She #28 - Rain
Ren kembali ke sana, ke tempat favorit
Andrea yang ditunjukkan Aya kemarin. Ia duduk di sana, menghadap laut,
membiarkan angin mengacak-acak rambutnya dan menghirup bau laut sesukanya. Langit
sangat cerah dan ia tergerak untuk melakukan banyak hal di sini.
Tempat asing ini berubah di matanya.
Sangat damai di siang hari tapi takkan jauh dari ancaman di malam hari. Ia
kurang tidur dan masih harus menyesuaikan jadwal hidupnya dari pekerjaan yang
keras. Ia sudah bisa menguasai dirinya dan terbiasa dengan bau alkhol. Hanya
baunya. Ia takkan mencicipinya.
Ia sudah berkenalan dengan warga lainnya
yang tinggal di sini dan mereka suka berbagi cerita.
“Dek, di sini selagi semuanya aman, ya
aman. Mereka semua memang suka ribut malam-malam, tapi itu kan kerjaan.
Tuntutan profesi,” kata ibu-ibu pemilik warung yang suka didatangi Ren karena
nasi gorengnya sangat enak. Bukan hanya itu, banyak warga juga yang berkumpul
di sana.
Mereka berbagi gosip selebriti, gosip
tetangga, dan gosip saudara. Ren juga jadi ikut-ikutan mendengarnya. Mereka
semua juga tidak kuatir dengan anak-anak mereka. Anak-anak itu bersikap biasa
saja, bahkan ada yang terlihat punya bakat menggoda. Mereka bermain seperti
biasa, berkeliaran di sana sini sambil membawa sepeda, berlari, menerbangkan
layangan, bertengkar, berkelahi, dan juga merokok. Segalanya sudah biasa dan
mereka memang dididik seperti itu.
Sejenak dipikiran Ren ia seperti melihat
mv Turn the Page milik Metalica. MV
tanpa sensor itu dicernanya berkali-kali hanya demi mendengar apa impian
seorang wanita penghibur yang sesungguhnya.
Pada saat yang tepat ia berkenalan
dengan seorang anak lelaki berusia sebelas tahun dan gengnya yang rata-rata
setahun dibawah anak itu. Namanya Gori, dipanggil begitu karena badannya besar
seperti Gorila. Ia perokok dan sangat senang berkata kasar.
Lalu ia juga berkenalan dengan seorang
anak perempuan buta yang cantik dan sangat mengagumkan.
“Cokelat,” kata anak itu saat mereka
berpapasan. “Bau kakak seperti cokelat,” lalu ia tertawa. “Dan kakak identik
dengan cokelat.”
Ren bingung dan mendekatinya, “Kamu tahu
ya? Kok bisa?”
Ia tertawa lagi, “Tahu saja.”
Bakat alami itu membuat Ren kagum
padahal ia sama sekali tak bisa melihat.
“Hebat! Namanya siapa?” tanya Ren.
“Aira,” jawabnya senang. “Kalau kakak?”
“Serena. Tapi panggil Ren juga boleh.”
Aira mengangguk. “Kakak mau ke mana?”
tanyanya.
“Cuma mau jalan-jalan. Kamu mau ke
mana?”
“Mau ke tempat Mama,” jawabnya.
“Mama? Di mana?”
“Di Ron’s
Bar.”
Ren tahu tempat itu. Ia baru saja
melewatinya. “Oh, kamu mau ke sana sendirian?”
“Iya. Dekat kok, tinggal lima puluh
langkah lagi.”
Bahkan Ren kagum karena gadis kecil ini
penuh perhitungan sampai-sampai ia memperhitungkan langkahnya segala.
“Kamu bawa apa?” tanya Ren saat melihat
tas jinjingannya.
“Mama lupa bawa bekalnya, jadi aku harus
ke sana. Kalau nggak dia nggak bisa makan siang.”
“Mamamu kerja di sana?”
“Iya.”
“Kerja apa?” tanya Ren penasaran walau
dia sudah tahu jawabannya.
“Hari ini dia harus melayani tamu, kalau
nggak kami nggak dapat uang.”
Aira hanya satu dari banyak contoh
anak-anak lain yang mengusik pikiran Ren. Apa yang dipunyai mereka? Mereka tahu
ada pilihan tapi mereka tidak bisa memilih. Mereka punya kontrak kerja dan
mereka butuh uang sementara dunia luar tidak bersimpati.
Ren meringis miris. Bahkan ia bersyukur
karena tidak tinggal dan hidup di sini. Semua yang aneh baginya adalah hal
biasa bagi mereka. Hidup dengan mimpi-mimpi seperti yang dikatakan Helsy nyaris
mustahil terwujud.
Ini realita.
Itu mimpi.
Dua hal ini seperti minyak dan air yang mengekang
mereka semua. Hanya orang keras kepala yang bisa menyeret khayalan mereka
menjadi nyata.
Itu pelajaran yang didapat Ren selama
ini.
Di sini segala keputus asaan bisa meraup
mimpi-mimpi mereka dan berkata sebaiknya itu terjadi dalam mimpi saja. Sebaliknya
kenyataannya mereka tetap tak bisa berbuat apa-apa karena keterbatasan mereka
sendiri.
Ren sudah merangkum semuanya selengkap
dan setepat mungkin. Ia telah memberikan semua informasi yang dimilikinya pada Andrea
semalam.
Untuk para pelanggan, ia menulis, mereka
kebanyakan adalah kaum pria yang stress. Mereka kesepian, ingin mencoba hal
baru, ingin mencari seorang gadis yang cantik dan murah, mereka beruang dan
mereka tahu kalau mereka sangat suka variasi.
Bukan hanya itu, semuanya benar-benar
karena satu mitos sialan! Bunyinya saja sudah membuat perut Ren mual. Jika kamu
melakukannya dengan orang seorang wanita muda maka kamu akan awet muda.
Ren tertawa, tidak menyangka akan
mendapat pengakuan seperti itu dari pelanggannya. Tapi ia takkan menyembunyikan
realita atau apapun itu. Mitos itu rahasia umum dan Ren mengidentikkan
pria-pria hidung belang itu seperti seorang kakek tua yang mencari ramuan untuk
bisa muda selamanya.
Tak masalah. Toh mereka punya uang.
Tapi ia juga menemukan kalau mereka juga
butuh seorang lawan debat dan Ren menjadi juru yang baik untuk masalah satu ini
walau ia juga tak sepi dari godaan maut para pria jalang itu.
Kenyataannya dunia memang begitu. Sejarah
memang berputar dan hal-hal seperti ini ada di mana-mana, diseluruh dunia. Ia
tahu kalau Rusia adalah sarangnya para wanita jalang. Mereka tinggi, putih,
cantik, berasal dari negara yang memiliki politik air hangat hanya karena salju
bisa abadi di sana. Profesi macam ini adalah hal biasa dan tidak menjadi
rahasia umum lagi kalau ada beberapa pejabat negeri ini yang memakai jasa
merka.
Semuanya memang biasa.
Dan Ren masih belum selesai menyimpulkan
semuanya dalam laptopnya saat Aya datang lagi ke depannya.
0 comments: