Song of Aria #22 - Rain
Erland memandang buku yang ada ditangannya saat ini. Ini
adalah sebuah catatan yang dikirim oleh Aira sekitar sebulan lalu ke rumah Nana.
Buku ini dikirim Aira dari tempat ia berada sekarang. Sayangnya Ibu itu tidak
tahu di mana tempatnya. Aira mengirimi catatan ini dengan keyakinan kalau Erland
akan datang dan mencarinya. Harapannya terkabul karena Erland datang ke sana.
Nana yakin jika Erland masih keras kepala, maka ia diizinkan
untuk membaca buku ini.
Ia merasa
seolah-olah dikendalikan oleh kekuatan pikiran Aira. Hanya saja ia tidak begitu
yakin. Apa pikiran mereka terhubung? Kalau iya, maka ia bisa mencari tahu
dimana dia sekarang.
Sial! Itu hanya lelucon.
Erland duduk disofa
apartemennya yang nyaman dan mulai menyalakan lampu bacanya setelah memadamkan
lampu ruang utama itu. Ia menahan napasnya saat ia membuka buku itu. Ia mulai
membaca.
Dunia terasa hitam
di sini saat aku tahu sebuah kebenaran yang menusuk hatiku. Orang itu datang
lagi, mengganggu mimpi-mimpiku. Selalu begitu. Selalu begitu. Kenapa di dunia
ini harus ada malam? Kenapa harus ada gelap? Kenapa duniaku jungkir balik
begini? Aku tidak butuh apapun selain rasa aman. Aku tidak butuh apapun selain
rasa aman. Aku takut karena menyadari kalau aku sendirian.
Walaupun orang itu
datang, tapi dia sungguh mengancam.
Orang itu? Erland
memang menggunakan istilah ini untuk Ibunya. Hanya saja ia tidak yakin kalau
Aira ketakutan dengan Ibunya. Orang tuanya sudah meninggal dan ia tinggal
sendirian. Kemudian Erland membuka lembar berikutnya secara acak dan membaca
lagi.
Aku terbelenggu dalam dirinya. Tidak bisa
lepas. Tidak bisa keluar. Rasa perih yang mengoyak diriku dengan sempurna
membawaku ke dalam jurang kegelapan. Sungguh, aku tidak menginginkan ini
terjadi! Apa yang sudah kulakukan? Aku ingin, sangat ingin membunuhnya!
Serendah itukah diriku sehingga dia bisa melakukan ini padaku. Orang itu
benar-benar setan! Dia benar-benar setan! Dan aku… kenapa aku bisa menggadaikan
jiwaku padanya? Kenapa aku yang dipilih? Kenapa aku?
Sekarang aku tidaklah
sempurna. Cukup sampai di sini! Aku takkan pernah memaafkannya sekalipun dia
berlutut memohon ampun dikakiku! Aku takkan memaafkannya sampai ia membayar
semua itu dengan nyawanya!
Napas Erland
tertahan dikerongkongannya. Ia merasa sesak sekarang karena paham dengan
tulisan ini. Ia paham dengan apa yang terjadi. Insting liar dan protektifnya
menguasai dirinya seakan ia siap jika sekali lagi menjadi iblis. Ia sangat
ingin membunuh orang itu. Berani-beraninya ia melakukan itu padanya. Tangannya
gatal karena rasa gerahnya dan amarahnya yang memuncak.
Aira akan
menghindar. Sejauh yang ia tahu, Aira akan menghindari skandal.
Jantung Erland
berpacu cepat secepat laju amarahnya yang menyelimuti ruangan yang dingin itu.
Ia merasa marah sekaligus gagal. Kenapa ia terlambat menyadari perasaannya
sendiri? Kenapa nasib mempermainkan mereka seperti ini? Cinta kadang tidak
membutuhkan logika. Sikap rasional hanya akan membuat kita jatuh ke bawah dan
masuk ke dalam jurang pesimis.
Baru kali ini
jiwaku tercuri oleh raut wajah seseorang. Aku tidak tahu kalau hanya dengan
sekali tatapan saja hatiku tidak bisa bekerjasama dengan pikiranku. Tidak akan
pernah bisa bekerja sama dengan sempurna. Aku tahu, cinta bukanlah untukku.
Rasa kasih bukanlah nutrisi jiwaku. Aku seperti bunga matahari yang selalu
menatap mentari. Hanya menatap saja tanpa bisa menyentuhnya. Tanpa bisa
mendekatinya.
Cinta itu sakit.
Rasanya sangat sakit dan melemahkan. Aku akui aku benci dengan pikiranku yang
sekarang sedang jungkir balik ini. Jadi biarlah aku selalu seperti bunga
matahari… selalu menatap tanpa bisa mendekat.
Dia adalah sosok
yang sempurna dimataku yang takkan bisa kusentuh dan kumiliki dengan hatiku.
Setiap kali aku meyakinkan diri kalau aku bisa bersamanya, setiap kali itu pula
aku ingat tentang ketidaksempurnaanku lagi. Tidak akan ada yang mau menerima
orang gila masuk ke dalam kehidupan seseorang… apalagi ke dalam hidupnya. Tidak
aka nada orang yang bisa menerimaku dengan ketulusan hatinya.
Aku hidup seperti
mayat hidup. Berjalan, hanya sedikit bicara, menyeramkan… aku tahu itu. Hanya
saja sekarang aku tahu kalau rasa ini begitu menyenangkan… dan juga sakit.
Maaf karena aku
harus mengakuinya. Tapi jiwaku terengkuh. Dia bukan untukku. Dia pantas
mendapatkan hati yang lebih baik dari pada hatiku. Dia pantas mendapatkan raga
yang lebih baik dari pada ragaku dan kesetiaan yang lebih baik dari pada
hatiku.
Hujan… aku
mengakuinya. Dan kukira sudah cukup aku menuliskannya. Aku takkan menangis
lagi. Aku takkan membahas lagi. Karena aku adalah bunga yang selalu menatap
mentari tanpa pantas mendapatkannya.
Aku akan menghapus
bayangnya. Aku akan mengosongkan ingatanku tentangnya. Aku akan menghapus
kenanganku tentangnya. Dan jika kenangan itu kembali, aku akan menganggapnya
seperti mimpi karena aku nanti akan lupa.
Cinta itu sakit
bagiku. Sakit.
Semoga ia tidak
mencariku.
Semoga Erland tidak
mencariku.
Tanpa ia sadari air
matanya mengalir membacanya. Satu pertanyaannya telah terjawab sekarang.
Kebahagiaan mengalir dihatinya yang kering. Ia tidak menyangka kalau
perasaannya terbalas. Rasa rindunya membuncah tak tertahankan. Aira pasti
sangat menderita sekarang. Seperti dirinya, ia juga sedang berjuang melawan
hatinya.
Cinta itu sakit.
Tapi mereka tahu kalau
mereka berdua masih dalam ujiannya sekarang.
Cinta itu sakit.
Tapi ia tahu kalau
mereka belum diizinkan tertawa sekarang. Hingga mereka saling berdekapan dengan
keyakinan takkan terpisahkan lagi, ia akan menembus dinding yang memisahkan
mereka itu dengan cara apapun.
Aira yang rapuh.
Ia akan mencintainya.
Ia telah kalah dan
mengabaikan pikiran rasional dan kenyataan disekelilingnya.
0 comments: