengan
lancang ia langsung menatap gadis itu dari atas ke bawah lalu ke atas lagi.
“Kau –“
“Tapi aku tahu,” Aira memotong perkataannya, “kamu nggak
akan bisa menebak semuanya,” lalu ia melewati Erland dengan kepala tegak dan
senyum tersungging. Pada saat ia melewatinya, gadis itu berbisik dekat
dengannya, “karena kamu nggak tahu apa yang membuatku begini.”
Erland terdiam saat ia berbisik seperti itu. Suara
bisikannya membuat jantungnya berdegup kacau. Ia tetap memasang wajah tenangnya
dan kemudian berbalik melihat si pemain piano itu berjalan pergi.
Dengan langkah cepat ia meraih siku gadis itu dan menariknya
untuk menghadapnya. Gadis itu tersentak, berputar menghadapnya, dan
menengadahkan kepala. Mereka saling menatap sekarang. Matanya cokelat, pikir Erland.
Cokelat pekat. Erland tertarik saat mata itu melebar karena terkejut.
“Kamu pikir kamu bisa lari dariku?”
Suara itu menyadarkan Aira. Ia baru saja bertemu dengan mata
hitam menawan di depannya. Tapi kenapa pemiliknya adalah orang kaya angkuh dan menyebalkan ini. Ia
mengerjap dan dengan cepat menundukkan kepalanya sambil mencoba melepaskan
pegangan orang
itu.
“Lepaskan!” Aira berkutat dengan tangannya.
Erland tertawa dan menyeretnya kembali ke dalam. Gadis itu
masih melawan dan tidak mau bergerak dari tempatnya. Tapi ia tetap menariknya
dan mendudukkannya di ayunan itu. Ia melepaskan genggamannya dan kini memegang
dua besi ayunan itu untuk memastikan gadis itu tidak melompat berdiri. Ia
mencondongkan tubuhnya, mendekatkan kepalanya hingga kepala mereka sejajar.
Aira jengah. Kenapa dia harus melakukan hal itu? Jarak wajah
mereka tidak begitu jauh dan juga tidak begitu dekat. Tapi tetap saja perlakuan
tidak biasa ini membuatnya gugup bukan main. Untuk menyelamatkan jiwanya, ia
akhirnya menundukkan wajahnya.
“Apa yang kamu pikirkan saat kamu berkata begitu?” tanya
pria itu.
Apa? Berkata apa? Aira sepenuhnya berada dalam pikiran yang
berkabut. Ia lupa apa yang ia lakukan pada pria itu.
“Kamu pikir aku nggak bisa menilaimu? Huh! Mana ada
penilaian sempurna saat kita baru pertama kali bertemu dengan waktu sesingkat
itu. Apa itu yang kamu pikirkan?” tanyanya lagi.
Sekarang Aira bisa merasakan ingatannya kembali. “Y, ya.
Itu.” Ia tergagap menjawabnya. Lalu ia merasakan jemari orang itu di dagunya dan dengan lembut
menengadahkan kepalanya.
“Tatap mataku saat bicara,” perintahnya.
Aira merasa dalam kendalinya sekarang dan ia merasa harus
patuh. Konyol! Ia takkan semudah itu patuh pada pria tampan yang menarik ini. Ia mengulum
senyumnya karena pikiran itu. Pria tampan?
Ya ampun! Itu tidak cocok untuknya. Pria angkuh? Mendekati. Iblis? Ia bisa
melihat ada sesuatu yang berhubungan ke sana
dari orang aneh ini.
“Katakan, apa yang akan kamu lakukan untuk membayar kerugianku.”
Perintahnya.
Aira tidak suka karena lagi-lagi diingatkan tentang itu. Ia
ingin segera pergi dari sini dan lepas dari masalah yang tanpa sadar dibuatnya.
Lalu tanpa diduga gadis itu mengangkat tangannya dan
menyentuh pipi pria itu sambil tersenyum samar. “Kamu hanya akan kalah!” ia
mendorong pria itu, berdiri, dan pergi sedangkah Erland terpana tanpa diminta. Kau hanya akan kalah. Apa maksudnya?
“Sial!”
0 comments: