Song of Aria #22 - Rain

7:49 PM fe 0 Comments



Erland memandang buku yang ada ditangannya saat ini. Ini adalah sebuah catatan yang dikirim oleh Aira sekitar sebulan lalu ke rumah Nana. Buku ini dikirim Aira dari tempat ia berada sekarang. Sayangnya Ibu itu tidak tahu di mana tempatnya. Aira mengirimi catatan ini dengan keyakinan kalau Erland akan datang dan mencarinya. Harapannya terkabul karena Erland datang ke sana.
Nana yakin jika Erland masih keras kepala, maka ia diizinkan untuk membaca buku ini.
   Ia merasa seolah-olah dikendalikan oleh kekuatan pikiran Aira. Hanya saja ia tidak begitu yakin. Apa pikiran mereka terhubung? Kalau iya, maka ia bisa mencari tahu dimana dia sekarang.

Sial! Itu hanya lelucon.
   Erland duduk disofa apartemennya yang nyaman dan mulai menyalakan lampu bacanya setelah memadamkan lampu ruang utama itu. Ia menahan napasnya saat ia membuka buku itu. Ia mulai membaca.

Dunia terasa hitam di sini saat aku tahu sebuah kebenaran yang menusuk hatiku. Orang itu datang lagi, mengganggu mimpi-mimpiku. Selalu begitu. Selalu begitu. Kenapa di dunia ini harus ada malam? Kenapa harus ada gelap? Kenapa duniaku jungkir balik begini? Aku tidak butuh apapun selain rasa aman. Aku tidak butuh apapun selain rasa aman. Aku takut karena menyadari kalau aku sendirian.
Walaupun orang itu datang, tapi dia sungguh mengancam.

   Orang itu? Erland memang menggunakan istilah ini untuk Ibunya. Hanya saja ia tidak yakin kalau Aira ketakutan dengan Ibunya. Orang tuanya sudah meninggal dan ia tinggal sendirian. Kemudian Erland membuka lembar berikutnya secara acak dan membaca lagi.

                   Aku terbelenggu dalam dirinya. Tidak bisa lepas. Tidak bisa keluar. Rasa perih yang mengoyak diriku dengan sempurna membawaku ke dalam jurang kegelapan. Sungguh, aku tidak menginginkan ini terjadi! Apa yang sudah kulakukan? Aku ingin, sangat ingin membunuhnya! Serendah itukah diriku sehingga dia bisa melakukan ini padaku. Orang itu benar-benar setan! Dia benar-benar setan! Dan aku… kenapa aku bisa menggadaikan jiwaku padanya? Kenapa aku yang dipilih? Kenapa aku?
                   Sekarang aku tidaklah sempurna. Cukup sampai di sini! Aku takkan pernah memaafkannya sekalipun dia berlutut memohon ampun dikakiku! Aku takkan memaafkannya sampai ia membayar semua itu dengan nyawanya!

   Napas Erland tertahan dikerongkongannya. Ia merasa sesak sekarang karena paham dengan tulisan ini. Ia paham dengan apa yang terjadi. Insting liar dan protektifnya menguasai dirinya seakan ia siap jika sekali lagi menjadi iblis. Ia sangat ingin membunuh orang itu. Berani-beraninya ia melakukan itu padanya. Tangannya gatal karena rasa gerahnya dan amarahnya yang memuncak.
   Aira akan menghindar. Sejauh yang ia tahu, Aira akan menghindari skandal.
   Jantung Erland berpacu cepat secepat laju amarahnya yang menyelimuti ruangan yang dingin itu. Ia merasa marah sekaligus gagal. Kenapa ia terlambat menyadari perasaannya sendiri? Kenapa nasib mempermainkan mereka seperti ini? Cinta kadang tidak membutuhkan logika. Sikap rasional hanya akan membuat kita jatuh ke bawah dan masuk ke dalam jurang pesimis.
  
Baru kali ini jiwaku tercuri oleh raut wajah seseorang. Aku tidak tahu kalau hanya dengan sekali tatapan saja hatiku tidak bisa bekerjasama dengan pikiranku. Tidak akan pernah bisa bekerja sama dengan sempurna. Aku tahu, cinta bukanlah untukku. Rasa kasih bukanlah nutrisi jiwaku. Aku seperti bunga matahari yang selalu menatap mentari. Hanya menatap saja tanpa bisa menyentuhnya. Tanpa bisa mendekatinya.
Cinta itu sakit. Rasanya sangat sakit dan melemahkan. Aku akui aku benci dengan pikiranku yang sekarang sedang jungkir balik ini. Jadi biarlah aku selalu seperti bunga matahari… selalu menatap tanpa bisa mendekat.
Dia adalah sosok yang sempurna dimataku yang takkan bisa kusentuh dan kumiliki dengan hatiku. Setiap kali aku meyakinkan diri kalau aku bisa bersamanya, setiap kali itu pula aku ingat tentang ketidaksempurnaanku lagi. Tidak akan ada yang mau menerima orang gila masuk ke dalam kehidupan seseorang… apalagi ke dalam hidupnya. Tidak aka nada orang yang bisa menerimaku dengan ketulusan hatinya.
Aku hidup seperti mayat hidup. Berjalan, hanya sedikit bicara, menyeramkan… aku tahu itu. Hanya saja sekarang aku tahu kalau rasa ini begitu menyenangkan… dan juga sakit.
Maaf karena aku harus mengakuinya. Tapi jiwaku terengkuh. Dia bukan untukku. Dia pantas mendapatkan hati yang lebih baik dari pada hatiku. Dia pantas mendapatkan raga yang lebih baik dari pada ragaku dan kesetiaan yang lebih baik dari pada hatiku.
Hujan… aku mengakuinya. Dan kukira sudah cukup aku menuliskannya. Aku takkan menangis lagi. Aku takkan membahas lagi. Karena aku adalah bunga yang selalu menatap mentari tanpa pantas mendapatkannya.
Aku akan menghapus bayangnya. Aku akan mengosongkan ingatanku tentangnya. Aku akan menghapus kenanganku tentangnya. Dan jika kenangan itu kembali, aku akan menganggapnya seperti mimpi karena aku nanti akan lupa.
Cinta itu sakit bagiku. Sakit.
Semoga ia tidak mencariku.
Semoga Erland tidak mencariku.
Tanpa ia sadari air matanya mengalir membacanya. Satu pertanyaannya telah terjawab sekarang. Kebahagiaan mengalir dihatinya yang kering. Ia tidak menyangka kalau perasaannya terbalas. Rasa rindunya membuncah tak tertahankan. Aira pasti sangat menderita sekarang. Seperti dirinya, ia juga sedang berjuang melawan hatinya.
Cinta itu sakit.
Tapi mereka tahu kalau mereka berdua masih dalam ujiannya sekarang.
Cinta itu sakit.
Tapi ia tahu kalau mereka belum diizinkan tertawa sekarang. Hingga mereka saling berdekapan dengan keyakinan takkan terpisahkan lagi, ia akan menembus dinding yang memisahkan mereka itu dengan cara apapun.
Aira yang rapuh.
Ia akan mencintainya.
Ia telah kalah dan mengabaikan pikiran rasional dan kenyataan disekelilingnya.

You Might Also Like

0 comments: