She #28 - Rain

12:23 PM fe 0 Comments



Ren kembali ke sana, ke tempat favorit Andrea yang ditunjukkan Aya kemarin. Ia duduk di sana, menghadap laut, membiarkan angin mengacak-acak rambutnya dan menghirup bau laut sesukanya. Langit sangat cerah dan ia tergerak untuk melakukan banyak hal di sini.
Tempat asing ini berubah di matanya. Sangat damai di siang hari tapi takkan jauh dari ancaman di malam hari. Ia kurang tidur dan masih harus menyesuaikan jadwal hidupnya dari pekerjaan yang keras. Ia sudah bisa menguasai dirinya dan terbiasa dengan bau alkhol. Hanya baunya. Ia takkan mencicipinya.
Ia sudah berkenalan dengan warga lainnya yang tinggal di sini dan mereka suka berbagi cerita.

“Dek, di sini selagi semuanya aman, ya aman. Mereka semua memang suka ribut malam-malam, tapi itu kan kerjaan. Tuntutan profesi,” kata ibu-ibu pemilik warung yang suka didatangi Ren karena nasi gorengnya sangat enak. Bukan hanya itu, banyak warga juga yang berkumpul di sana.
Mereka berbagi gosip selebriti, gosip tetangga, dan gosip saudara. Ren juga jadi ikut-ikutan mendengarnya. Mereka semua juga tidak kuatir dengan anak-anak mereka. Anak-anak itu bersikap biasa saja, bahkan ada yang terlihat punya bakat menggoda. Mereka bermain seperti biasa, berkeliaran di sana sini sambil membawa sepeda, berlari, menerbangkan layangan, bertengkar, berkelahi, dan juga merokok. Segalanya sudah biasa dan mereka memang dididik seperti itu.
Sejenak dipikiran Ren ia seperti melihat mv Turn the Page milik Metalica. MV tanpa sensor itu dicernanya berkali-kali hanya demi mendengar apa impian seorang wanita penghibur yang sesungguhnya.
Pada saat yang tepat ia berkenalan dengan seorang anak lelaki berusia sebelas tahun dan gengnya yang rata-rata setahun dibawah anak itu. Namanya Gori, dipanggil begitu karena badannya besar seperti Gorila. Ia perokok dan sangat senang berkata kasar.
Lalu ia juga berkenalan dengan seorang anak perempuan buta yang cantik dan sangat mengagumkan.
“Cokelat,” kata anak itu saat mereka berpapasan. “Bau kakak seperti cokelat,” lalu ia tertawa. “Dan kakak identik dengan cokelat.”
Ren bingung dan mendekatinya, “Kamu tahu ya? Kok bisa?”
Ia tertawa lagi, “Tahu saja.”
Bakat alami itu membuat Ren kagum padahal ia sama sekali tak bisa melihat.
“Hebat! Namanya siapa?” tanya Ren.
“Aira,” jawabnya senang. “Kalau kakak?”
“Serena. Tapi panggil Ren juga boleh.”
Aira mengangguk. “Kakak mau ke mana?” tanyanya.
“Cuma mau jalan-jalan. Kamu mau ke mana?”
“Mau ke tempat Mama,” jawabnya.
“Mama? Di mana?”
“Di Ron’s Bar.”
Ren tahu tempat itu. Ia baru saja melewatinya. “Oh, kamu mau ke sana sendirian?”
“Iya. Dekat kok, tinggal lima puluh langkah lagi.”
Bahkan Ren kagum karena gadis kecil ini penuh perhitungan sampai-sampai ia memperhitungkan langkahnya segala.
“Kamu bawa apa?” tanya Ren saat melihat tas jinjingannya.
“Mama lupa bawa bekalnya, jadi aku harus ke sana. Kalau nggak dia nggak bisa makan siang.”
“Mamamu kerja di sana?”
“Iya.”
“Kerja apa?” tanya Ren penasaran walau dia sudah tahu jawabannya.
“Hari ini dia harus melayani tamu, kalau nggak kami nggak dapat uang.”


Aira hanya satu dari banyak contoh anak-anak lain yang mengusik pikiran Ren. Apa yang dipunyai mereka? Mereka tahu ada pilihan tapi mereka tidak bisa memilih. Mereka punya kontrak kerja dan mereka butuh uang sementara dunia luar tidak bersimpati.
Ren meringis miris. Bahkan ia bersyukur karena tidak tinggal dan hidup di sini. Semua yang aneh baginya adalah hal biasa bagi mereka. Hidup dengan mimpi-mimpi seperti yang dikatakan Helsy nyaris mustahil terwujud.
Ini realita.
Itu mimpi.
Dua hal ini seperti minyak dan air yang mengekang mereka semua. Hanya orang keras kepala yang bisa menyeret khayalan mereka menjadi nyata.
Itu pelajaran yang didapat Ren selama ini.
Di sini segala keputus asaan bisa meraup mimpi-mimpi mereka dan berkata sebaiknya itu terjadi dalam mimpi saja. Sebaliknya kenyataannya mereka tetap tak bisa berbuat apa-apa karena keterbatasan mereka sendiri.
Ren sudah merangkum semuanya selengkap dan setepat mungkin. Ia telah memberikan semua informasi yang dimilikinya pada Andrea semalam.
Untuk para pelanggan, ia menulis, mereka kebanyakan adalah kaum pria yang stress. Mereka kesepian, ingin mencoba hal baru, ingin mencari seorang gadis yang cantik dan murah, mereka beruang dan mereka tahu kalau mereka sangat suka variasi.
Bukan hanya itu, semuanya benar-benar karena satu mitos sialan! Bunyinya saja sudah membuat perut Ren mual. Jika kamu melakukannya dengan orang seorang wanita muda maka kamu akan awet muda.
Ren tertawa, tidak menyangka akan mendapat pengakuan seperti itu dari pelanggannya. Tapi ia takkan menyembunyikan realita atau apapun itu. Mitos itu rahasia umum dan Ren mengidentikkan pria-pria hidung belang itu seperti seorang kakek tua yang mencari ramuan untuk bisa muda selamanya.
Tak masalah. Toh mereka punya uang.
Tapi ia juga menemukan kalau mereka juga butuh seorang lawan debat dan Ren menjadi juru yang baik untuk masalah satu ini walau ia juga tak sepi dari godaan maut para pria jalang itu.
Kenyataannya dunia memang begitu. Sejarah memang berputar dan hal-hal seperti ini ada di mana-mana, diseluruh dunia. Ia tahu kalau Rusia adalah sarangnya para wanita jalang. Mereka tinggi, putih, cantik, berasal dari negara yang memiliki politik air hangat hanya karena salju bisa abadi di sana. Profesi macam ini adalah hal biasa dan tidak menjadi rahasia umum lagi kalau ada beberapa pejabat negeri ini yang memakai jasa merka.
Semuanya memang biasa.
Dan Ren masih belum selesai menyimpulkan semuanya dalam laptopnya saat Aya datang lagi ke depannya.

You Might Also Like

0 comments: