Song of Aria #3 - Rain

6:50 PM fe 0 Comments


          Sambil menyusuri jalanan setelah meninggalkan toko alat musik itu, Aira mendapati dirinya tidak tenang. Ia gelisah dan memilih untuk menghilangkannya dengan berbagai cara. Tapi apa? Ia tidak mungkin berteriak di tengah orang ramai seperti ini. Ia juga tidak mungkin menari. Lebih parah lagi, ia tidak mungkin naik pohon dan bercerita kepada angin.
Akhirnya saat ia melewati Miles, restoran yang terkenal enak, yang sedang dipadati pengunjung saat jam makan siang, langkahnya terhenti. Dari dalam jendela yang lebar terlihat satu panggung yang kosong dengan perlengkapan band di dalamnya. Ada bass, gitar, drum, mic, dan… satu grand piano yang terletak di salah satu panggung khusus tersendiri di dalam panggung utama.
Piano, pikir Aira cepat. Aku ingin main piano!

Ia memarkir sepedanya dan menaiki tangga restoran itu lalu mendorong pintu kacanya agar terbuka.
Tidak ada yang memperhatikannya saat ia masuk ke dalam kecuali seorang pelayan yang menunggu untuk menyambut tamu, dan seorang pria menarik dengan wajah bosan karena mendengar celotehan pria lain di sebelahnya.
“Selamat datang,” sapa pelayan yang meyambut kedatangannya. “Anda ingin meja untuk berapa orang?”
Dia tahu, pikir Aira saat melihat wajah tidak percaya yang terpampang di wajah pelayan itu selama dua detik penuh sebelum ia ingat tugasnya untuk menyapa.
Gadis itu tidak peduli. Ia meninggalkan pelayan itu berdiri di pintu dan langsung menuju kearah grand piano di panggung itu. Ia langsung duduk dan membuka penutup pianonya. Binar kelegaan terpancar dari matanya saat ia menemukan hal yang bisa membuatnya melampiaskan kekesalannya.
Saat itulah Erland Avendale yang duduk menyamping dari arah panggung merasa tertarik dengan gadis itu. Wajah gadis itu polos tanpa make up. Tapi wajahnya sangat bersih, putih, dengan bibir warna merah agak pucat, hidung mancung, dan mata sendu. Wajahnya oval, badannya tinggi dan proposional. Usianya, taksirnya, mungkin masih sekitar dua puluh satu atau dua puluh tiga tahun.
Erland menyembunyikan ketertarikannya dengan baik saat melihat gadis itu untuk pertama kalinya. Kali ini ia merasa harus berbagi objeknya itu dengan keluarganya dan orang-orang yang sedang makan siang di restorannya. Hebatnya, gadis berpenampilan serampangan itu tidak peduli dengan tatapan aneh orang-orang yang bertanya siapa dia.
“Maaf. Anda tidak boleh di sini. Tolong turun dari panggung ini. Kalau tidak –“
Gadis itu tidak peduli. Ia mengangkat tangannya dan menekan tuts-tuts piano itu dengan lincah. Semua orang, termasuk si pelayan itu terpana. Tapi pelayan itu terlalu sigap. Ia segera sadar dengan masalah ini.
“Maaf! Harap berhenti sekarang juga!”
Aira tidak berhenti. Dengan satu lirikan tajam penuh ancaman, ia menatap pelayan wanita berbaju seragam cokelat itu.
“A –“ pelayan itu mencoba bersuara tapi seseorang datang dan berbisik padanya.
“Bos bilang, biarkan saja dia main sebentar,” kata seorang pelayan pria yang mendapat perintah langsung dari Erland.
“Ha? Oh, baiklah,” akhirnya pelayan wanita itu menyerah dan mundur.
Aira mendapat kesempatan sekarang. Sambil berkonsentrasi pada piano dan permainannya, ia merasa dunia disekitarnya mengabur.
Tangan gadis itu terangkat dan dengan pasti ia menghentakkannya ke tuts-tuts piano itu dengan penuh rasa percaya diri dan kebahagiaan tiada terperi. Ia tersenyum lebar memainkan melodi-melodi berirama riang dengan penuh semangat.
   Berkat suara pianonya, semua orang yang ada di restoran itu tiba-tiba berhenti bicara. Sang pelayan tidak tahu harus berbuat apa karena ia juga terpana dengan permainan pianonya. Erland yang memang dari awal tidak fokus dengan pembicaraan apapun di sana, terlihat sangat tertarik dengan permainan gadis itu.
   Ia hanya menatapnya tanpa berkedip dan menghiraukan panggilan Andrew.
   Melodi yang menyenangkan ini mengingatkannya pada masa kecilnya yang indah dan sangat penuh dengan tawa. Oh ya, ia tidak ingat kapan terakhir kali tertawa lepas seperti dulu. Ia lupa. Ia hanya merasa bebas. Jiwanya bebas. Ia lepas kembali kewaktu yang diinginkannya. Ia gembira merasakan aliran musik itu dan perasaan yang dialirkan gadis itu padanya. Gadis itu tertawa tanpa suara saat memainkannya.
   Murni.
   Bebas, lepas, seperti burung yang terbang diudara tanpa takut dikekang oleh siapapun.
   Siapa dia?
   Setelah tiga menit melantunkan musik yang berirama riang itu, tiba-tiba ia merubah ritme permainannya dan masuk ke lagu ke dua karya Mozart. Tangannya berayun begitu cepat, lincah, dan gemulai. Ia memainkannya dengan sangat baik dan mengagumkan.
   Semua yang ada di sana terpana dengan permainannya. Apakah gadis itu berasal dari sekolah musik? Tentu saja tidak ada yang tahu sampai beberapa menit kemudian, sebelum lagu itu benar-benar habis, ia mencampurkannya dengan musik karya Chopin. Semua yang ada di sana, tidak terkecuali Erland, mengerutkan dahinya mendengar perubahan melodi yang tiba-tiba itu.
   Erland yakin kalau Mozart ataupun Chopin akan melompat dari kuburnya sekarang jika si gadis memainkannya di depan makam mereka. Tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi, tapi siapa yang pernah mencampur dua karya besar itu seperti orang itu yang sedang bermain di panggung? Ia memotong drastis karya Mozart yang belum selesai itu dan menggabungkannya dengan karya Chopin yang entah dari baris ke berapa. Erland tidak mengerti masalah partitur, hanya saja ia senang mendengarkan karya dua orang besar itu.
   Erland menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan gadis itu. Ia juga tidak menghiraukan protes orang-orang yang ada di sana. Benar-benar seenaknya saja, pikir Erland. Ia berusaha menahan senyumnya dan tetap memakai topeng beraut dinginnya.
   Gadis itu mengubah musik Mozart ke Chopin dan kemudian gerakan tangannya yang menghentak cepat dan hampir tidak terlihat itu tiba-tiba memelan secara drastis. Melodi yang ia mainkan tiba-tiba menjadi sendu, sedih. Iramanya menusuk hati, membuat semua yang mendengarkannya tiba-tiba terhanyut dan merasakan tumpahan emosinya yang terdalam. Melodi ini berbeda dari dua karya orang besar itu.
   Erland terhanyut karenanya. Ia seakan-akan baru bangun dari tidurnya yang panjang dan mendapati ada sesuatu yang hilang dari dirinya.
   Hampa.
   Kosong.
   Sepi.
   Sendiri.
   Semunya berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Emosi terdalamnya terusik karena permainan gadis itu. Ia bisa merasakan satu sisi hatinya yang tidak ia sadari selama ini. Ia kesepian… satu kata yang tidak ingin dikenalnya.
   Tapi gadis itu mengungkapkannya dengan baik. Ia juga mengalirkan pedihnya luka yang ditanggungnya. Gadis itu bermain dengan hatinya. Dialah seorang pemain piano sesungguhnya. Musiknya memiliki jiwa, memikat, mengikat… Erland memperhatikan mata gadis itu yang berkabut, menahan tumpahan air matanya. Menahan lukanya. Menahan pedihnya.
   Dan semua perasaan itu tiba-tiba buyar seketika saat gadis itu mengangkat tangannya dan dengan marah menghempaskan jari-jarinya ke tuts-tuts piano itu dengan keras. Erland dan semua orang yang memperhatikannya tadi sangat terkejut dibuatnya. Semuanya pudar, digantikan dengan satu tatapan tajam gadis itu yang memandang satu titik di depannya.
   Marah!
   Gadis itu marah sekarang!
   Giginya mengatup rapat. Rahangnya mengencang, raut wajahnya tegang, dan sinar matanya sangat tajam membuat orang bergidik. Rasa panas, kesal, amarah dan sebagainya langsung memenuhi udara. Irama yang dimainkannyapun sangat tidak jelas dan berantakan. Iramanya cepat, menghentak dengan nada naik turun.
   “Hei! Hentikan dia! Hentikan orang gila itu!” teriak seorang tamu yang menutup kupingnya karena irama itu sangat buruk dan tidak layak untuk di dengar. “Hentikan orang gila itu!” perintahnya dengan keras.
“Siapa dia?” tanya ayahnya sekarang yang sepertinya baru sadar ke dunia nyata saat lagu kedua hampir mencapai klimaksnya.
“Siapapun dia, kurasa dia sangat hebat. Siapa tahu dia pemain yang disewa Erland untuk menyambut kita,” istrinya menerka-nerka saja saat mengatakan itu. Tapi ekspresi suaminya yang muram tidak menunjukkan tanda bahwa itu gagasan yang bagus.
“Kau pikir… Seorang gadis dengan pakaian lusuh itu pantas menghiburku?” tanyanya sombong.
“Aku –“
JRENG!
Semua orang terkejut dengan bunyi itu. Gadis itu baru saja menghempaskan jari-jarinya di atas tuts-tuts piano itu dengan keras dan penuh amarah seolah-olah ia mendengar ucapan Mr.Avendale tadi.
Dengan tegas ia berdiri dan meninggalkan piano itu begitu saja lalu dengan tenang berjalan keluar.
“Hei! Apa-apaan dia? Bikin kaget saja!” kata seorang lelaki yang protes dengan kejadian itu. Ia bahkan tidak segan mengeraskan suaranya dan berdiri dari kursinya. Lalu komentar lain pun berdatangan. Seketika suasana menjadi gaduh sedangkan si pembuat kegaduhan pergi begitu saja dengan tenangnya dan mengayuh sepedanya untuk kembali ke rumah.
Erland hampir tertawa berderai saat melihat ayahnya, ibunya, dan kakak lelakinya, Andrew, ternganga dengan kejadian tadi. Ia senang karena ayahnya mendapat pelajaran tepat di depan wajah terhormatnya dari si gadis pemain piano itu.

You Might Also Like

0 comments: