Song of Aria #3 - Rain
Sambil menyusuri jalanan setelah meninggalkan toko alat musik itu, Aira mendapati dirinya tidak tenang. Ia gelisah dan memilih untuk menghilangkannya dengan berbagai cara. Tapi apa? Ia tidak mungkin berteriak di tengah orang ramai seperti ini. Ia juga tidak mungkin menari. Lebih parah lagi, ia tidak mungkin naik pohon dan bercerita kepada angin.
Akhirnya saat ia melewati Miles, restoran yang terkenal enak, yang sedang dipadati pengunjung
saat jam makan siang, langkahnya terhenti. Dari dalam jendela yang lebar
terlihat satu panggung yang kosong dengan perlengkapan band di dalamnya. Ada bass, gitar, drum,
mic, dan… satu grand piano yang terletak di salah satu panggung khusus
tersendiri di dalam panggung utama.
Piano, pikir Aira cepat. Aku ingin main piano!
Ia memarkir sepedanya dan menaiki tangga restoran itu lalu
mendorong pintu kacanya agar terbuka.
Tidak ada yang memperhatikannya saat ia masuk ke dalam
kecuali seorang pelayan yang menunggu untuk menyambut tamu, dan seorang pria
menarik dengan wajah bosan karena mendengar celotehan pria lain di sebelahnya.
“Selamat datang,” sapa pelayan yang meyambut kedatangannya.
“Anda ingin meja untuk berapa orang?”
Dia tahu, pikir Aira saat melihat wajah tidak percaya yang
terpampang di wajah pelayan itu selama dua detik penuh sebelum ia ingat
tugasnya untuk menyapa.
Gadis itu tidak peduli. Ia meninggalkan pelayan itu berdiri
di pintu dan langsung menuju kearah grand piano di panggung itu. Ia langsung
duduk dan membuka penutup pianonya. Binar kelegaan terpancar dari matanya saat
ia menemukan hal yang bisa membuatnya melampiaskan kekesalannya.
Saat itulah Erland Avendale yang duduk menyamping dari arah
panggung merasa tertarik dengan gadis itu. Wajah gadis itu polos tanpa make up.
Tapi wajahnya sangat bersih, putih, dengan bibir warna merah agak pucat, hidung
mancung, dan mata sendu. Wajahnya oval, badannya tinggi dan proposional. Usianya,
taksirnya, mungkin masih sekitar dua puluh satu atau dua puluh tiga tahun.
Erland menyembunyikan ketertarikannya dengan baik saat
melihat gadis itu untuk pertama kalinya. Kali ini ia merasa harus berbagi
objeknya itu dengan keluarganya dan orang-orang yang sedang makan siang di
restorannya. Hebatnya, gadis berpenampilan serampangan itu tidak peduli dengan
tatapan aneh orang-orang yang bertanya siapa dia.
“Maaf. Anda tidak boleh di sini. Tolong turun dari panggung
ini. Kalau tidak –“
Gadis itu tidak peduli. Ia mengangkat tangannya dan menekan
tuts-tuts piano itu dengan lincah. Semua orang, termasuk si pelayan itu
terpana. Tapi pelayan itu terlalu sigap. Ia segera sadar dengan masalah ini.
“Maaf! Harap berhenti sekarang juga!”
Aira tidak berhenti. Dengan satu lirikan tajam penuh
ancaman, ia menatap pelayan wanita berbaju seragam cokelat itu.
“A –“ pelayan itu mencoba bersuara tapi seseorang datang dan
berbisik padanya.
“Bos bilang, biarkan saja dia main sebentar,” kata seorang
pelayan pria yang mendapat perintah langsung dari Erland.
“Ha? Oh, baiklah,” akhirnya pelayan wanita itu menyerah dan
mundur.
Aira mendapat kesempatan sekarang. Sambil berkonsentrasi
pada piano dan permainannya, ia merasa dunia disekitarnya mengabur.
Tangan gadis itu terangkat dan dengan pasti ia
menghentakkannya ke tuts-tuts piano itu dengan penuh rasa percaya diri dan
kebahagiaan tiada terperi. Ia tersenyum lebar memainkan melodi-melodi berirama
riang dengan penuh semangat.
Berkat suara
pianonya, semua orang yang ada di restoran itu tiba-tiba berhenti bicara. Sang
pelayan tidak tahu harus berbuat apa karena ia juga terpana dengan permainan
pianonya. Erland yang memang dari awal tidak fokus dengan pembicaraan apapun di
sana, terlihat
sangat tertarik dengan permainan gadis itu.
Ia hanya menatapnya
tanpa berkedip dan menghiraukan panggilan Andrew.
Melodi yang
menyenangkan ini mengingatkannya pada masa kecilnya yang indah dan sangat penuh
dengan tawa. Oh ya, ia tidak ingat kapan terakhir kali tertawa lepas seperti
dulu. Ia lupa. Ia hanya merasa bebas. Jiwanya bebas. Ia lepas kembali kewaktu
yang diinginkannya. Ia gembira merasakan aliran musik itu dan perasaan yang
dialirkan gadis itu padanya. Gadis itu tertawa tanpa suara saat memainkannya.
Murni.
Bebas, lepas,
seperti burung yang terbang diudara tanpa takut dikekang oleh siapapun.
Siapa dia?
Setelah tiga menit
melantunkan musik yang berirama riang itu, tiba-tiba ia merubah ritme permainannya
dan masuk ke lagu ke dua karya Mozart. Tangannya berayun begitu cepat, lincah,
dan gemulai. Ia memainkannya dengan sangat baik dan mengagumkan.
Semua yang ada di sana terpana dengan permainannya.
Apakah gadis itu berasal dari sekolah musik? Tentu saja tidak ada yang tahu
sampai beberapa menit kemudian, sebelum lagu itu benar-benar habis, ia
mencampurkannya dengan musik karya Chopin. Semua yang ada di sana, tidak terkecuali Erland, mengerutkan
dahinya mendengar perubahan melodi yang tiba-tiba itu.
Erland yakin kalau
Mozart ataupun Chopin akan melompat dari kuburnya sekarang jika si gadis
memainkannya di depan makam mereka. Tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi,
tapi siapa yang pernah mencampur dua karya besar itu seperti orang itu yang
sedang bermain di panggung? Ia memotong drastis karya Mozart yang belum selesai
itu dan menggabungkannya dengan karya Chopin yang entah dari baris ke berapa. Erland
tidak mengerti masalah partitur, hanya saja ia senang mendengarkan karya dua
orang besar itu.
Erland
menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan
gadis itu. Ia juga tidak menghiraukan protes orang-orang yang ada di sana. Benar-benar
seenaknya saja, pikir Erland. Ia berusaha menahan senyumnya dan tetap memakai
topeng beraut dinginnya.
Gadis itu mengubah
musik Mozart ke Chopin dan kemudian gerakan tangannya yang menghentak cepat dan
hampir tidak terlihat itu tiba-tiba memelan secara drastis. Melodi yang ia
mainkan tiba-tiba menjadi sendu, sedih. Iramanya menusuk hati, membuat semua
yang mendengarkannya tiba-tiba terhanyut dan merasakan tumpahan emosinya yang
terdalam. Melodi ini berbeda dari dua karya orang besar itu.
Erland terhanyut
karenanya. Ia seakan-akan baru bangun dari tidurnya yang panjang dan mendapati
ada sesuatu yang hilang dari dirinya.
Hampa.
Kosong.
Sepi.
Sendiri.
Semunya berkecamuk
dalam hati dan pikirannya. Emosi terdalamnya terusik karena permainan gadis
itu. Ia bisa merasakan satu sisi hatinya yang tidak ia sadari selama ini. Ia
kesepian… satu kata yang tidak ingin dikenalnya.
Tapi gadis itu
mengungkapkannya dengan baik. Ia juga mengalirkan pedihnya luka yang
ditanggungnya. Gadis itu bermain dengan hatinya. Dialah seorang pemain piano
sesungguhnya. Musiknya memiliki jiwa, memikat, mengikat… Erland memperhatikan
mata gadis itu yang berkabut, menahan tumpahan air matanya. Menahan lukanya.
Menahan pedihnya.
Dan semua perasaan
itu tiba-tiba buyar seketika saat gadis itu mengangkat tangannya dan dengan
marah menghempaskan jari-jarinya ke tuts-tuts piano itu dengan keras. Erland
dan semua orang yang memperhatikannya tadi sangat terkejut dibuatnya. Semuanya
pudar, digantikan dengan satu tatapan tajam gadis itu yang memandang satu titik
di depannya.
Marah!
Gadis itu marah
sekarang!
Giginya mengatup
rapat. Rahangnya mengencang, raut wajahnya tegang, dan sinar matanya sangat
tajam membuat orang bergidik. Rasa panas, kesal, amarah dan sebagainya langsung
memenuhi udara. Irama yang dimainkannyapun sangat tidak jelas dan berantakan.
Iramanya cepat, menghentak dengan nada naik turun.
“Hei! Hentikan dia!
Hentikan orang gila itu!” teriak seorang tamu yang menutup kupingnya karena
irama itu sangat buruk dan tidak layak untuk di dengar. “Hentikan orang gila
itu!” perintahnya dengan keras.
“Siapa dia?” tanya ayahnya sekarang yang sepertinya baru
sadar ke dunia nyata saat lagu kedua hampir mencapai klimaksnya.
“Siapapun dia, kurasa dia sangat hebat. Siapa tahu dia pemain
yang disewa Erland untuk menyambut kita,” istrinya menerka-nerka saja saat
mengatakan itu. Tapi ekspresi suaminya yang muram tidak menunjukkan tanda bahwa
itu gagasan yang bagus.
“Kau pikir… Seorang gadis dengan pakaian lusuh itu pantas
menghiburku?” tanyanya sombong.
“Aku –“
JRENG!
Semua orang terkejut dengan bunyi itu. Gadis itu baru saja
menghempaskan jari-jarinya di atas tuts-tuts piano itu dengan keras dan penuh
amarah seolah-olah ia mendengar ucapan Mr.Avendale tadi.
Dengan tegas ia berdiri dan meninggalkan piano itu begitu
saja lalu dengan tenang berjalan keluar.
“Hei! Apa-apaan dia? Bikin kaget saja!” kata seorang lelaki
yang protes dengan kejadian itu. Ia bahkan tidak segan mengeraskan suaranya dan
berdiri dari kursinya. Lalu komentar lain pun berdatangan. Seketika suasana
menjadi gaduh sedangkan si pembuat kegaduhan pergi begitu saja dengan tenangnya
dan mengayuh sepedanya untuk kembali ke rumah.
Erland hampir tertawa berderai saat melihat ayahnya, ibunya,
dan kakak lelakinya, Andrew, ternganga dengan kejadian tadi. Ia senang karena
ayahnya mendapat pelajaran tepat di depan wajah terhormatnya dari si gadis
pemain piano itu.
0 comments: