Song of Aria #12 - Rain
Jack Foster meneleponnya jauh-jauh dari Inggris saat Erland sedang sibuk membaca dokumen yang ada di depannya.
“Please comeback soon,
devil. Kau hanya akan karatan tinggal
di Negara dongeng itu,” Jack berkata dengan nada bosan di telepon.
Erland tertawa mendengar keluhan berbahasa Inggris di
telinganya itu. “You miss me?”
tanyanya.
“Bukan aku, tapi gadis-gadis di sini. Semuanya menanyakanmu ‘dimana malaikat iblis itu? Kenapa dia tidak
ke sini lagi?’ Sial! Semuanya menanyakanmu dan aku bosan menjawabnya.”
“Bilang saja nanti aku kembali,” kata Erland sambil
bersandar di kursinya.
“Kau pikir aku tidak mengatakan itu? Ratusan kali aku
mengatakannya. Gadis-gadis itu hanya merindukanmu. Mereka ingin tidur denganmu,
kau tahu?” labraknya.
“Kau tahu kalau aku tidak ingin melakukan itu lagi, kan?”
“Ya, ya… Kau iblis yang sudah banyak bertobat rupanya.”
Erland tertawa, “Hanya karena aku sudah bosan melakukannya.”
“Tapi itu kebutuhan dasar, Bung. Kau bisa menahannya?
Hebat!” serunya takjub. “Coba kuanalisa pikiranmu. Apa yang membuatmu begitu?”
Erland mendesah, “Aku tahu, di sini aku juga bisa
mendapatkan wanita seperti di sana.
Pelacur-pelacur lokal di sini juga lumayan.”
“Ya, ya. Lumayan… dengan hidung pesek dan mata sipit dan
kecil,” Jack mencelanya.
“Karena mereka orang timur, bukan barat.”
“Dan kau adalah sasaran empuk mereka. Lalu, apa kau memakai
jasa mereka?”
“Tidak,” jawabnya.
“Sudah kuduga, kau bosan,” terka Jack.
“Benar. Sekarang wanita mudah didapatkan di mana-mana. Dan
itu membuatku bosan.”
Jack menghembuskan napas kecewa di telepon. “Lalu?”
“Aku tidak mendapatkan hiburan atau tantangan apapun.
Tidakkah itu membosankan?” tanyanya.
“Lalu?” ia masih minta penjelasan.
“Dan aku berhenti.”
Jack tertawa, “Terserah kau, kawan. Kau bisa menghibur
pelacur-pelacur di sini sambil bermain kartu. Yah, minimal yang ini ada
tantangannya karena mereka sangat handal.”
Jack Foster adalah teman masa kecilnya saat ia masih suka
memberontak dan kabur dari rumah. Ia pemilik rumah prostitusi dan juga bar
terkenal yang sering dipakai untuk tempat judi. Tentu saja dengan bisnis itu ia
banyak menarik pelanggan dan banyak dapat keuntungan. Hanya saja Jack tahu
kemana uangnya harus mengalir. Ia membangun panti asuhan dan menampung sekitar
enam puluh anak terlantar dan merawat mereka di sana.
Uang kotor untuk amal, itulah cara yang ia pakai. Ia
berpikir kalau itu adalah cara yang baik untuk menebus sifat bejatnya dan
bisnisnya. Tapi ia tidak peduli. Ia menyekolahkan anak-anak itu dan membuat
mereka jadi lebih beradab.
Mereka bicara selama beberapa saat dan akhirnya telepon itu
terputus.
Erland mematikan lampu kamarnya dan menekan tombol play untuk mendengar lagu itu. Mula-mula
ia mendengar suara Nana di sana
: “Song of Aria adalah musik yang dibuat
oleh Aira dengan cerita yang mengagung-agungkan sosok seorang pahlawan
rekaannya sendiri. Ia berada di Dartmoor, tempat tertenang dan terindah yang
jauh dari jamahan dunia modern. Latarnya adalah saat masa perang dulu. Silahkan
menikmati musik ini yang dimainkan khusus oleh penciptanya, Aira.”
Lalu ia mendengar
suara ‘klik’ dan hening sesaat sebelum akhirnya terdengar suara piano dan
terhanyut dalam bayangan kelam masa lalunya sendiri
Nana menerima telepon dari Aira sesaat sebelum tidur.
“Apa? Apa kamu bilang?” tanyanya dengan nada tidak percaya.
“Kubilang, aku akan pergi.”
Nana menutup mulutnya dengan tangan. Ia tidak menyangka
kalau Aira akan memilih jalan itu. “Kamu yakin?”
“Hei… Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku untuk melakukannya?
Lihatlah aku. Aku terima saranmu,” ia tertawa diujung telepon sana. “Terima kasih mau menemaniku selama
ini. Kamu tahu? Kamu adalah orang yang sangat baik. Cuma kamu yang mau
melakukan ini padaku. Cuma kamu yang mau mendekatiku sementara semua orang menganggapku
aneh. Aku juga nggak mungkin ada di sini terus. Jadi terimakasih untuk
semuanya.”
Nana terharu mendengarnya walau dipikirannya hal ini begitu
mendadak. Tapi ia takkan bertanya karena ia sendiri yang selalu mendorong Aira
untuk melakukannya selama bertahun-tahun. “Pastikan kamu kembali.”
Aira tertawa. “Tentu saja.”
“Aku akan mengantarmu. Kapan kamu pergi.”
“Sekarang.”
“Apa?”
“Sampai jumpa, Nana.”
Sambungan telepon itu terputus. Nana masih memegang gagang
teleponnya dan merasa kalau percakapan itu seperti mimpi. Apa dia baru saja
mendapat telepon dari Aira? Apa ia sedang sadar sekarang?
Bunyi sambungan terputus itu terdengar di telinganya. Ia
menutup teleponnya dan segera turun dari tempat tidur untuk menyambar jaketnya.
Sayangnya ponselnya berdering dan ia segera menyambarnya sambil berlari keluar.
“Halo?” sapanya.
“Sibuk sekali? Kau sedang apa?” tanya suara pria di ujung
sana dalam bahasanya.
“Erland?” kali ini langkahnya terhenti.
“Aku meneleponmu sesuai janji,” katanya. “Kau sedang sibuk?”
“Aira –,” ia menutup mulutnya segera. Tapi terlambat, pria
itu pasti mendengarnya.
“Ada
apa dengannya?” tanya Erland curiga.
“Tidak. Tidak apa-apa. Tidak ada apa-apa.” Ia segera
membantah. Tapi ia tahu kalau orang itu paling pantang dibohongi. Jadi ia
sekarang diserbu dengan pertanyaan.
“Jawab aku. Kenapa dengannya? Apa yang terjadi?”
“Tidak ada apa-apa. Sungguh.” Nana menenangkannya. “Jangan
kuatir.”
“Jangan kuatir bagaimana?”
“Sudah dulu, ya. Daaah…,” Nana langsung menutup ponselnya
dengan perasaan bersalah dan berlari keluar rumah untuk menenangkan diri
sekaligus menuju ke rumah Aira yang terpencil agak ke dalam hutan.
Sementara itu Erland merasa sangat penasaran dengan apa yang
terjadi. Ada
apa dengan gadis aneh itu? Merasa tidak tenang, ia bangkit dan keluar mengambil
mobilnya. Ia kembali melaju kearah TK itu dengan kecepatan penuh sementara di
benaknya ada banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Lalu setelah lima
menit perjalanan, ia mengumpat pada dirinya sendiri. Kenapa ia merasa peduli
pada orang itu? Walau rasanya ia baru saja melakukan hal konyol, ia tidak bisa
memutar haluan mobilnya. Ia terus melaju membelah malam yang larut.
0 comments: