Song of Aria #14 - Rain
Sore itu Andrew datang dan menghalanginya untuk pergi menjalankan rencananya.
“Kau tidak mau menjamu kakakmu ini?” tanyanya heran.
Erland menghela napas kesalnya. “Kau bisa makan apapun
dengan gratis.”
“Dan kau tidak menemaniku? Ayolah. Besok aku akan berangkat
dan kau masih di sini.”
Seharusnya dari kemarin kau pergi, kata Erland dalam hati.
“Aku sedang ada janji.”
“Aha! Kemana?”
“Itu bukan urusanmu.”
“Dengan wanita?”
“Terserah kau saja.”
Andrew tertawa karena berhasil membuat kesal adiknya. Tapi
ia cukup tahu diri dan berkata, “Pergilah. Aku akan menggunakan ruanganmu
sebentar untuk istirahat. Boleh kan?”
“Ya,” lalu Erland berderap pergi.
Setelah pintu tertutup di depannya, Andrew merebahkan
dirinya di sofa. Bagaimana pun juga adik tirinya itu bukanlah tipe orang
sembarangan. Ia tidak bisa dianggap remeh. Dari cerita yang didengarnya dari
para pembantu, Erland terkenal dengan reputasi buruk selama berada di Inggris.
Ia pernah kabur dari rumah saat umur sembilan tahun dan kembali lagi tiga tahun
sesudahnya setelah ayahnya menjemputnya.
Ia tinggal di sarang para perampok, pencopet, dan pelacur.
Itu membuatnya menjadi berandalan dan punya banyak teman dari kalangan bawah.
Namanya bukan Erland saat itu, tapi Atkins. Ia adalah seorang petarung jalanan
yang sangat handal dan hampir membunuh orang secara brutal. Karena kasus itulah
akhirnya ayahnya turun tangan menyelamatkan anaknya dari ancaman penjara dan
mengasingkannya untuk beberapa waktu ke Amerika.
Sebenarnya setelah mendengar separuh cerita itu, ia butuh
waktu untuk bisa mendekati orang yang lebih muda dua tahun darinya itu. Hanya
saja ia mendapat kesan yang berbeda saat bertemu dan berinteraksi dengannya.
Erland sangat tenang dan penuh percaya diri. Ia sama sekali
tidak mirip iblis seperti orang-orang yang memanggilnya itu. Tapi ia tahu kalau
di matanya ada iblis yang siap membantai siapa saja yang mengujinya melewati
batas kesabarannya. Dan ujian itu pastinya sangat berat. Dan ia akan
membantainya sambil tertawa.
Erland memacu mobilnya ke jalan dan kembali ke tempat itu.
Ia takkan menghubungi Nana. Gadis itu sulit diajak kerja sama dan ia kesal
karenanya. Ia memarkir mobilnya di samping TK yang dibilang berhantu itu dan
memandang ke dalam sana.
Sepertinya memang benar kalau tempat ini tidak dihuni lagi.
Ia masuk ke dalam dan melihat ke dalam ruang kelasnya dari
jendela. Ia melihat sebuah kelas kosong dan berdebu. Ada
sarang laba-laba menggantung di sana.
Ia mundur dan kembali ke mobilnya sambil berpikir kalau gadis itu sangat aneh
karena suka di sini. Ia mengendarai mobilnya dengan pelan dan berjalan lurus menelusuri
jalanan. Ia berhenti disebuah tikungan yang ditunjuk Nana tadi dan melihat
sebuah warung. Ia menghentikan mobilnya dan turun.
“Permisi.” Erland menundukkan kepalanya sedikit agar tidak
terbentur pintu yang rendah itu.
Seorang wanita paruh baya keluar dari pintu di belakang meja
kasir karena mendengar suaranya. “Ya, silahkan, silahkan.” Sambutnya senang.
“Mau beli apa?” tawarnya ramah dengan mata berbinar karena senang melihat
pemuda tampan di depannya.
“Saya mau tanya.”
“Oh ya? Oh, silahkan. Mau tanya apa?” tanyanya girang.
“Apa anda tahu di mana rumah Aira?” tanyanya.
Wanita paruh baya itu berkedip dan melemparkan pandangan
tidak percaya. “Siapa?” ulangnya.
“Aira. Itu namanya.”
Wanita itu berpikir dan akhirnya menggelengkan kepalanya. “Ah!
Ya. Dia. Aku tahu. Apa kau mencari makamnya?”
“Apa?” Erland nnyaris tidak percaya dengan pendengarannya.
“Kau mencari dia? Dia itu sudah meninggal lima tahun lalu.”
Shock dengan jawaban itu, ia masih mencoba berpikir positif.
“Aku rasa bukan dia orangnya,” ia tersenyum dan memutuskan kalau orang ini
tidak tahu apa-apa. Lagi pula nama Aira itu bukan hanya satu di dunia.
Ia kembali menyusuri jalanan itu dan bertanya pada setiap
orang yang ditemuinya. Ia menjelaskan ciri-cirinya dengan baik. Terakhir ia
masuk dan menanyai seorang penjaga toko yang terletak tidak jauh dari jalan
utama.
“Maaf, saya tidak tahu,” jawab pelayan itu.
Entah benar atau tidak, tapi Erland bisa
merasakan kalau pelayan itu sempat menegang sesaat sebelum menjawab
pertanyaannya.
“Apa anda yakin?” tanya Erland meminta
kepastian.
“Ya. Saya tidak pernah mendengar nama itu di
sini.”
“Dia itu tinggi dengan rambut ikal yang
panjang. Dia selalu memakai sepedanya kemana-mana…,”
“Maaf. Saya tidak tahu.” Tapi ia berpikir
sejenak. “Kalau yang kau maksud adalah gadis yang lima tahun lalu itu masih hidup, mungkin kau
bisa ke makamnya.”
Erland terdiam sejenak dan kemudian
mengucapkan terimakasih. Ia juga menanyakan hal yang sama pada beberapa orang
yang ditemuinya lagi di jalan dan penjaga warung. Hanya saja hasilnya nihil.
Tidak ada yang mengenal Aira yang dicarinya. Satu hal yang membuatnya mengumpat
dalam hatinya sendiri adalah bahwa dia tidak punya satupun foto Aira. Aira
tidak senang dipotret. Ia akan menghindari hal-hal semacam itu.
“Andai saja itu ada,” gumamnya kesal.
Aira benar-benar tidak ada sekarang. Kenapa orang itu bisa
seberhasil itu menutup dirinya? Tidak ada orang yang mengenalnya. Tidak ada
yang mengakui keberadaannya. Tapi Erland tahu kalau dia itu ada. Dia adalah
tokoh yang nyata
Erland kecewa, ia mengucapkan terimakasih dan kembali
menanyai beberapa warga yang ada di sana
tapi hasilnya nihil. Ia bersandar di kap mobilnya saat matahari sebentar lagi
akan tenggelam. Ia mengambil ponselnya, menyerah, dan akhirnya menelepon Nana.
“Ya?” Nana mengangkat teleponnya.
“Katakan, apa Aira itu nama aslinya?”
“Ha?” Nana terkejut mendengarnya.
“Jawab aku!”
“Itu memang namanya.”
“Apa benar dia tinggal di sini?”
“Ya. Dia tinggal di sana,”
lalu dia tersadar. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya cepat.
“Apa yang kulakukan?”
ia mengulangi pertanyaan itu. “Ya, Tuhan! Aku hampir gila mencarinya! Tidak ada
satupun yang mengenalnya!”
“Sudah ku bilang jangan coba-coba melakukannya atau kau akan
kalah!” Nana berteriak di ujung sana.
“Di mana dia?”
“Kau tidak perlu tahu.”
“Sial! Beritahu aku!”
Nana menghela napasnya dan mencoba pendekatan lain. Ia tidak
mengerti kenapa Erland mencarinya. “Kau tidak punya urusan lagi dengannya. Jadi
lupakan saja!”
Seakan mendapat hantaman, Erland sadar kalau dia hampir gila!
Jika dipikir-pikir lagi, ia tidak perlu mencarinya sampai segila ini. Ia sudah
biasa melepaskan apa saja yang ia tahu kalau itu tidak untuknya. Jadi kenapa
dia bertahan? Ia tidak sabar untuk menemukan gadis itu dan memuaskan rasa ingin
tahunya.
Song of Aria itu membuatnya
ngeri karena ia tahu ada sesuatu yang tidak lazim di sana. Musik itu seolah memanggilnya dan
menuntunnya pada masa lalu yang terlalu buram dibenaknya dan ia harus mencari
Aira untuk bertanya.
“Kumohon… Katakan padaku. Ini bukan… Demi Tuhan! Ini bukan
masalah tuntutan atau semacamnya!” ia berkata dalam nada frustasi sekarang.
Nana mengenal nada itu dengan baik. Temannya itu sedang
putus asa. Dan atas insting tajamnya ia berani bertaruh kalau Aira berhasil
membuat pria itu tanpa sadar tertarik padanya. Tapi tidak. Ia sudah berjanji
untuk tidak mengatakan segala sesuatu yang berhubungan dengan gadis itu pada
siapapun. Bagi semua orang gadis itu sudah mati dan ia tidak ingin menambah
kesedihan apapun lagi dengan kehadiran pria yang satu ini.
Erland menunggu dengan tidak sabar dan akhirnya ia mendengar
Nana berkata, “Maaf, Erland. Kalau kau ingin mencarinya, dia sudah tak ada di
sini.”
Klik.
Sambungan terputus.
Apa yang telah Aira lakukan padanya?
Ia tidak seperti
orang-orang yang dikenalnya yang dengan terang-terangan membuka dirinya. Apa
yang telah Aira lakukan padanya?
Tidak ada selain meninggalkan rasa penasaran
dihatinya dengan musik itu.
Song of Aria. Ia bisa menganggap kalau
musik itu mempengaruhinya untuk mencari gadis itu. Ia juga bisa menganggap
kalau musik itu kebetulan saja membuatnya teringat pada masa lalunya.
Yang hilang takkan kembali.
Itu yang selalu dikatakan ayahnya.
Jadi tidak ada alasan baginya untuk mencari Aira sekarang.
Itu hanya akan membuang waktunya saja. Erland mencoba meyakini pemikirannya
ini. Ia berjalan kembali meninggalkan kota
kecil itu.
0 comments: