Song of Aria #24 - Rain
Aira melangkah ke luar kamarnya
dan menyambut pagi yang dingin. Pagi ini kabut telah turun dan itu membuat
jarak pandangnya menyempit. Aira melangkah melintasi lapangan untuk menuju ke
taman bunga mawarnya. Ia ingin menyendiri sekarang demi menenangkan hatinya
yang berkecamuk hebat. Akhirnya tadi malam ia tanpa sadar tertidur setelah
lelah menangis.
Erland kembali
menghantuinya dengan mimpinya tadi malam. Ini sungguh ironis. Ia datang ke sini
bukan hanya untuk terapi, tapi juga untuk menghilangkannya dari pikirannya.
Aira tidak menyangka
kalau akan sesusah ini menghilangkan Erland dari dalam dirinya. Ini begitu kuat
dan dalam. Ia lelah melawannya. Karena itulah ia terus mensugesti dirinya bahwa
dia tidak pantas didapatkan.
Dia bukanlah sosok
sempurna untuk Erland.
Dia bukanlah orang
yang pantas bersamanya.
Dia hanya orang asing yang tergila-gila padanya.
Dan dia telah
kehilangan kesuciannya, karena orang itu.
Aira terus
mensugesti dirinya seperti itu. ia tidak boleh terlalu banyak berharap
Erland melajukan
mobilnya menuju salah satu rumah yang letaknya agak ke dalam hutan. Pagi tadi
ia sudah memaksa Ibu Nana untuk menuliskan denah rumah Aira dan setelah
mendapatkannya, ia langsung pergi ke sana.
Ia tidak dapat menunggu. Ia ingin langsung bertindak sekarang juga. Ia ingin
mencari keberadaan Aira sekarang juga.
Perasaan yang
berkecamuk tadi malam masih ia rasakan. Seperti sebuah portal, ia merasa
terhubung dengan Aira. Ia yakin kalau Aira juga memikirkannya tadi malam sama
seperti dirinya.
Ia ingin semua ini
berakhir dengan cepat sekarang. Ia butuh kepastian atas semua ini. Ia sudah
sering diselamatkan. Pertemuannya dengan Aira bukanlah sebuah kebetulan. Ini
semua pasti sudah ditakdirkan. Pilihannya untuk di sini dan semua yang telah
terjadi… semua yang terjadi adalah untuk menghubungkannya dengan Aira.
Sekarang gilirannya
untuk menyelamatkannya.
Erland berhenti di
depan sebuah rumah bErlandtai dua yang terlihat suram. Rumah itu berdiri di
tengah halamannya yang luas dengan warna cat putih yang pudar. Tidak ada rumah
lain selain rumah itu di sekitar sana.
Ia keluar dari mobilnya dan mengecek alamatnya. Ya, denahnya di sini dengan
nomor yang sama. Ia berjalan masuk ke dalamnya. Banyak daun berguguran di
halamannya. Jelas sekali rumah ini sudah sangat lama ditinggalkan. Ia menoleh
ke kiri dan mendapati kebun bunga matahari kecil yang tidak terawat lagi.
Bunganya tumbuh liar.
Erland yakin kalau
ini adalah rumah Aira. Ia berjalan pelan menuju pintu sambil memperhatikan
kesekelilingnya. Sangat berdebu, kotor, dan tak terawat. Ia menekan gagang
pintunya dan… terbuka.
Raut bingung
menyertai wajahnya. Apa Aira telah kembali?
Tanpa basa-basi Erland
menerobos masuk dan memanggil namanya. Ia menyusuri ruang tamu, ruang keluarga,
ruang makan, kamar mandi, kamar utama dan lantai atas. Di lantai atas hanya ada
satu ruangan. Ia mengetuk pintunya.
“Aira? Apa kau di
dalam?”
Erland menunggu
jawaban. Hening. Tidak ada jawaban. Akhirnya ia membuka pintunya dan mendapati
sebuah kamar tidur. Kamar itu bewarna hijau lembut yang membuatnya teringat
dengan ruangan Dr. Patrick. Hanya saja dari pernak perniknya ia tahu kalau
kamar ini adalah kamar perempuan.
Ia melangkah masuk
ke dalamnya. Matanya tertuju pada sebuah piano yang terletak di dekat pintu
jendelanya. Kamar Aira kah?
Ia memandang
berkeliling dan melihat foto-foto yang ada di dinding. Ia melangkah menuju
piano itu dan melihat sebuah kamera Polaroid yang terbungkus debu. Di bawahnya
ada sebuah buku catatan yang tebal. Erland mengambilnya dan duduk di kursi yang
ia temukan.
Buku itu benar-benar
berdebu. Seperti menemukan sebuah buku tua, ia mengembuskan debunya kemudian
membukanya. Ia kaget karena ternyata ada
banyak foto di sana. Bukan hanya foto Nana, tapi juga foto Erland sendiri yang
entah kapan diambilnya. Semuanya diberi catatan dibawahnya. Erland membuka
halaman-halaman berikutnya dan melihat foto restoran keluarganya tempat ia
pernah bermain piano. Di bawah foto itu ia menulis:
Aku bisa merasakan tatapan dingin seseorang sewaktu pertama kali
memasuki restoran ini. karena itulah aku ingin mereka tahu kalau aku tidak
pantas ditatap seperti itu. Pianonya sangat bagus. Aku menyukainya. Sayangnya
aku memainkan beberapa nada sumbang di dalamnya. Apa ada yang menyadarinya?
Semoga tidak.
Di bawah foto Nana ia meulis:
“Aku akan mempercayai apa yang aku percayai.”.
Di bawah foto Nana yang lain ia menulis:
Nana itu… Sangat tomboy… ia terlalu menyukai teman masa kecilnya itu.
Dan Erland tersenyum mendapati fotonya di lembar berikutnya.
Aira benar-benar seperti paparazzi. Ia sangat sulit ditebak. Rasa sayangnya
memang susah ditunjukkannya secara blak-blakkan karena orang-orang terlanjur
takut padanya. Di bawah fotonya ia menulis:
Orang kaya
menyebalkan!
Kening Erland langsung berkerut. Lalu ia tertawa membaca
komentar singkat tersebut. Aira memperhatikan dirinya rupanya. Erland sangat
puas dan bisa merasakan rasa sayangnya meningkat beberapa kali lipat.
Lalu ia membalik ke halaman berikutnya. Ada foto bunga
matahari di kebunnya. Foto matahari terbenam dan foto Aira sendiri yang sedang tersenyum sambil memegang sebuah
kunci ditangannya. Di bawah foto itu ia menulis: Supaya tidak lupa.
Ia terus membalik lembar demi
lembar buku itu. Tapi ia tidak menemukan apa yang ia cari. Kemudian ia menatap
kesekelilingnya dan mulai memeriksa lemari bukunya. Tapi tidak ada petunjuk.
Ia beralih memeriksa laci meja belajarnya. Tapi hasilnya
nihil. Akhirnya ia duduk di depan piano itu. Ia kemudian mencari lagi kesemua
sudut ruangan. Tapi tidak menemukan apa-apa. Ia sudah memeriksa semuanya
kecuali…
Matanya tertuju kearah piano itu. Ia belum memeriksanya di
sana. Ia membuka penutup senarnya dan mendapati sesuatu di dalamnya. Sebuah buku
lagi. Erland mengambilnya dan mulai membuka isinya. Ia membaca lembar demi
lembar tulisan Aira dengan wajah serius dan menemukan semua jawaban dari
pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya.
Kemarahan itu datang dan membakarnya.
Ia tahu sekarang siapa orang yang sangat ingin Aira bunuh.
Dan jika Aira mau, ia rela melakukannya untuknya.
0 comments: