Sign #2 - Felixia Rain

11:00 PM fe 0 Comments

Ann buru-buru memungut tasnya yang jatuh ke tangan dan segera bergegas menuju ruang kelasnya. Ia mendekap tasnya makin erat dan akhirnya berlari membabi buta. Sesampai di kelas ia langsung duduk dan mengambil posisi duduk di dekat dinding. Ia merasa aman di sana, seolah-olah tidak akan ada yang menjangkaunya seperti tadi.



"Ann? Kenapa?" tanya Rucia saat datang mendekatinya.

"Hah? Apa?"

"Kau kenapa?" Rucia memeriksa suhu tubuh temannya itu. "Tidak demam, kan?"

"Tidak..." lalu mendadak ia bertanya cepat, "Apa kau lihat orang yang tadi bertemu denganku?"

Rucia merasa aneh. "Orang? Tidak." Kemudian dia terdiam dan dengan pelan bertanya, "Ann... Mana kalungmu?"

Dengan reflek Ann menyentuh lehernya dan menemukan kalung berharganya tidak di sana. Ia berubah panik.
 "Tidak!" serunya tertahan.


Ia tahu kalau itu bukan kalung yang menarik. Bahkan Kyo pacarnya saja tidak suka melihatnya. Bagi Ron  kalung itu hanya kalung tua yang lusuh. Memang warnanya tidak secemerlang dulu. Talinya sudah kusam. Warna peraknya hilang. Tapi kalung dengan inisial R itu adalah salah satu warisan neneknya yang ia anggap adalah hal terindah karena kekasihnya memiliki inisial yang sama. Tapi Ron tidak menyukainya.

Ron ingin Ann memakai kalung pemberiannya saat hari jadi mereka sebulan lalu. Harapan Ron jelas. Ia ingin Ann menanggalkan kalung lusuh pemberian neneknya itu tapi Ann tidak melakukannya. Hanya karena masalah itu saja mereka sudah bertengkar seminggu hingga akhirnya ada kesepakatan kalau Ann akan memakai kalung itu keduanya. Ann mengiyakan walau tidak begitu menyukainya. Ia hanya akan memakai kalau Ron saat bertemu dengannya atau saat kuliah seperti ini. Tapi lepas dari itu tidak. Ia lebih nyaman dengan kalungnya. Celakanya hari ini kalung itu tinggal di rumah, di atas mejanya. Dan sekarang kalung dari neneknya juga hilang gara-gara pria misterius itu. Ia yakin Ron akan tertawa dan tidak peduli pada kalung lusuhnya.

Ann merasa limbung. Ia tidak suka kehilangan barang terpentingnya. Dengan cepat ia berdiri dan kembali menyandang ranselnya. Tepat saat itu Ron datang padanya.

"Sayang, mau kemana?" tanya Ron menghampirinya. Lalu dia terdiam. "Tidak. Jangan marah dan jangan buru-buru. Kau tahu akibatnya kalau panik, kan?"

Ann tahu. Ia akan menjadi sebuah mimpi buruk jika rasa panik dan marahnya meningkat sampai ke puncak. Bukan hanya itu. Sebenarnya Ann memiliki sebuah kelebihan yang jarang orang punyai. Ia tidak mau menceritkan masalah "itu" pada siapapun. Cukup keluarganya, Rucia, dan Ron yang tahu. Ia tidak ingin merepotkan banyak orang atau membuat orang kasihan atau membuat orang takut padanya.

"Kalungku hi..." kata-kata itu menghilang seperti ditelan angin. Ann langsung memantapkan langkahnya untuk menghindari tatapan curiga Ron yang menyelidikinya.

"Kalungmu hilang?" Ron mencoba mengulangi kata yang mengambang tadi dengan fakta yang dia lihat di depan matanya. Langkah Ann terhenti seketika. "Kalung yang mana?"

Ann diam sejenak, tidak yakin mau menjawab. "Kalung..." ia menguatkan diri, "kalung nenekku."

Untuk sesaat gadis itu tidak mendengar reaksi apapun dari Ron yang berdiri di belakangnya. Lalu terdengar suara lagi, "Kalung dari nenekmu atau dariku?"

Pertanyaan penuh selidik itu membuat hati Ann sakit. "Kubilang kalung nenekku!" ulangnya dengan nada tidak sabar dan membentak.

"Ya sudah."

Ann terkejut. Pelan-pelan ia berbalik dan menatap Ron dengan wajah tak percaya. "Apa?" tanyanya pelan.

"Ya sudah. Ayo kita cari!" Ron berusaha tersenyum di depannya yang menandakan kalau dia barusan salah bicara.

"Ayo kita cari!" potong Rucia cepat. "Ayo!" ia mengambil tasnya dan buru-buru menarik Ann keluar dari kelas. "Ayo!" bisiknya dengan agak memaksa sekarang. "Ron, kau di sini saja!"

Ann mengikuti Rucia yang menyeretnya. Rucia merasa penting melakukan penyelamatan kilat ini demi kestabilan emosi Ann. Tapi ia tidak yakin apa Ann berterima kasih dengan perlakukannya ini. Ann hanya diam. Wajahnya menggelap marah dan kesal. Ia tahu kalau Ron sudah keterlaluan.

"Tenang. Tenang dulu," katanya pada Ann yang kesal dan marah. "Jangan meledak di sini atau..." belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya temannya itu segera melepaskan diri dari cengkramannya.

"Akan kucari sendiri," putusnya dengan nada dingin. Ia berbalik arah dan melangkah pergi.

"Ann! Aku ikut!" Rucia mengejarnya.

"Akan kucari sendiri!" kali ini ia membentaknya.

Kalau Rucia tidak mengenal Ann mungkin ia akan pergi menuruti permintaan gadis itu. Tapi tidak. Rucia tahu kalau Ann sendirian maka gadis itu takkan dapat mengontrol kemampuannya yang satu itu. Bisa-bisa ia membanting orang kalau perlu. Maka ia menggenggam tangan Ann lagi. Kali ini lebih lembut. Ia berkata, "akan ku temani." Ia berusaha meyakinkan Ann dengan sabar.

"Tidak mau!"

Merasa ada sesuatu yang aneh, Rucia lebih menggenggam tangannya dengan erat. "Ada yang kau sembunyikan." Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan.

Ann mengelak. Ia tidak mau menatap Rucia sekarang. Baginya Rucia adalah penyihir dan ia benci kalau temannya itu mulai membaca pikirannya. Sama seperti dirinya, Rucia punya indera keenam. Dia bukan hanya seorang gadis yang pandai membaca orang tapi juga seorang peramal. Peramal atau pembaca pikiran bagi Ann sama saja dengan penyihir dan ia tahu kalau Rucia mulai menggerakkan kekuatannya padanya.

Semuanya terasa. Genggaman tangannya menjadi agak panas sekarang dan Ann merasa gelisah.

"Jangan sekarang!" Ann mencoba menghindar.

"Siapa orang itu?" tanya Rucia. "Apa yang dia inginkan dari mu?"

Rucia tahu sekarang. Ann tidak bisa menghindar. Pertanyaan itu juga pertanyaannya dan ia yakin kalau kalung itu dicuri oleh pria itu. Tidak ada pilihan lain selain mengaku.

"Aku tidak tahu," jawabnya lemah. Ia menatap mata Rucia yang terpejam.

Rucia diam. Ia sama sekali tidak bergerak. Ann merasa gelisah. Apa yang dilihatnya?

"Dia menginginkanmu bertarung dengannya?" Rucia bertanya dengan nada tidak percaya.

"Dia memang bilang begitu..."

"Dan dia..." Rucia mengernyit kaget. "Ya Tuhan!" tiba-tiba ia membuka matanya. "Kau yakin akan bertarung dengannya?" ia terpekik tidak percaya sekarang.

"Aku tidak punya kemampuan untuk bertarung! Aku tidak punya apa-apa selain itu!" aku menekankan maksudku dengan jelas padanya.

Kali ini Rucia menyeret Ann ke sudut gedung dan menyudutkannya di sana. Dengan pelan ia berkata, "aku tahu kau hanya punya itu. Maksudku kau bisa berubah sangar menjadi orang lain yang jelas bukan dirimu sendiri saat marah."

"Sebenarnya..." Ann mulai mengaku, "aku hanya kelepasan saja..."

"Kau bilang begitu. Aku bilang tidak. Itu adalah kemampuanmu sebenarnya. Saat kau mengamuk, kau bisa lebih kuat dari pada lelaki. Kau bahkan bisa membanting orang kalau kau mau dan itu adalah seni bertarungmu. Instingmu kuat dan kau memenuhi kriteria untuk menerima tantangannya."

Ann menatapnya curiga. "Jadi aku harus menerima tantangannya?"

"Terpaksa."

"Kenapa?"

"Pertama, kalungmu ada di sana. Kedua..." ia berdeham dan diam sejenak.

"Kedua?" desak Ann.

"Kalian terhubung."

"Apa?"

"Tidak aneh. Kau dan dia terhubung oleh sesuatu dan aku tidak tahu persis apa yang menghubungkan kalian. Yang jelas dia memang menginginkan sesuatu darimu yang entah apa itu."

"Aku. Tidak. Mengerti." Tekan Ann.

"Kalau kau ingin tahu kau harus berhubungan dengannya."

"Tidak mau!" Ann menolak tegas.

"Lalu kalungnya?"

Kali ini ia mengerang. "Akan kuambil!" serunya kesal. "Tapi hanya sebatas itu. Tidak lebih."

"Kau pikir semudah itu?"

"Aku tidak tahu apa maunya. Memangnya kau tahu maunya?"

Rucia menggeleng. "Hanya kau yang bisa menemukan jawabannya. Kenapa dia menginginkanmu, nyawamu, dan apapun itu yang ada di dirimu."

"Ini mulai membingungkan..." Ann mengurut keningnya.

"Memang. Tapi kau harus ingat, kita ini beda dengan yang lainnya. Aku bisa meramal dan kau bisa bertarung. Kau hidup seperti seorang prajurit brutal saat marah..."

"Cukup! Jangan diteruskan." Ann tahu kalau dia seperti memiliki kepribadian ganda yang tidak bisa ditawar. Ia bisa menjadi seorang petarung serius saat marah dan itu membuat semua orang selalu berhati-hati meraba emosinya. Ia tidak tahu kenapa bisa begitu. Itu terjadi begitu saja.

"Kalau begitu sekarang bagaimana? Bukankah kalung itu begitu berharga?" tanya Rucia memutus lamunannya.

"Orang itu pasti akan mencariku lagi," katanya yakin.

Ann merasa sangat bingung dengan kejadian hari ini. Dan ia juga merasa jengkel dengan Ron yang sangat tidak peduli dengan barang berharga miliknya. 

You Might Also Like

0 comments: